Sunday, February 1, 2015

[Download Makalah Hukum Tata Negara]: Impeachment / Pemakzulan: Teori dan Prakteknya di Indonesia

Bagi mahasiswa fakultas hukum atau politik, tentu sudah tidak asing dengan istilah pemakzulan atau impeachment. Bahkan istilah ini sudah populer sekarang ini karena kerap dibicarakan di televisi oleh para pakar-pakar dan pengamat.

Nah, bagi mahasiswa yang membutuhkan bahan makalah untuk mata kuliah politik hukum dll dengan tema Impeachment, berikut admin berbagi salah satu makalah yang barangkali berguna buat kamu.

Berikut kutipannya:

Pengeritan Impeachment
Istilah impeachment berasal dari kata “to impeach”, yang berarti meminta pertanggungjawaban. Jika tuntutannya terbukti, maka hukumannya adalah “removal from office”, atau pemberhentian dari jabatan. Dengan kata lain, kata “impeachment” itu sendiri bukanlah pemberhentian, tetapi baru bersifat penuntutan atas dasar pelanggaran hukum yang dilakukan. Oleh karena itu, dikatakan Charles L. Black, “Strictly speaking, ‘impeachment’ means ‘accusating’ or ‘charge’.” Artinya, kata impeachment itu dalam bahasa Indonesia dapat kita alih bahasakan sebagai dakwaan atau tuduhani.

Lebih jelas, menurut Marsilam Simanjuntak impeachment adalah:

“Suatu proses tuntutan hukum (pidana) khusus terhadap seorang pejabat publik ke depan sebuah quasi-pengadilan politik, karena ada tuduhan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan Undang Undang Dasar. Hasil akhir dari mekanisme impeachment ini adalah pemberhentian dari jabatan, dengan tidak menutup kemungkinan melanjutkan proses tuntutan pidana biasa bagi kesalahannya sesudah turun dari jabatannya”.

Dengan demikian nyatalah bahwa impeachment berarti proses pendakwaan atas perbuatan menyimpang dari pejabat publik. Pengertian demikian seringkali kurang dipahami, sehingga seolah-olah lembaga “impeachment” itu identik dengan ‘pemberhentian’. Padahal proses permintaan pertanggungjawaban yang disebut impeachment itu tidak selalu berakhir dengan tindakan pemberhentian terhadap pejabat yang dimintai pertanggungjawaban. Contoh kasus adalah peristiwa yang dialami oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton, yang di-impeach oleh House of Representatives, tetapi dalam persidangan Senat tidak dicapai jumlah suara yang diperlukan, sehingga kasus Bill Clinton tidak berakhir dengan pemberhentian.

Batang Tubuh UUD 1945, memang tidak menyinggung soal ‘impeachment’ secara langsung. Karena itu, bagi orang yang berpendapat bahwa Penjelasan UUD 1945 bukan bagian dari UUD, maka dia cenderung berpendapat bahwa UUD 1945 tidak mengenal lembaga ‘impeachment’. Tetapi, pendapat seperti ini tentu saja hanya bersifat akademis, karena tokoh sejak tahun 1959, sudah menjadi konvensi bahwa Penjelasan UUD 1945 itu dipakai sebagai satu kesatuan naskah konstitusi Republik Indonesia yang tidak terpisahkan dari Batang Tubuhnya. Penjelasan UUD menyatakan bahwa jika DPR menganggap bahwa Presiden sungguh-sungguh melanggar Haluan Negara, Majelis dapat diundang untuk meminta pertanggungan jawab Presiden melalui persidangan istimewa. Karena itu, pengertian ‘impeachment’ yang dikenal di hampir semua negara konstitutional modern di dunia itu, jelas tidak bisa dianggap tidak ada dalam UUD 1945.

Prosedur Impeachment oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
a. Pihak-pihak
Proses Impeachment adalah pelaksanaan fungsi pengawasan DPR yang menurut UUD harus melalui MK. Dengan demikian, pemohon dalam perkara impeachment adalah DPR sendiri yang meminta pendapat yang telah diputuskan menurut mekanisme politik. Dalam pasal 2 ayat 1 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 21 tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/ Wakil Presiden dikatakan bahwa Pihak yang memohon putusan MK atas pendapat DPR adalah DPR yang diwakili oleh pimpinan DPR yang dapat menunjuk kuasa hukumnya. Jadi kesimpulannya tidak sembarangan anggota DPR yang bisa mengajukan permohonan kepada MK.

Kemudian dalam pasal 2 ayat 2 PMK No.21 Tahun 2009 dijelaskan tentang siapa yang menjadi pihak termohon dalam perkara Impeachment yaitu adalah Presiden dan/ atau Wakil Presiden yang dapat didampingi dan/atau diwakili oleh kuasa hukumnya.

b. Tata Cara Mengajukan Permohonan
Permohonan yang diajukan kepada MK haruslah diajukan oleh pimpinan DPR atau kuasanya secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dibuat 12 rangkap yang ditandatangani oleh Pimpinan DPR atau kuasa hukumya. Dalam permohonan tersebut DPR wajib menguraikan dengan jelas mengenai dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhiantan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.Dan juga apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945.

Yang dimaksud dengan pengkhianatan terhadap Negara adalah tindak pidana terhadap keamanan Negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Korupsi merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Penyuapan adalah tindak pidana penyuapan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Sedangkan Tindak pidana berat lainnya adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih dan perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden. Terakhir adalah yang dimaksud dengan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUD 1945 dan Undang-Undang yang terkait.

Dalam permohonan tersebut harus memuat secara rinci mengenai jenis, waktu, dan tempat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden apabila diduga Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum. Kemudian permohonan juga harus memuat uraian yang jelas mengenai syarat-syarat apa yang tidak dipenuhi dimaksud apaabila diduga Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Dalam permohonan tersebut DPR wajib melampirkan alat bukti berupa: a. Risalah dan/atau berita acara proses pengambilan keputusan DPR bahwa pendapar DPR didukung oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam Sidang Paaripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota; b. Dokumen hasil pelaksanaan fungsi pelaksanaan fungsi pengawasan oleh DPR yang berkaitan langsung dengan materi permohonan; c. Risalah dan/atau berita acara rapat DPR; d. Alat-alat bukti mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil Presiden yang menjadi dasar Pendapat DPR. Alat –alat bukti yang mendukung DPR dapat berupa surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan pihak-pihak, petunjuk, dan alat bukti lain berupa informasi yang diucapaakan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

c. Registrasi Perkara dan Penjadwalan Sidang
Setelah permohonan masuk ke MK maka akan diperiksa oleh Panitera mengenai kelengkapan syarat-syarat permohonan. Apabila belum lengkap diberitahukan kepada DPR untuk diperbaiki dan/atau dilengkapi dalam jangka waktu paling lama 3 hari kerja sejak pemberitahuan kekuranglengkapan tersebut diterima DPR. Kemudian setelah lengkap dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK) oleh panitera. Setelah itu panitera mengirimkan satu berkas permohonan yang sudah diregistrasi kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam jangka waktu paling lambat 3 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK disertai permintaan tanggapan tertulis atas permohonan yang dimaksud. Tanggapan tertulis Presiden dan/atau Wakil Presiden dibuat dalam 12 rangkap dan sudah harus diterima oleh Panitera paling lambat satu hari sebelum sidang pertama dimulai.

Mahkamah menetapkan hari sidang pertama paling lambat 7 hari kerja sejak permohonan diregistrasi oleh Panitera. Penetapan hari sidang diberitahukan kepada pihak-pihak dan diumumkan kepada masyarakat melalui penempelan salinan pemberitahuan di papan pengumuman mahkamah yang khusus digunakan untuk itu

d. Persidangan
Persidangan dilakukan oleh Pleno Hakim yang sekurang kurangnya dihadiri oleh 7 orang hakim konstitusi. Sidang pleno dipimpin oleh Ketua Mahkamah dan bersifat terbuka untuk umum.

Tahap pertama adalah sidang pemeriksaan pendahuluan. Dalam tahap ini wajib dihadiri oleh Pimpinan DPR dan kuasa hukumnya. Presiden dan. atau Wakil Presiden berhak untuk hadir dan apabila tidak dapat hadir maka dapat diwakili oleh kuasa hukumnya. Di tahap ini, Mahkamah melakukan pemeriksaan atas kelengkapan permohonan dan kejelasan materi permohonan kemudian Mahkamah memberikan kesempatan kepada Pimpinan DPR dan/atau kuasa hukumnya untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan seketika itu juga. Setelah dilengkapi dan/atau dilakukan perbaikan, Mahkamah memerintahkan Pimpinan DPR untuk membacakan dan/ atau menjelaskan permohonannya. Setelah itu, ketua sidang memberikan kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden atau kuasa hukumnya untuk mengajukan pertanyaan dalam rangka kejelasan materi permohonan.

Tahap kedua adalah Sidang Tanggapan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Ditahap ini Presiden dan/atau Wakil Presiden wajib hadir secara pribadi dan dapat didampingi oleh kuasa hukumnya untuk menyampaikan tanggapan terhadap pendapat DPR. Tanggapan itu dapat berupa sah atau tidaknya proses pengambilan keputusan pendapat DPR, materi muatan Pendapat DPR dan perolehan serta penilaian alat bukti tulis yang diajukan oleh DPR kepada Mahkamah. Dalam tahap ini, Mahkamah memberikan kesempatan kepada Pimpinan DPR dan/atau kuasa hukumnya untuk memberikan tanggapan balik

Tahap ketiga ialah Sidang Pembuktian DPR. Di tahap ini DPR wajib membuktikan dalil-dalilnya dengan alat-alat bukti baik berupa surat, keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk dan alat bukti lainnya. Dalam pemeriksaan alat bukti yang diajukan oleh DPR, Mahkamah memberikan kesempatan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden dan/ atau kuasa hukumnya untuk mengajukan pertanyaan dan/atau menelitinya

Tahap keempat adalah Sidang Pembuktian oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Dalam tahap ini Presiden dan/atau Wakil Presiden berhak memberikan bantahan terhadap alat-alat bukti yang diajukan oleh DPR dan melakukan pembuktian yang sebaliknya. Macam alat bukti yang diajukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden pada dasarnya sama dengan macam alat bukti yang diajukan oleh DPR. Mahkamah memberikan kesempatan DPR dan/atau kuasa hukumnya u ntuk mengajukan pertanyaan, meminta penjelasan, dan meneliti alat bukti yang diajukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Tahap kelima adalah Sidang Kesimpulan pihak-pihak dimana tahap ini setelah sidang-sidang pembuktian oleh Mahkamah dinyatakan cukup. Mahkamah memberi kesempatan baik kepada  DPR maupun Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menyampaikan kesimpulan akhir dalam jangka waktu paling lama 14 hari setelah berakhirnya Sidang Tahap empat. Kesimpulan tersebut disampaikan secara lisan dan/atau tertulis.

Sebelum dibacakan putusan atau tahap keenan ada mekanisme Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). RPH diselenggarakan untuk mengambil putusan setelah pemeriksaan persidangan oleh Ketua Mahkamah dipandang cukup. RPH dilakukan secara tertutup oleh Pleno Hakim dengan sekurang-kurangnya dihadiri oleh 7 orang Hakim konstitusi. Pengambilan keputusan dalam RPH dilakukan secara musyawarah untuk mufakat. Apabila tidak mencapai mufakat maka keputusan diambil dengan suara terbanyak dan apabila tidak bisa dengan suara terbanyak maka diambil suara terakhir Ketua RPH yang menentukan.

Tahap keenam atau terakhir adalah Pengucapan Putusan. Putusan MK terhadap pendapat DPR wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 90 hari sejak permohonan dicatat dalam BRPK. Putusan Mahkamah yang diputuskan dalam RPH dibacakan dalam sidang Pleno terbuka untuk umum. Dalam amar putusan, mahkamah dapat menyatakan: a. Permohonan tidak dapat diterima; b. membenarkan pendapat DPR apabila Mahkamah berpendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhiantan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.Dan juga apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945; c. Permohonan ditolak apabila pendapaat DPR tidak terbukti. Setelah itu putusan tersebut wajib disampaikan kepada DPR dan Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Putusan MK bersifat final secara yuridis dan mengikat bagi DPR selaku pihak yang mengajukan permohonan.

Putusan MK yang mengabulkan permohonan DPR tidak menutup kemungkinan diajukannya Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan pidana, perdata dan/atau tata usaha negara sesuai dengan asas dan hukum acara masing-masing.

Akhir kata, demikianlah sedikit mengenai pengertian impeachment dan prosedur impeachment di Indonesia. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam tulisan ini, dan mohon untuk dimaafkan. Semoga bermanfaat bagi pembaca pada khususnya dan kita semua pada umumnya. Amien

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hal. 600.
Latif, Abdul dkk, 2009, Buku Ajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Total Media, Yogyakarta
Winarno Yudho, dkk., op.cit, hal. 28
Undang-Undang Dasar  1945
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi
Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran Oleh Presiden dan/ Wakil Presiden

loading...

0 komentar:

Post a Comment

Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih