Tuesday, October 21, 2014

Menelaah Plato dalam Apologia Sokratus, Atau Pembelaan Diri Socrates

Ketika semua orang di sekitar kita mencuri, apakah kita akan ikut mencuri? Beranikah kita berkata “tidak” di dalam keadaan seperti itu? Atau, kita takut pada tekanan kelompok; takut dikucilkan? Ketika semua orang berkata “ya”, beranikah kita berkata “tidak”, jika itu adalah kata nurani kita?

Banyak orang takut pada tekanan kelompok. Mereka lalu menjadi konformis, yakni mengikut tekanan kelompok secara buta, tanpa pertimbangan lebih jauh.

Dampaknya beragam, mulai dari korupsi berjamaah di berbagai instansi pemerintah di Indonesia, sampai dengan kerusuhan massal setelah menontong sepak bola. Apa yang harus kita lakukan, ketika kelompok atau masyarakat menekan kita untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan nurani kita?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu belajar dari Plato dan Sokrates. Plato menjabarkan soal semacam ini di dalam bukunya Apologia Sokratus. Para ahli masih berdebat, apakah isi buku itu merupakan pendapat Plato, atau Sokrates. Namun, saya rasa, yang penting bukanlah siapa yang menulis, tetapi apa isi tulisannya.

Sebagai seorang filsuf, Sokrates (470 sampai 399 sebelum Masehi) tidak pernah menulis buku. Pengetahuan kita tentang Sokrates datang dari Plato (427 sampai 347 sebelum Masehi), muridnya. Menurut Plato, Sokrates berfilsafat tidak melalui tulisan yang sistematik, melainkan dengan dialog yang dinamis dengan lawan bicaranya. Artinya, ia mengembangkan ide tidak dengan pikirannya sendiri, melainkan dalam dialog dengan pikiran orang lain yang berkembang melalui pertanyaan-pertanyaan kritis.

Sokrates adalah tokoh yang banyak muncul di dalam dialog-dialog yang ditulis oleh Plato. Bahkan dapat dikatakan, bahwa figur Sokrates adalah tokoh utama sekaligus “teladan” di dalam tulisan-tulisan Plato. Hal yang sama juga terjadi di dalam buku Plato yang berjudul Apologia Sokratus. Buku ini kerap juga disebut sebagai “argumen pembelaan dari Sokrates” (Verteidigungsrede des Sokrates).

Buku Apologia merupakan salah satu tulisan awal dari Plato. Ia terdiri dari 25 halaman dan memiliki gaya bahasa sastrawi. Dewasa ini, banyak orang meragukan keaslian dari teks tersebut, yakni apakah Plato sungguh menulis teks tersebut, atau orang lain. Beberapa ahli filsafat kuno seperti dikutip oleh König, menyebut masalah ini sebagai mitos Sokrates (Sokrates-Mythos).

Lepas dari masalah ini, teks Apologia Sokratus terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama berisi pembelaan Sokrates atas tuduhan yang dijatuhkan kepadanya oleh masyarakat Athena, bahwa ia telah meracuni pikiran anak muda Athena. Bagian kedua berisi diskusi mengenai bentuk hukuman yang selayaknya diberikan, setelah orang diputuskan bersalah. Bagian ketiga berisi diskusi tentang hukuman mati.

Sokrates sendiri tidak memberikan pembelaan nyata di hadapan pengadilan Athena atas tuduhan yang diberikan padanya. Bahkan ada kesan, bahwa ia justru “memprovokasi” pengadilan Athena untuk memberikan hukuman padanya. Hal ini terlihat amat nyata di bagian kedua buku Apologia, dimana Sokrates bahkan menyarankan beberapa bentuk hukuman yang layak diberikan kepadanya. Ia bahkan menyatakan, bahwa ia tidak melihat hukum yang diberikan sebagai hukuman, melainkan sebagai hadiah atas apa yang telah ia lakukan.

Ia juga menyatakan, bahwa ia tidak takut pada hukuman mati. Ada juga kesan, bahwa dialog Apologia ini bukanlah sebuah buku sejarah yang menceritakan kejadian di masa lalu secara tepat, melainkan sebagai cara dari Plato untuk menggambarkan pribadi Sokrates yang amat unik sebagai seorang filsuf. Pada beberapa bagian, Plato bahkan menceritakan, bagaimana Sokrates mengajukan pendapatnya soal kehidupan setelah mati, sesuatu yang tidak mungkin terjadi di dalam pengadilan nyata.

Pada bagian pertama, Sokrates memulai argumennya. Ia mengajukan pendapat, bahwa Orakel di Delphi, yang terkenal sebagai orang bijaksana yang mengetahui segalanya, bukanlah orang paling bijak di dunia. Bagi Sokrates sendiri, orang yang paling bijaksana di dunia adalah orang yang merasa, bahwa dirinya tidak tahu banyak, sehingga terdorong untuk terus belajar, tanpa henti. Pendapat ini menjadi semacam “gambaran ideal” (Vorbild) dari sosok filsuf, sampai sekarang ini.

Kebenaran hanya dapat diperoleh melalui proses bertanya terus-menerus dalam diskusi dengan orang lain. Inilah dasar dari proses berpikir dan berfilsafat, menurut Sokrates. Ini hanya mungkin, jika orang tidak terjebak di dalam pikiran, bahwa dirinya telah mendapatkan kebenaran mutlak. Tentu saja, di dalam proses diskusi ini, Sokrates banyak membuat orang marah dan benci padanya, karena pertanyaan-pertanyaan Sokrates begitu mendasar dan tajam, sehingga membuat orang yang paling cerdas di masyarakat pun tidak mampu menjawabnya.

Pada bagian berikutnya di dalam Apologia, Sokrates menyatakan, bahwa ia tidak takut pada kematian, ataupun hukuman mati dari pengadilan Athena. Ia menyatakan, bahwa ia telah bertindak berdasarkan nuraninya (Gewissen), sehingga ia tidak perlu takut pada apapun yang akan terjadi padanya. Ia juga sama sekali tidak takut dengan hukuman mati, walaupun ia tak tahu pasti, apa yang akan terjadi padanya setelah kematian nanti. Sokrates bisa saja meminta hukuman yang lebih ringan, misalnya denda uang, tetapi ia memilih untuk tidak melakukannya.

Di dalam buku Apologia ini, Plato melihat Sokrates sebagai figur teladan para filsuf. Ia menunjukkan cara mencapai kebijaksanaan dan kebenaran, serta batas-batas dari pengetahuan manusia. Sokrates juga menunjukkan, bagaimana orang harus belajar untuk berpikir sendiri, dan setia pada nuraninya, walaupun keadaan di sekitar mengancamnya. Tubuh manusia bisa dibunuh dan dihancurkan. Namun, jiwa dan pikirannya tidak akan pernah bisa ditaklukkan.

Plato mengajarkan kita untuk setia pada nurani kita, apapun yang terjadi. Setiap manusia diberikan nurani di dalam hatinya untuk mempertimbangkan berbagai keputusan dalam hidupnya. Seringkali, nurani itu dibungkam dengan berbagai alasan, seperti sifat rakus dan rasa takut. Hidup yang mengkhianati nurani hanya akan berbuah pada kekecewaan. Pengingkaran pada nurani adalah pembunuhan atas jiwa manusia.

Plato juga mengajak kita untuk hidup dengan keberanian. Jika kita sudah mengikuti hati nurani kita, maka kita tidak perlu takut pada hukuman atau tuntutan masyarakat. Kita juga perlu untuk berani mempertanyakan pandangan-pandangan lama yang sudah tidak lagi cocok untuk masa sekarang, walaupun itu membuat banyak orang marah, dan kemudian mengancam kita. Keberanian dan hati nurani adalah satu-satunya jalan untuk sampai pada kebijaksanaan, menurut Plato.

Kematian, menurut Plato, juga bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti. Ketika kita hidup dengan hati nurani kita, maka kematian justru haruslah dilihat sebagai hadiah atas keberanian kita. Badan bisa dikuasai dan dihancurkan. Tetapi, jiwa dan hati nurani kita bisa tetap bebas untuk mencari kebenaran, selama kita hidup dengan keberanian.

Salah satu bentuk keberanian yang amat penting untuk dimiliki adalah keberanian untuk berpikir sendiri, berpikir mandiri. Berpikir mandiri berarti berani mempertanyakan anggapan-anggapan umum dan tradisi yang sudah ada, lalu mencari apa yang lebih cocok untuk keadaan tertentu. Berpikir mandiri berarti berani mengambil jarak dari masyarakat, dan menengok ke dalam diri sendiri. Ini tentu bisa membuat banyak orang marah, dan itulah yang dialami Sokrates, karena ia mengajak orang untuk berpikir mandiri, berjarak dari tradisi yang sudah ada.

Untuk bisa berpikir mandiri, orang pertama-tama mesti sadar, bahwa ia tidak tahu segalanya. Bahkan, ia tidak bisa mengetahui apapun secara pasti. Maka, ia harus bertanya dan berdiskusi dengan orang lain, supaya bisa semakin mendekati kebenaran. Plato, melalui mulut Sokrates, menegaskan, bahwa orang yang paling bijaksana di dunia adalah orang yang merasa tidak tahu apa-apa.

Walaupun kita mengetahui suatu hal, kita juga tetap harus sadar, bahwa pengetahuan kita itu tidak mutlak. Keberanian untuk mengikuti hati nurani, berpikir mandiri dan sikap “rendah hati” di dalam pengetahuan adalah pola berpikir filosofis yang diajarkan oleh Plato dan Sokrates. Di jaman sekarang, dimana setiap orang, terutama para ahli, merasa mengetahui kebenaran mutlak, dimana orang jujur dan berani semakin sulit ditemukan, ajaran Plato dan Sokrates justru semakin penting. Mereka mendirikan dasar yang kokoh bagi perkembangan filsafat selanjutnya.

[Dikutip dari tulisan: Reza A.A Wattimena].
loading...

0 komentar:

Post a Comment

Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih