Monday, February 16, 2015

[Download Makalah Ekonomi Syariah]: Hukum Pegadaian Syariah

I. PENDAHULUAN
Islam agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaidah-kaidah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia, baik dalam ibadah maupun muamalah (hubungan antar makhluk). Setiap orang membutuhkan interaksi dengan orang lain untuk saling menutupi kebutuhan dan tolong-menolong di antara mereka.

Karena itulah, kita sangat perlu mengetahui aturan Islam dalam seluruh sisi kehidupan kita sehari-hari, di antaranya tentang interaksi sosial dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan perpindahan harta dari satu tangan ke tangan yang lain.

Hukum Islam secara konsepsional dipersepsikan sebagai suatu hukum yang universal, dinamis, elastis, fleksibel dan dapat beradaptasi, berinteraksi serta mampu menampung berbagai bentuk perkembangan sampai kapan pun. Pada prinsipnya syariat Islam telah mengatur kehidupan manusia dengan baik, rapi dan mengutamakan nilai-nilai keadilan dalam segala aspek problem kehidupan yang kian berkembang pesat. Baik problem yang berbentuk mu’amalat, munakahat, mawaris dan lain-lain.

Manusia sebagai makhluk hidup tidak bisa memisahkan diri dengan masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Sekarang dituntut berusaha untuk memenuhi kebutuhannya dengan segala cara yang dibenarkan. Namun demikian tidak setiap kebutuhan dapat terpenuhi dengan mudah, sekalipun kebutuhan itu sifatnya primer.

Salah satu solusi yang sering dilakukan oleh orang pada masa sekarang adalah melalui lembaga pegadaian. Realita yang ada tidak dapat dipungkiri, suburnya usaha-usaha pegadaian, baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti meningkatnya kegiatan gadai ini.

Ironisnya, banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan indah dan adil dalam Islam mengenai hal ini. Padahal perkara ini bukanlah perkara baru dalam kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya, terjadi kezaliman dan saling memakan harta saudaranya dengan batil. Utang-piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak muncul fenomena ketidakpercayaan di antara manusia, khususnya di zaman sekarang ini. Sehingga. orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang berharga dalam meminjamkan hartanya.

Dalam fiqh, perjanjian gadai biasa disebut dengan  ar-Rahnu, yaitu perjanjian hutang-piutang dengan cara memakai suatu barang sebagai tanggungan hutang.

Menurut al-Quran, as-Sunnah dan Ijma’ ulama bahwa gadai hukumnya boleh. Dalam al-Quran ditegaskan dalam surat al-Baqarah (2): 283,

Artinya:
“Dan jika kalian tengah berada dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Dalam sebuah hadits, dinyatakan pula bahwa Rasulullah saw pernah melalukan transaksi gadai ini semasa hidup Beliau. Diriwayatkan dalam sebuah hadits:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ

Artinya:
Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah membeli suatu makanan dari seorang Yahudi dan baju besinya sebagai jaminannya”.

Adapun dalam termonologi syariat, defini gadai atau ar-rahnu biasa diilustrasikan sebagai berikut: apabila seseorang ingin berhutang kepada orang lain dengan menjadikan barang miliknya baik berupa benda tak bergerak atau berupa ternak berada dibawah kekuasaan si berpiutang (pemberi pinjaman) sampai ia melunasi hutangnya.

Dengan memahami definisi gadai tersebut, maka dapatlah disimpulkan bahwa dalam akad gadai itu terkandung unsur-unsur (atau biasa disebut juga dengan rukun), yaitu:

1. Ar-rahn atau al-marhuûn (barang yang digadaikan).
2. Al-marhûn bih (utang).
3. Shîghah.
4. Dua pihak yang bertransaksi, yaitu ar-Râhin (orang yang menggadaikan) dan  murtahin (pemberi utang).

Sementara itu, Mazhab Hanafiyah memandang ar-rahn (gadai) hanya memiliki satu rukun yaitu shighah, karena pada hakikatnya gadai tersebut adalah transaksi (yang tak berbeda dengan transaksi mu’amalat lainnya).

Dari keempat unsur Rahn di atas, dalam makalah ini kami akan membahas lebih lanjut tentang ar-rahn / marhun, marhun bih dan al-qobdh dengan perumusan masalah sebagai berikut :

II. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan Marhun Bih dan syarat-syaratnya?
2. Apakah yang dimaksud dengan Marhun dan syarat-syaratnya?
3. Apakah yang dimaksud dengan al- Qobd dan syarat-syaratnya?

III. PEMBAHASAN

1. Marhun Bih (hutang)
Dalam gadai ada istilah yang dikenal dengan Marhun Bih. Adapun yang dimaksud dengan Marhun Bih tersebut adalah : hak yang diberikan oleh Murtahin (orang yang menerima gadai) kepada Râhin (orang yang menggadaikan) .

Atau dapat pula diartikan sebagai sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya taksiran marhun.

Dalam bahasa sehari-hari, marhun bih ini dapat kita sebut sebagai ‘hutang’ atau ‘konpensasi atas barang gadai’.

Dalam hal ini, ulama Hanafiah memberikan syarat bagi marhun bih sebagai berikut:

Pertama, marhun bih haruslah berupa hak yang wajib diserahkan kepada murtahin. Karena, apabila marhun bih itu tidak dapat diserahkan, maka barang gadai pun pada dasarnya tidak dapat diserahkan.
Sebagaimana difahami, bahwa akad ar-rahn merupakan tawtsîq bi ad-dayn, yaitu agar al-murtahin percaya untuk memberikan utang (pinjaman) atau bermuamalah secara tidak tunai dengan ar-râhin. Tentu saja itu dilakukan pada saat akad utang (pinjaman) atau muamalah kredit. Jika utang sudah diberikan dan muamalah kredit sudah dilakukan, baru dilakukan ar-rahn. Dengan demikian, marhun bih tersebut merupakan konpensasi dari kepercayaan yang diberikan debitur atas kepercayaan yang diberikannya kepada kreditur.

Pada masa Jahiliah, jika ar-râhin tidak bisa membayar utang (pinjaman) atau harga barang yang dikredit pada waktunya, maka barang agunan langsung menjadi milik al-murtahin. Lalu praktik Jahiliah itu dibatalkan oleh Islam. Rasul Shalallahu alaihi wasalam bersabda :

لاَ يُغْلَقُ الرَّهْنُ ,الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِي رَهَنَهُ ، لَهُ غَنَمُهُ وَعَلَيْهِ غَرَمُهُ

Agunan itu tidak boleh dihalangi dari pemiliknya yang telah mengagunkannya. Ia berhak atas kelebihan (manfaat)-nya dan wajib menanggung kerugian (penyusutan)-nya.” (HR as-Syafii, al-Baihaqi, al-Hakim, Ibn Hibban dan ad-Daraquthni)

Kedua, marhun bih itu hendaklah berupa barang atau sesuatu yang nantinya dapat dikembalikan / dibayarkan kepada pemiliknya (dilunasi kembali/ istifa’).
Dengan demikian, hutang tersebut tidaklah boleh berupa hal-hal yang tidak dapat dilunasi, seperti halnya jasa-jasa berikut:

a. Qishash.
b. Kafalah atas pribadi, seperti menggantikan orang lain di pengadilan.
c. Syuf’ah,  yakni tidak dibenarkan bagi seseorang untuk mengambil marhun bih atas tanah syuf’ah yang sudah wajib dijual kepada pembelinya.
d. Jasa-jasa dalam melakukan perbutan yang haram.

Ketiga, hendaklah marhun bih atau hutang tersebut berupa sesuatu yang diketahui (ma’lum) atau telah ditentukan. Karena itu, tidak dibenarkan marhun bih itu misalnya berupa ‘pelusanan salah satu hutang’, sebab hal ini tidak ditentukan dengan pasti.

Selain itu, Imam Abu Hanifah menggambarkan syarat Marhun bih ini harus berbentuk hutang yang dijaminkan. Yaitu hendaklah hutang itu wajib diserahkan kepada Rahin.

Dalam akad gadai ada kesepakatan tentang waktu pambayaran hutang gadai, namun adakalanya orang yang mempunyai hutang (Rahin) dapat melunasi sebelum jangka waktu yang ditentukan  tersebut, maka ada beberapa pendapat seperti dibawah ini :

Adapun pendapat selain Imam Hanafiah: diriwayatkan dari Imam Ahmad ada 2 riwayat, kalau gadai kemudian dibayar untuk hutangnya maka akan merusak perjanjian (gadai) dan batal juga gadainya, karena telah hilang hutang dengan gadai tersebut. Dan kepada yang membayar langsung dikembalikan barang gadaiannya.
Menurut Imam Syafi’i boleh saja langsung diserahkan namun  tidak membatalkan akad, karena penyerahan barang gadai tersebut didalam satu majelis (sewaktu akad gadai). Dan boleh mengambil gadai/ jaminan  kepada orang yang mempunyai hutang karena gadai itu merupakan hutang.
Menurut Sepakat Para  Ulama’: Tidak boleh memberikan hutang terhadap barang yang merupakan amanah/ titipan atau harta bersama, kerjasama (hasil), Karena rahn itu menahan barang gadai sebagai jaminan.
Menurut Maliki, Hambali dan Hanafi berpendapat: Orang yang memberi hutang harus dengan barang yang nyata yang bisa ditahan/dipegang dengan sendirinya (dikuasai).
Imam Syafi’i berkata  jika barang tersebut tidak berdiri sendiri (dikuasai orang lain)  maka tidak dapat digadaikan.
Abu Hanifah dan Imam Maliki membolehkan  gadai untuk hutang yang telah dijanjikan yang akan dibayar kemudian untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, akan tetapi bila seorang menggadaikan untuk masa yang akan datang tapi tidak ada janji maka tidak dibolehkan, jadi harus punya jangka waktu yang ditentukan, sebab menurut Imam syafi’i gadai itu hanya ada dalam hutang piutang, bukan hanya janji.

Imam Syafi’i dan Hambali dalam hal Marhun bih, mempunyai 3 syarat :
1. Hendaknya hutangnya merupakan hutang yang tetap.
2. Hutangnya harus ada (sewaktu akad).
3. Hutangnya harus ditentukan waktu dan jumlahnya.

2. Marhun  (barang gadai)
Selain disebut sebagai al-marhun, istilah ini dikenal juga dengan ar-rahn. Dr. Wahbah Zuhaili mendefinisikannya sebagai berikut: yaitu harta yang ditahan oleh pemilik piutang (murtahin) sebagai konpensasi atas hutang yang telah diberikannya kepada penghutang (rahin).
Para Ulama Fiqh memberikan beberapa definisi tentang Al-marhun (barang yang digadaikan) sebagai berikut :

Ulama madzhab Maliki mendefinisikan dengan "harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat."
Ulama madzhab Hanafi mendefinisikan dengan "Menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak (piutang) tersebut, baik seluruhnya maupun sebagian".
Ulama madzhab Syafii dan Hanbali mendefinisikan rahn dalam arti akad, "menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak dapat membayar hutangnya".
Rahn ditangan murtahin (pemberi hutang, kreditur) hanya berfungsi sebagai jaminan hutang rahin (orang yang berhutang, debitur). Barang jaminan itu baru bisa dijual/dihargai apabila dalam waktu yang disetujui kedua belah pihak, hutang tidak bisa dilunasi oleh debitor. Oleh karena itu, hak kreditor hanya terkait dengan barang jaminan apabila debitor melunasi hutangnya.Ulama fiqh mengemukakan bahwa akad rahn dibolehkan dalam Islam berdasarkan al-Qur'an (QS. Al Baqoroh,2:283) dan sunah Rasulullah.

Marhun atau Rahn harus ada pada saat perjanjian gadai dan barang tersebut merupakan milik sepenuhnya dari pemberi gadai.

Syarat yang berhubungan dengan al-marhun (barang gadai)
a. Barang gadai itu berupa barang berharga yang dapat menutupi utangnya, baik barang atau nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya.
b. Barang gadai tersebut adalah milik orang yang manggadaikannya atau yang diizinkan baginya untuk menjadikannya sebagai jaminan gadai.
c. Barang gadai tersebut harus diketahui ukuran, jenis, dan sifatnya, karena ar-rahn adalah transaksi atau harta sehingga disyaratkan hal ini.

Gadai hanya ada dalam hutang piutang, tidak dalam jual beli. Jadi tidak boleh menggadaikan sesuatu untuk harga barang yang akan dijual (garansi).

Dalam akad jual-beli kredit, barang yang dibeli dengan kredit tersebut tidak boleh dijadikan agunan. Tetapi, yang harus dijadikan agunan adalah barang lain, selain barang yang dibeli (al-mabî’) tadi.
Selain itu, Dibolehkan pula menggadaikan barang untuk  pelunasan hutang, bila lunas hutang maka selesai pula gadai demikian juga sebaliknya. Jadi tidak boleh menghabiskan (melunaskan) hutang dengan cara mengambil manfaat dari barang yang digadaikan tersebut. Tapi boleh melunaskan hutang dengan barang gadai tersebut sesuai dengan akad semula.

Apabila masa perjanjian gadai telah berakhir atau habis, maka pemilik barang berkewajiban melunasi hutangnya. Jika pemilik tidak melunasi hutang, serta tidak memperbolehkan barangnya dijual sekalipun untuk kepentingannya, maka Hakim (pengadilan) berhak memaksanya untuk melunasi hutang atau menjual barang gadai yang dijadikan jaminan.  Atas dasar ini, muamalah kredit motor, mobil, rumah, barang elektronik, dsb saat ini-yang jika pembeli (debitor) tidak bisa melunasinya, lalu motor, mobil, rumah atau barang itu diambil begitu saja oleh pemberi kredit (biasanya perusahaan pembiayaan, bank atau yang lain), jelas menyalahi syariah. Muamalah yang demikian adalah batil, karenanya tidak boleh dilakukan.

Jika harga penjualan melebihi jumlah hutang, maka sisa harga dikembalikan kepada pemilik. Jika harganya lebih rendah dari jumlah hutang, maka pemilik barang berkewajiban menutup sisa hutangnya. Jika pemilik tidak ada di tempat dan tidak diketahui beritanya, maka dengan seizin Hakim, pihak penerima gadai dapat menjualnya.

Hal ini tetap berlaku meskipun barang gadai tersebut berupa rumah tempat tinggal yang merupakan milik satu-satunya.   Hanya saja, Imam al-Ghazali, menegaskan bahwa hak al-murtahin untuk menjual tersebut harus dikembalikan kepada hakim, atau izin ar-râhin, tidak serta-merta boleh langsung menjualnya, begitu ar-râhin gagal membayar utang pada saat jatuh temponya.

Barang yang digadaikan harus nyata adanya, jelas wujudnya. tidak boleh juga menggadaikan barang dengan jaminan yang lebih terhadap dua orang, karena tidak jelas kepada siapa di jaminkan nya barang gadai tersebut.

Dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Dr. Wahbah Zuahaili menyatakan bahwa para ulama’ telah sepakat bahwa keseluruhan syarat yang terdapat pada ‘barang jual beli’ juga diyaratkan pada ‘barnag gadai’, artinya bahwa syarat barang gadai sama dengan syarat barang jual beli.

Adapun menurut ulama Hanafiah: barang gadi tersebut harus memenuhi syarat berikut:

1. Haruslah berupa harta yang dapat diperjual-belikan. Dengan demikian, harta tersebut haruslah ada pada waktu akad, dapat dipindahtangankan dan sebagainya.

Dengan demikian, maka tidak boleh misalnya menjaminkan pohon kurma dengan jaminan buahnya ketika buah itu belum ada, atau menjaminkan burung yang terbang di angkasa, dan lain sebagainya.
Ada pun harta semisal: buah yang masih mentah di pohonnya, maka sebagian ulama mengatakan bahwa harta yang seperti ini boleh dijaminkan oleh pemiliknya.

2. Rahn tersebut harus berupa harta yang sah secara syar’i. Adapun benda-benda seperti bangkai, binatang buruan di tanah suci dan sebagainya, maka benda-benda ini tidak dapat dikategorikan sebagai harta, karena itu tidak dapat dijaminkan.

3. Haruslah barang yang berharga dan bermanfaat secara syar’i.
Berdasarkan syarat ini, maka tidak dibenarkan bagi seorang muslim menjaminkan minuman keras, babi dan yang sejenis dengannya, karena benda-benda ini tidak berharga bagi mereka. Adapun bagi orang dzimmi, mereka dibolehkan menjaminkan benda-benda ini sesama mereka.

4. Barang tersebut harus diketahui dan telah ditentukan.

5. Barang tersebut harus milik sendiri

Lebih dari itu, harta agunan itu harus diserahterimakan oleh ar-râhin kepada al-murtahin pada saat dilangsungkan akad rahn tersebut. Dengan serah terima itu, agunan akan berada di bawah kekuasaan al-murtahin. Jika harta agunan itu termasuk harta yang bisa dipindah-pindah seperti TV dan barang elektronik, perhiasan, dan semisalnya, maka serah terimanya adalah dengan melepaskan barang agunan tersebut kepada penerima agunan (al-murtahin). Bisa juga yang diserahterimakan adalah sesuatu dari harta itu, yang menandakan berpindahnya kekuasaan atas harta itu ke tangan al-murtahin, jika harta tersebut merupakan barang tak bergerak, seperti rumah, tanah dan lain-lain.

Harta agunan itu haruslah harta yang secara syar‘i boleh dan sah dijual. Karenanya tidak boleh mengagunkan minuman keras, patung, babi, dan sebagainya. Harta hasil curian dan ghasab juga tidak boleh dijadikan agunan. Begitu pula harta yang bukan atau belum menjadi milik ar-râhin karena Rasul Saw telah melarang untuk menjual sesuatu yang bukan atau belum menjadi milik penjualnya.

Rasulullah Saw bersabda:

لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

Artinya: Jangan engkau jual apa yang bukan milikmu (HR Abu Dawud, an-Nasai, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Baihaqi).

Menurut Abu Hanifah : gadai akan dilelang dengan keputusan Hakim, jika orang yang menggadaikan tersebut ghaib/ tidak diketahui keberadaanya. Jika orang yang menggadaikan tersebut ada namun ia tidak mau menjual  ( untuk membayar hutang) dengan suka rela maka akan dipaksa dengan keputusan Hakim.

Barang gadai harus ada sewaktu akad dan tidak sah menggadaikan pohon untuk buahnya yang belum ada atau jika kambing digadaikan untuk anaknya yang belum lahir atau untuk binatang yang akan diburu.

Barang yang tidak bisa untuk melunasi hutang atau tidak bisa dijual.Tidak boleh menggadaikan barang yang tidak sah dalam jual beli.
Gadai itu harus berbentuk harta, tidak boleh berbentuk jasa. Menurut Abu Hanifah karena jasa bukan berbentuk harta.

Sedangkan menurut Jumhur ulama dan syafi’iyyah,  karena jasa tidak bisa diserahkan, karena tidak bisa dipegang.

Menurut Abu Hanifah, menggadaikan rumah beserta seluruh isinya maka gadai tersebut sah.
Menurut Syafi’I dan Hambali, menggadaikan rumah beserta isinya tidak sah. Tidak sah disini karena orang yang menggadaikan tersebut dianggap bodoh (orang bodoh tidak sah dalam menggadaikan).
Menurut Abu Hanifah: menggadaikan rumah bedeng/ rumah bersambung tetap sah. Menurut Imam Syafi’i dan Hambali, dalah hal tersebut maka harus dijelaskan rumah yang mana yang digadaikan jika tidak dijelaskan maka gadai tersebut tidak sah.

Menurut Abu Hanifah: boleh menggadaikan milik orang lain asal ada izin dari yang punya / pemilik.
Wali boleh menggadaikan harta anak perwaliannya untuk hutang dia sendiri atau untuk hutang anak tersebut.

Menurut Syafi’I dan Hanbali: tidak boleh menggadaikan bukan milik sendiri karena tidak sah jika dijual, meski gadai tersebut sudah seizin yang mempunyai barang/ pemilik.

Menurut Jumhur: kalau barang tersebut barang pinjaman, maka sah digunakan syaratnya jika ia meminjam memang untuk digadaikan.

6. Barang gadai haruslah mufarragh, yaitu tidak boleh masih terikat dengan hak penggadainya:
Dalam hal ini, tidak dibenarkan menggadaikan pohon kurma yang sedang berbuah, jik yang digadaikan hanya pohonnya. Atau menggadaikan tanah yang berisi tanaman, lalu yang digadaikan hanya tanahnya.

7. Barang gadai haruslah muhawwaz, yaitu terkelompok dengan jelas dan terpisah dari benda lainnya, tidak boleh berupa barang yang terpisah-pisah tapi memiliki keterkaitan dengan harta lain.
Karena itu misalnya tidak boleh menjaminkan buah yang ada di pohon tanpa sekalian menjaminkan pohonnya. Atau tidak dibenarkan juga menjaminkan tanaman yang ada di kebun tanpa sekaligus menjaminkan kebunnya. Sebab, buah atau tanaman itu tidak dapat dipisahkan dari pohon atau kebun tersebut.

8. Barang gadai haruslah terpisah jelas. Karena itu misalnya tidak boleh menggadaikan rumah setengahnya, atau mobil seperempatnya dan sebagainya.

Selain syarat di atas, Iman Syafi’I dan Hanbali dan Abu Yusuf mengatakan: barang yang digadaikan yang bisa bergerak/ dipindahkan maka harus dikuasai pemberi gadai. Yang tidak bisa dipindahkan tetap ditempatnya.

3. Al-Qabdh
Yang dimaksud dengan Al-Qabdh adalah : serah terima yang dilakukan oleh Rahin dengan Murtahin.
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah al-qabdh, apakah hal tersebut termasuk sebagai syarat keharusan atau hanya merupakan syarat kesempurnaan.

Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa al-qabdh itu merupakan suatu syarat wajib dalam Rahn.
Ulama al-Malikiyyah berpendapat bahwa al-qabdh merupakan syarat kesempurnaan saja.
Dalam hal apakah menjadi keharusan untuk diserahkan langsung ketika transaksi ataukah setelah serah terima barang gadainya, ada dua pendapat:

Pendapat pertama, serah terima adalah syarat keharusan terjadinya ar-rahn. Ini pendapat Mazhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan riwayat dalam Mazhab Ahmad bin Hambal, serta Mazhab Zahiriyah.
Dasar pendapat ini adalah firman Allah “فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ”.

Dalam ayat ini, Allah mensifatkannya dengan “dipegang” (serah terima), dan ar-rahn adalah transaksi penyerta yang butuh kepada penerimaan, sehingga membutuhkan serah-terima (al-qabdh) seperti utang. Juga karena hal itu adalah rahn (gadai) yang belum diserahterimakan, sehingga tidak diharuskan untuk menyerahkannya, sebagaimana bila yang menggadaikannya meninggal dunia.

Pendapat kedua, ar-rahn langsung terjadi setelah selesai transaksi. Dengan demikian, bila pihak yang menggadaikan menolak untuk menyerahkan barang gadainya, maka dia dipaksa untuk menyerahkannya. Ini pendapat Mazhab Malikiyah dan riwayat dalam Mazhab Hambaliyah.
Dasar pendapat ini adalah juga firman Allah “فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ“.

Dalam ayat ini, Allah menetapkannya sebagai ar-rahn sebelum dipegang (serahterimakan). Selain itu, ar-rahn juga merupakan akad transaksi yang mengharuskan adanya serah-terima sehingga juga menjadi wajib sebelumnya seperti jual beli. Demikian juga menurut Imam Malik, serah terima hanyalah menjadi penyempurna ar-rahn dan bukan syarat sahnya.

Syekh Abdurrahman bin Hasan menyatakan, “Adapun firman Allah
 ‘فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةُُ        
adalah sifat  keumumannya, namun kebutuhan menuntut (keharusannya) tidak dengan serah-terima (al-qabdh).

Prof. Dr. Abdullah ath-Thayyar menyatakan bahwa yang rajih adalah ar-rahn menjadi harus diserahterimakan melalui akad transaksi, karena hal itu dapat merealisasikan faidah ar-rahn, berupa pelunasan utang dengan barang gadai tersebut atau dengan nilainya ketika si peminjam tidak mampu melunasi utangnya. Ayat al-Quran pun hanya menjelaskan sifat mayoritas dan kebutuhan dalam transaksi yang menuntut adanya jaminan walaupun belum sempurna serah terimanya karena ada kemungkinan mendapatkannya.

Adakalanya barang gadai itu berupa barang yang tidak dapat dipindahkan, seperti rumah dan tanah, sehingga serah terimanya disepakati dengan cara mengosongkannya untuk murtahin tanpa ada penghalangnya.

Ada kalanya pula, barang gadai itu berupa barang yang dapat dipindahkan. Bila berupa barang yang ditakar maka disepakati bahwa serah terimanya adalah dengan ditakar pada takaran. Adapun bila barang timbangan maka disepakati bahwa serah terimanya adalah dengan ditimbang, dihitung bila barangnya dapat dihitung, serta diukur bila barangnya berupa barang yang diukur.

Namun bila berupa tumpukan bahan makanan yang dijual secara tumpukan, maka terjadi perselisihan pendapat tantang cara serah terimanya: ada yang berpendapat bahwa serahterimanya adalah dengan cara memindahkannya dari tempat semula, dan ada yang menyatakan cukup dengan ditinggalkan pihak oleh yang menggadaikannya dan murtahin dapat mengambilnya.

Adapun Syarat-syarat Al Qabd adalah:
1. Hendaklah serah terima itu seizin Rahin;
2. Hendaklah para pihak (Rahin dan Murtahin) hadir ketika serah terima;
3. Hendaklah serah terima tersebut dilaksanakan secara langsung (tidak terputus dengan yang lain);

Kesimpulan:
1. Marhun Bih (hutang)
Dalam gadai ada istilah yang dikenal dengan Marhun Bih. Adapun yang dimaksud dengan Marhun Bih (Hutang) adalah : hak yang diberikan oleh Murtahin (orang yang menerima gadai) kepada Rahin (orang yang menggadaikan). Atau dapat diartikan sejumlah dana yang diberikan murtahin kepada rahin atas dasar besarnya taksiran marhun. Adapun Marhun bih, mempunyai 3 syarat : Hendaknya hutangnya merupakan hutang yang tetap, Hutangnya harus ada (sewaktu akad). Hutangnya harus ditentukan waktu dan jumlahnya.

2. Al- Marhun / Rahn (barang gadai) 
adalah menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berhutang tidak dapat membayar hutangnya. Para ulama’ telah sepakat bahwa sesungguhnya syarat gadai sama dengan yang disyaratkan dalam jual beli.

3. Al-Qabdh
Yang dimaksud dengan Al-Qabdh adalah : serah terima yang dilakukan oleh Rahin dengan Murtahin. Para ulama berselisih pendapat dalam masalah al qabd, apakah hal tersebut termasuk sebagai syarat keharusan atau hanya merupakan syarat kesempurnaan. Adapun Syarat-syarat Al-Qabdh adalah: hendaklah serah terima itu seizin Rahin, hendaklah para pihak (Rahin dan Murtahin) hadir ketika serah terima, hendaklah serah terima tersebut dilaksanakan secara langsung (tidak terputus dengan yang lain); 

Daftar Pustaka:
  •   Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Riba, Utang Piutang Gadai, PT. Al Ma’arif, Bandung, 1993, Hlm. 59.
  •   Al-Bukhari, Al Jami’ Ash Shahih, Toha Putra, Semarang, tt, jilid 3, hlm. 187.
  •   As-Sayid Sabiq, Fiqh As Sunnah, Dar Al-Kitab Al-Arabi, Beirut, 1971, jilid 3, hlm 103. 
  •   Shighah adalah sesuatu yang menjadikan kedua transaktor dapat mengungkapkan keridhaannya dalam transaksi, baik berupa perkataan yaitu ijab qabul, atau berupa perbuatan.
  •   Abdullah bin Muhammad ath-Thayar,et. al, Al-Fiqh al-Muyassar, Qismul Mu’amalah, Ad-Dar al-Wathani lin Nasyr, Riyadh, KSA, tahun 1425H, hlm. 115.
  •   Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Dâr Al-Fikr, Beirut, 1989, hal .193
  •   Abdullah bin Muhammad ath-Thayar, Op.cit.
  •   Syekh Abdullah Al Bassam, Kitab Taudhih al-Ahkam min Bulugh al-Maram, Maktabah al-Asadi, Makkah, tahun 1423, cetakan kelima, Jilid 4, hlm. 460.
  •   Ibid.
  •   As-Sayyid Sabiq, Op.cit, hlm. 108
  •   Ahmad Azhar Basyir, Op.cit, hlm. 60.
  •  Abu Hamid al-Ghazali, al-Wasith, Juz III, Dar as-Salam, Kairo. 1417 H, Hlm. 520.
  •   Wahbah Zuhaily, Op. Cit.hlm. 201
  •   Ibid, hlm 196
  •   Ibid, hlm.207
  •   Ibnu Qudamah tahqiq DR. Abdullah bin Abdulmuhsin Alturki dan Abdulfatah Muhammad Al Hulwu, Mughni, penerbit hajar, Kairo, Mesir, cetakan kedua tahun 1412H, Juz 6, hlm.466
  •   Syeikh Abdullah Al Bassaam, Op.cit. hlm.464
  •   Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Op.Cit, hlm.117.
  •   Ibid, hlm 210-212.
download makalah hukum pegadaian syariah - format microsoft word:


loading...

0 komentar:

Post a Comment

Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih