Bahwa dengan perkem- bangan zaman yang semakin maju serta era globali sasi yang sedang berkem- bang bukan hanya terbatas pada masyarakat kita tetapi sudah mendunia, baik mengenai hubungan hukum, kemasyarakatan, perdagangan bahkan perkawinan atau kawin campuran antara WNI dan WNA yang sekaligus juga akan terjadi perceraianya apalagi sekarang sudah maraknya TKI dan TKW yang ujung-ujungnya terjadi perkawinan , sehingga pada saat ini aparat peradilan semakin dituntut pelayanan hukum yang lebih menjamin terlaksananya hukum yang egaliter, cepat atau lambat akan melahirkan sikap apatisme bahkan fatalisme dikalangan pemerhati hukum , terlebih orang yang secara langsung berhadapan dengan sistim kinerja pengadilan , apabila kita tidak tanggap dan cepat mengikuti perkembangan hukum pada saat ini ;
Sudah menjadi kewajiban bagi aparatur terutama hakim peradilan agama untuk memberikan bagai mana agar sistim hukum yang menjadi kewenangan peradilan agama dapat mencakup dalam paradigma hukum yang egaliter, dimana dalam jangka panjang akan menjadi sistim hukum yang modern dan mampu mengentaskan persoalan umat islam secara benar dan adil.
Adalah keadaan yang mendesak untuk menjadi fokus analisis diantara persoalan tersebut ialah hukum yang saling tumpang tindih dan kurang jelas , serta acara yang seringkali sebagai penyebab – kalau bukan dikatakan selalu, yang ia melahirkan bias ketidak mampuan antara basis material peraturan satu dengan lainya, apalagi kalau dibarengai dengan kekakuan aparat peradilan dalam menerjemahkan pangkal paradigma hukum sehingga yang menjadi korban pertama ialah para pencari keadila.
Salah satu permasalahan yang pernah terjadi ialah adanya perkawinan campuran antara WNI dengan WNA yang kemudian terjadi perceraian dan pembagian harta bersama diluar negeri , maka bagai mana sikap kita untuk menghadapai persoalan tersebut, apakah kita terbawa oleh arus normatif yang ada atau yang kurang jelas.
A.Perceraian yang dilakukan di luar negeri apakah akta cerainya berlaku di Indonesia?
Kasus posisi :
Pernah terjadi suatu kasus pada wilayah PTA Jawa Timur tepatnya di Pengadilan agama Sidoarjo dimana penulis pernah tugas disana ia pernah datang seorang laki-laki dengan membawa asli surat nikah, serta akta cerai yang dikeluarkan oleh negara Jepang yang telah dilegalisir oleh KBRI, dalam kisahnya orang tersebut kurang lebih pada tahun 1985 ia kawin dengan seorang perempuan berkebangsaan Jepang secara islam di Indonesia, kemudian mereka pindah atau bertempat tinggal di Negara Jepang tersebut.
Seiring waktu, entah badai apa yang menimpa mereka akhirnya rumah tangganya retak dan mereka sepakat bercerai di Negara Jepang bukan di Indonesia , lalu ia pulang dengan membawa akte cerai ala Jepang kemudian persoalan tersebut mengadu ke Pengadilan Agama dengan pertanyaan apakah akta cerai ini berlaku di indonesia , bila berlaku siapa yang berhak menyatakan berlaku karena banyak orang yang tidak mengerti dan faham , apalagi KUA mesti tidak bisa menjawab sedangkan kita saja masih bingung dan ragu sah apa tidak secara hukum karena akte cerai adalah sebagai akibat putusan /pruduk Yudikatif bukan eksekutif berati apakah putusan asing bisa diberlakukan di Indonesi ? Dan atau bila dianggap tidak sah sehingga haruskah mengajukan perkara baru lagi , untuk menjawab persoala tersebut terlebih dahulu perlu dikaji beberapa aturan hukum kita yang ada :
1. T e o r i
Kemudian sekarang yang masih menjadi persoalan adalah: bagaimana jika perkawinan mereka dilaksanakan dengan kawin campuran artianya kawin antara warga Negara RI (WNI ) dengan warga negara asing ( WNA) apakah mereka harus tunduk dan terikat oleh aturan-aturan tersebut diatas ? atau mereka boleh tidak tunduk dan terikat dengan aturan-aturan tersebut ?
Perceraian dalam kawin campuran apakah harus tunduk pada UU no 1/74 dan UU no 7/89 Undang-undang no 1/74 dan UU no 7/89 tidaklah secara tegas mengatur tentang tata percerian bagi perkawinan campuran tetapi UU no 1/74 sejak dari pasal 57 sampai dengan pasal 62 hanya mengatur tentang tata pekawinan campuran , padahal mereka kawin di Indonesia berarti mereka telah membuat suatu perikatan di Indonesia , sehingga mereka apakah tidak tunduk kepada hukum dimana mereka kawin atau dimana mereka membuat suatu perikatan atau perkawinan ?
Sebelum menentukan bagai mana status kedua orang yang melakukan kawin campuran perlu kita tengok aturan dalam UU no 1/74 dan UU no 12/2006 Sebagai berikut :
Maka menurut pendapat penulis , dengan mengacu pada pasal 66 ayat (4) dan pasal 73 ayat (3) UU no 7/89 dan pasal 38 UU no 1/74 perceraian harus dilakukan di Indonesia karena perkawinan mereka dilakukan di Indonesia, hal tersebut juga bisa di analogkan kepada hukum perdata umum, dimana apabila terjadi suatu perikatan yang dibuat oleh dua orang yang berbeda kewarganegaraanya , maka hukum yang dipakai adalah hukum dimana perikatan itu dibuat atau dinegara mana mereka saling ia sepakati untuk menyelesaikan bila terjadi sengketa seperti kasus Paiton dan Yurisprudensi Mahkamah Agung no 22 K/Sip/54 tgl 6 Juli 1955 , hal ini juga tepat apa yang dikatakan Yahya Harahap SH dalam bukunya hukum acara perdata , “ bahwa putusan perceraian yang dilakukan oleh negara asing, sebenarnya putusan itu tidak mempunyai daya mengikat dan pembuktian kepada orang lain di Indonesia , berarti status hukum mereka dianggap masih sah sebagai suami istri , apalagi yang menyangkut ahli waris , kecuali putusan tersebut menyangkut status seseorang seperti kelahiran putusan pengangkatan anak , karena hal tersebut menyangkut hak yang paling asasi, sehingga putusan yang demikian pantas dihargai ;
Bila terjadi dua aturan yang berbeda
Bila kita melihat aturan-aturan hukum diatas dapat disimpulkan bahwa perceraian yang dilakukan di Negara Jepang tersebt bisa dikatakan tidak sah, sehingga orang tersebut harus mengajukan lagi di pengadilan agama di Indonesia, akan tetapi bila kita melihat pada ketentuan Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan pada pasal 41 ayat (1) (2) dan (3 ) dikatakan bahwa perceraian WNI yang dilakukan di luar negeri wajib di catatkan pada instansi yang berwenang di negera tersebut dan dilaporkan pada perwakilan RI dan apabila di negera tersebut tidak ada pencatatan , maka perwakilan RI mencatat dalam regester akta cerai dan menerbitkan kutipan akta cerai , kemudian bila sudah kembali wajib melaporkan dalam waktu 30 hari setelah pulang ke indonesi.
Bila kita simak sejenak bahwa aturan-aturan yang tertulis dalam undang-undang tersebut agak aneh dan agak janggal karena :
Pertama, bahwa aturan-aturan tersebut adalah aturan tentang administrasi atau keputusan yang dilakukan badan eksekutif karena isinya antara lain mengatur masalah KTP dan akta kelahiran , sedang akta cerai sebagai akibat dari keputusan yudikatif.
Kedua, bahwa adanya saling kontradiksi antara pasal 66 ayat (4) , 73 ayat (3) Undang-undang no 7/89 dan Undang-undang no 1/74 dengan pasal 41 Undang-undang no 23/2006 dimana menurut UU no 23/2006 orang Indonesia dibolehkan melakukan perceraian di negera asing ,sedang menurut UU no 1/74 dan UU no 7/89 perceraian hanya dapat dilakukan di muka pengadilan Indonesia ,
Ketiga bahwa aturan tersebut tidak secara tegas menyatakan sahnya perceraian di negara asing tetapi hanya tersirat atau mafhum mucholafah adanya sahnya perceraian , ya’ni hanya dikatakan: "Perceraian yang dilakukan di luar negeri “ berarti kalimat tersebut adalah kalimat berita bukan pernyataan sahnya suatu hukum ,
Memang kita tidak heran bila suatu undang-undang begitu disahkan begitu pula terlihat adanya kejanggalan , kekurangannya , bahkan bertentangan dengan peraturan yang lain seperti kasus diatas , nah sekarang yang menjadi persoalan bagai mana bila terjadi benturan /kontradiksi sebagai mana persoalan kedua diatas yakni ada dua aturan yang sama-sama mengatur , tetapi saling bertentangan ? sedangkan diantara kedua aturan tersebut tidak ada yang menyatakan menghapusnya , apakah hukum yang lama atau hukum yang baru yang boleh dipakai atau semuanya masih berlaku ?
Untuk menjawab persoalan ini perlu kita melihat suatu asaz dalam hukum perdata yang disebut dengan istilah lex posteori derogat legi priori yang artinya apabila terjadi konflik antara Undang-undang yang lama dengan yang baru , yang mengatur hal yang sama dan tidak mencabut aturan yang lama , sedangkan keduanya saling bertentangan , maka peraturan yang baru mengalahkan/melumpuhkan peraturan yang lama “ (Prop Sudikno Mertokusumo SH:87 ) , begitu juga menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung no 1037K/Sip/73 tgl 23 Maret 1976 yang intinya menyatakan sama , oleh karena itu bedasarkan aturan-aturan tersebut diatas bahwa perceraian yang dilakukan di luar negeri dianggap sah sebagai alat bukti perceraian atau akibat cerai , namun dalam masalah ini masih ada suatu ganjalan dan suatu pertanyaan apakah KUA sebagai Pelaksana perkawinan sudah mengerti status akta cerai tersebut sedangkan kita sebagai aparat peradilan masih harus meraba-raba , apalagi berbahasa asing, oleh karena itu bila diperlukan menurut pengadilan agama sesuai dimaksud pasal 52 UU no 7/89 boleh memberikan keterangan bila diperlukan tentang keabsahan akta ceraia tersebut ;
B. Pembagian harta bersama di luar negeri ;
Sudah banyak terjadi di negara kita adanya kawin campuran sejak zaman dahulu kala sampai sekarang apalagi pada era globalisas banyak para TKI dan TKW bahkan tidak sedikit para selebriti yang suka kawin cerai dengan orang-orang bule atau orang asing , yang sudah barang tentu dari perkawinan mereka yang bertahun-tahun akan menghasilkan dan melahirkan suatu harta yaitu berupa harta bersama baik yang kadang-kadang sebagian berada di Indonesia dan yang lainya berada di luar negeri , maka tidak jarang menjadi kasus dan persoalan hukum tersendiri yang perlu dikaji dan dimengerti oleh seluruh aparat peradilan ini ;
Kalau dalam kasus diatas telah terjadi perceraian diluar negeri dan dinyatakan sah dan dianggap sah sebagai akta cerai, sekarang bagai mana bila terjadi pembagian harta bersama juga dilakukan di luar negeri berdasarkan putusan pengadilan luar negeri ? apakah putusan luar negeri tersebut langsung dapat di ekseksi di Indonesia bila dalam putusan tersebut menyebut adanya pembagian harta bersama yang berada di Indonesia ? atau putusan tersebut tidak dapat dieksekusi dan harus mengajukan perkara baru lagi ? apakah seseorang yang akan menikmati haknya ia harus bersusah payah kembali atau harus membabat hutan lagi mulai dari awal , memang aturan hukum yang ada belum menyentuh secara jelas, oleh karena itu perlu kita analisa sebagai mana dibawah ini ;
Masalah putusan hakim asing sampai saat ini belum ditemukan format yang jelas sehingga masih dipegang dua landasan :
Pertama : Bahwa putusan asing di luar negeri tidak mempunyai daya kekuatan pasti, sebagai mana pendapat Pitlo dalam bukunya pembuktian daluwarsa, dikatakan bahwa putusan hakim asing terdapat perbedaan pendapat mengenai daya mengikat :
Dengan bertitik tolak dari redaksi pasal 436 RV yang dengan tegas mengatakan kecuali Undang-undang mengatur sendiri putusan hakim asing tidak dapat dilaksanakan dalam negara kita , kecuali dalam dua hal :
B. Kesimpulan
Demikianlah beberapa masalah hukum yang berhubungan dengan masalah akta cerai dan pembagian harta bersama yang dilakukan di luar negeri yang pernah di jumpai namun kita masih ragu untuk mengambil langkah-langkah hukum, penulis berharap makalah yang sangat sederhana dan ringkas ini mungkin masih ada banyak kekurangan , oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi sempurnakanya masalah ini , semoga ada manfaatnya , Amin ;
Disusun oleh
MOHAMAD THOHA SA.g (Hakim Pengadilan Agama Ponorogo)
Sudah menjadi kewajiban bagi aparatur terutama hakim peradilan agama untuk memberikan bagai mana agar sistim hukum yang menjadi kewenangan peradilan agama dapat mencakup dalam paradigma hukum yang egaliter, dimana dalam jangka panjang akan menjadi sistim hukum yang modern dan mampu mengentaskan persoalan umat islam secara benar dan adil.
Adalah keadaan yang mendesak untuk menjadi fokus analisis diantara persoalan tersebut ialah hukum yang saling tumpang tindih dan kurang jelas , serta acara yang seringkali sebagai penyebab – kalau bukan dikatakan selalu, yang ia melahirkan bias ketidak mampuan antara basis material peraturan satu dengan lainya, apalagi kalau dibarengai dengan kekakuan aparat peradilan dalam menerjemahkan pangkal paradigma hukum sehingga yang menjadi korban pertama ialah para pencari keadila.
Salah satu permasalahan yang pernah terjadi ialah adanya perkawinan campuran antara WNI dengan WNA yang kemudian terjadi perceraian dan pembagian harta bersama diluar negeri , maka bagai mana sikap kita untuk menghadapai persoalan tersebut, apakah kita terbawa oleh arus normatif yang ada atau yang kurang jelas.
A.Perceraian yang dilakukan di luar negeri apakah akta cerainya berlaku di Indonesia?
Kasus posisi :
Pernah terjadi suatu kasus pada wilayah PTA Jawa Timur tepatnya di Pengadilan agama Sidoarjo dimana penulis pernah tugas disana ia pernah datang seorang laki-laki dengan membawa asli surat nikah, serta akta cerai yang dikeluarkan oleh negara Jepang yang telah dilegalisir oleh KBRI, dalam kisahnya orang tersebut kurang lebih pada tahun 1985 ia kawin dengan seorang perempuan berkebangsaan Jepang secara islam di Indonesia, kemudian mereka pindah atau bertempat tinggal di Negara Jepang tersebut.
Seiring waktu, entah badai apa yang menimpa mereka akhirnya rumah tangganya retak dan mereka sepakat bercerai di Negara Jepang bukan di Indonesia , lalu ia pulang dengan membawa akte cerai ala Jepang kemudian persoalan tersebut mengadu ke Pengadilan Agama dengan pertanyaan apakah akta cerai ini berlaku di indonesia , bila berlaku siapa yang berhak menyatakan berlaku karena banyak orang yang tidak mengerti dan faham , apalagi KUA mesti tidak bisa menjawab sedangkan kita saja masih bingung dan ragu sah apa tidak secara hukum karena akte cerai adalah sebagai akibat putusan /pruduk Yudikatif bukan eksekutif berati apakah putusan asing bisa diberlakukan di Indonesi ? Dan atau bila dianggap tidak sah sehingga haruskah mengajukan perkara baru lagi , untuk menjawab persoala tersebut terlebih dahulu perlu dikaji beberapa aturan hukum kita yang ada :
1. T e o r i
- Pasal 38 Undang-undang no 1 tahun 1974 “ perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan Ybs berusaha dan tidak berhasil mendamaikan mereka (pasal 115 KHI );
- Pasal 49 Undang-undang no 7/89 “ Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa memutus danmenyelesaikan perkara diantara orang-orang yang beragama islam dibidang perkawinan;
- Pasal 63 Undang –undang no 1 tahun 1974 “ Yang dimaksud pengadilan dalam Undang-undang ini adalah Pengadilan Agama bagi yang beragama islam dan Pengadilan Negeri bagi yang lainya ;
- Pasal 1 ayat ( 1 ) UU no 7/89 “ Peradilan agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragam islam ;
- Pasal 66 ayat ( 1)Undang-undang no 7/89 ;Seorang suami yang beragama islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang ikrar talak
- Pasal 66 ayat ( 2 ) UU no 7/89 );Permohonan sebagai mana dimaksud ayat ( 1 ) diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon
- Pasal 73 ayat ( 1 ) UU no 7/89 ;” Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat ;
- Pasal 20 ayat ( 3) Undang –undang no 1 tahun 1974 “ dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar negeri gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan tempat kediaman penggugat ;
- Pasal 66 ayat ( 4 ) dan pasal 73 ayat ( 3 ) UU no 7 tahun 1989 “ dalam hal penggugat dan tergugat bertempat tinggal kediaman di luar negeri , maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungfkan atau kepada pengadilan agama jakarta pusat;
- Bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang atau dijatuhkan oleh pengadilan ;
- Bahwa Pengadilan agama adalah pengadilan bagi orang-orang yang beragama islam ;
- Bahwa apabila suami dan sitri sama-sama bertempat tinggal di luar negeri maka bila terjadi perceraian harus diajukan melalui pengadilan agama Jakarta pusat atau pengadilan kota tempat mereka dilangsungkan perkawinanya ; .
Kemudian sekarang yang masih menjadi persoalan adalah: bagaimana jika perkawinan mereka dilaksanakan dengan kawin campuran artianya kawin antara warga Negara RI (WNI ) dengan warga negara asing ( WNA) apakah mereka harus tunduk dan terikat oleh aturan-aturan tersebut diatas ? atau mereka boleh tidak tunduk dan terikat dengan aturan-aturan tersebut ?
Perceraian dalam kawin campuran apakah harus tunduk pada UU no 1/74 dan UU no 7/89 Undang-undang no 1/74 dan UU no 7/89 tidaklah secara tegas mengatur tentang tata percerian bagi perkawinan campuran tetapi UU no 1/74 sejak dari pasal 57 sampai dengan pasal 62 hanya mengatur tentang tata pekawinan campuran , padahal mereka kawin di Indonesia berarti mereka telah membuat suatu perikatan di Indonesia , sehingga mereka apakah tidak tunduk kepada hukum dimana mereka kawin atau dimana mereka membuat suatu perikatan atau perkawinan ?
Sebelum menentukan bagai mana status kedua orang yang melakukan kawin campuran perlu kita tengok aturan dalam UU no 1/74 dan UU no 12/2006 Sebagai berikut :
- Pasal 57 UU no 1/74; Yang dimaksud dengan kawin campuran dalam Undang-undang ini adalah perkawinan dua orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarga negaraan dan salah satu WNI ;
- Pasal 58 UU no 1/74; bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istri dan dapat pula kehilangan kewarganegaraanya
- Pasal 19 UU no 12/2006 ayat (1) Warga negara aing yang kawin secara sah dengan warga negra RI dapat memperoleh kwarganegaraan RI dengan menyampaikan pernyataan menjadi warga negara dihadapan pejabat ; Ayat (2): pernyataan sebagai mana dimaksud ayat ( 1 ) dilakukan apabila yang bersangkutan sudah bertempat tinggal di RI paling singkat 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut –turut kecuali dengan perolehan kewarganegaraan tersebut megakibatkan kewarganegaraan ganda ; Ayat ( 3 ) “ dalam hal yang bersangkutan tidak memperoleh kewarganegaraan RI yang diakibatkan oleh kewarganegaraan ganda sebagai mana dimaksud ayat (2) yang bersangutan dapat diberi ijin tinggal tetap sesuai dengan perundang-undangan ;
- Pasal 27 UU no 12/2006 : kehilangan kewarganegaraan bagi suami atau istri yang terikat perkawinan yang sah tidak menyebabkan kehilngan status kewarganegaraan dari isti atau suami;
Maka menurut pendapat penulis , dengan mengacu pada pasal 66 ayat (4) dan pasal 73 ayat (3) UU no 7/89 dan pasal 38 UU no 1/74 perceraian harus dilakukan di Indonesia karena perkawinan mereka dilakukan di Indonesia, hal tersebut juga bisa di analogkan kepada hukum perdata umum, dimana apabila terjadi suatu perikatan yang dibuat oleh dua orang yang berbeda kewarganegaraanya , maka hukum yang dipakai adalah hukum dimana perikatan itu dibuat atau dinegara mana mereka saling ia sepakati untuk menyelesaikan bila terjadi sengketa seperti kasus Paiton dan Yurisprudensi Mahkamah Agung no 22 K/Sip/54 tgl 6 Juli 1955 , hal ini juga tepat apa yang dikatakan Yahya Harahap SH dalam bukunya hukum acara perdata , “ bahwa putusan perceraian yang dilakukan oleh negara asing, sebenarnya putusan itu tidak mempunyai daya mengikat dan pembuktian kepada orang lain di Indonesia , berarti status hukum mereka dianggap masih sah sebagai suami istri , apalagi yang menyangkut ahli waris , kecuali putusan tersebut menyangkut status seseorang seperti kelahiran putusan pengangkatan anak , karena hal tersebut menyangkut hak yang paling asasi, sehingga putusan yang demikian pantas dihargai ;
Bila terjadi dua aturan yang berbeda
Bila kita melihat aturan-aturan hukum diatas dapat disimpulkan bahwa perceraian yang dilakukan di Negara Jepang tersebt bisa dikatakan tidak sah, sehingga orang tersebut harus mengajukan lagi di pengadilan agama di Indonesia, akan tetapi bila kita melihat pada ketentuan Undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi kependudukan pada pasal 41 ayat (1) (2) dan (3 ) dikatakan bahwa perceraian WNI yang dilakukan di luar negeri wajib di catatkan pada instansi yang berwenang di negera tersebut dan dilaporkan pada perwakilan RI dan apabila di negera tersebut tidak ada pencatatan , maka perwakilan RI mencatat dalam regester akta cerai dan menerbitkan kutipan akta cerai , kemudian bila sudah kembali wajib melaporkan dalam waktu 30 hari setelah pulang ke indonesi.
Bila kita simak sejenak bahwa aturan-aturan yang tertulis dalam undang-undang tersebut agak aneh dan agak janggal karena :
Pertama, bahwa aturan-aturan tersebut adalah aturan tentang administrasi atau keputusan yang dilakukan badan eksekutif karena isinya antara lain mengatur masalah KTP dan akta kelahiran , sedang akta cerai sebagai akibat dari keputusan yudikatif.
Kedua, bahwa adanya saling kontradiksi antara pasal 66 ayat (4) , 73 ayat (3) Undang-undang no 7/89 dan Undang-undang no 1/74 dengan pasal 41 Undang-undang no 23/2006 dimana menurut UU no 23/2006 orang Indonesia dibolehkan melakukan perceraian di negera asing ,sedang menurut UU no 1/74 dan UU no 7/89 perceraian hanya dapat dilakukan di muka pengadilan Indonesia ,
Ketiga bahwa aturan tersebut tidak secara tegas menyatakan sahnya perceraian di negara asing tetapi hanya tersirat atau mafhum mucholafah adanya sahnya perceraian , ya’ni hanya dikatakan: "Perceraian yang dilakukan di luar negeri “ berarti kalimat tersebut adalah kalimat berita bukan pernyataan sahnya suatu hukum ,
Memang kita tidak heran bila suatu undang-undang begitu disahkan begitu pula terlihat adanya kejanggalan , kekurangannya , bahkan bertentangan dengan peraturan yang lain seperti kasus diatas , nah sekarang yang menjadi persoalan bagai mana bila terjadi benturan /kontradiksi sebagai mana persoalan kedua diatas yakni ada dua aturan yang sama-sama mengatur , tetapi saling bertentangan ? sedangkan diantara kedua aturan tersebut tidak ada yang menyatakan menghapusnya , apakah hukum yang lama atau hukum yang baru yang boleh dipakai atau semuanya masih berlaku ?
Untuk menjawab persoalan ini perlu kita melihat suatu asaz dalam hukum perdata yang disebut dengan istilah lex posteori derogat legi priori yang artinya apabila terjadi konflik antara Undang-undang yang lama dengan yang baru , yang mengatur hal yang sama dan tidak mencabut aturan yang lama , sedangkan keduanya saling bertentangan , maka peraturan yang baru mengalahkan/melumpuhkan peraturan yang lama “ (Prop Sudikno Mertokusumo SH:87 ) , begitu juga menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung no 1037K/Sip/73 tgl 23 Maret 1976 yang intinya menyatakan sama , oleh karena itu bedasarkan aturan-aturan tersebut diatas bahwa perceraian yang dilakukan di luar negeri dianggap sah sebagai alat bukti perceraian atau akibat cerai , namun dalam masalah ini masih ada suatu ganjalan dan suatu pertanyaan apakah KUA sebagai Pelaksana perkawinan sudah mengerti status akta cerai tersebut sedangkan kita sebagai aparat peradilan masih harus meraba-raba , apalagi berbahasa asing, oleh karena itu bila diperlukan menurut pengadilan agama sesuai dimaksud pasal 52 UU no 7/89 boleh memberikan keterangan bila diperlukan tentang keabsahan akta ceraia tersebut ;
B. Pembagian harta bersama di luar negeri ;
Sudah banyak terjadi di negara kita adanya kawin campuran sejak zaman dahulu kala sampai sekarang apalagi pada era globalisas banyak para TKI dan TKW bahkan tidak sedikit para selebriti yang suka kawin cerai dengan orang-orang bule atau orang asing , yang sudah barang tentu dari perkawinan mereka yang bertahun-tahun akan menghasilkan dan melahirkan suatu harta yaitu berupa harta bersama baik yang kadang-kadang sebagian berada di Indonesia dan yang lainya berada di luar negeri , maka tidak jarang menjadi kasus dan persoalan hukum tersendiri yang perlu dikaji dan dimengerti oleh seluruh aparat peradilan ini ;
Kalau dalam kasus diatas telah terjadi perceraian diluar negeri dan dinyatakan sah dan dianggap sah sebagai akta cerai, sekarang bagai mana bila terjadi pembagian harta bersama juga dilakukan di luar negeri berdasarkan putusan pengadilan luar negeri ? apakah putusan luar negeri tersebut langsung dapat di ekseksi di Indonesia bila dalam putusan tersebut menyebut adanya pembagian harta bersama yang berada di Indonesia ? atau putusan tersebut tidak dapat dieksekusi dan harus mengajukan perkara baru lagi ? apakah seseorang yang akan menikmati haknya ia harus bersusah payah kembali atau harus membabat hutan lagi mulai dari awal , memang aturan hukum yang ada belum menyentuh secara jelas, oleh karena itu perlu kita analisa sebagai mana dibawah ini ;
Masalah putusan hakim asing sampai saat ini belum ditemukan format yang jelas sehingga masih dipegang dua landasan :
Pertama : Bahwa putusan asing di luar negeri tidak mempunyai daya kekuatan pasti, sebagai mana pendapat Pitlo dalam bukunya pembuktian daluwarsa, dikatakan bahwa putusan hakim asing terdapat perbedaan pendapat mengenai daya mengikat :
- Putusan hakim asing yang mengandung diktum comdemnatoir atau menghukum tidak diakui dan tidak mempunyai daya mengikat ;
- Putusan hakim asing yang mengandung diktum menolak dapat diakui mempunyai daya kekuatan mengikat ;
- Diakui memiliki daya kekuatan mengikat dengan sarat berdasarkan perjanjian bilateral atau multiratelar tetapi harus sesuai dengan asas Reseprosetas (receprocity);
Dengan bertitik tolak dari redaksi pasal 436 RV yang dengan tegas mengatakan kecuali Undang-undang mengatur sendiri putusan hakim asing tidak dapat dilaksanakan dalam negara kita , kecuali dalam dua hal :
- Putusan hakim asing mengenai perhitungan dan pembagian kerugian yang menimpa kapal atau avarij umum berdasarkan pasal 724 KUHD ;
- Adanya perjanjian bilateral atau multilateral antara Indonesia dengan suatu negara sesuai dengan asas reprositas (Yahya harahap SH:2005.716);
B. Kesimpulan
- Bahwa percraian orang Indonesia baik melalui kawin campuran atau tidak dibolehkan melakukan perceraian di luar negeri ;
- Bahwa Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan di luar negeri wajib melaporkan ke KBRI dan kepada instansi berwenang setelah 30 hari pulang ke Indonesia ;
- Pengadilan Agama boleh memberikan keterangan tentang sahnya akta cerai yang diperoleh dari luar negeri bila diperlukan ;
- Putusan hakim luar negeri mengenai pembagian harta bersama tidak mempunyai kekuatan mengikat atau tidak dapat dieksekusi ;
- Bahwa orang yang mempunyai putusan pmbagian harta bersama dari putusan hakim asing tetap harus mengajukan gugatan baru ;
Demikianlah beberapa masalah hukum yang berhubungan dengan masalah akta cerai dan pembagian harta bersama yang dilakukan di luar negeri yang pernah di jumpai namun kita masih ragu untuk mengambil langkah-langkah hukum, penulis berharap makalah yang sangat sederhana dan ringkas ini mungkin masih ada banyak kekurangan , oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan demi sempurnakanya masalah ini , semoga ada manfaatnya , Amin ;
Disusun oleh
MOHAMAD THOHA SA.g (Hakim Pengadilan Agama Ponorogo)
loading...