Tuesday, June 9, 2015

[Tarikh] Charles Adriaan van Ophuijsen dan Berakhirnya Aksara Melayu / Jawi di Hindia Belanda

Seperti diketahui, bahasa Indonesia yang digunakan di tanah air berasal dari bahasa Melayu.

Memang, sedari dulu bahasa Melayu merupakan lingua franca yang dapat dimengerti oleh masyarakat di kepulauan Melayu yang saat ini sudah terbagi-bagi menjadi beberapa negara.

Hingga awal abad ke XX, penggunaan bahasa Melayu dalam bentuk aksara masih menggunakan aksara Arab Melayu (Jawi). Dalam hal ini, semua orang terdidik di kawasan ini tentu saja bisa membaca huruf Arab Melayu. Surat-surat kabar periode awal juga menggunakan aksara Arab Melayu. Surat menyurat antara raja-raja dan penguasa tempatan dengan pihak asing juga menggunakan aksara Melayu, hal ini dapat kita lihat dari berbagai manuskrip yang ada.

Penggunaan aksara Melayu ini dapat dimengerti, sebab mengakarnya agama Islam di tengah masyarakat membuat aksar Arab akrab sehari-hari. Otomatis, seseorang yang pandai membaca Al-Qur'an akan pandai membaca yang lain.

Barulah pada tahun 1901, penguasa Hindia Belanda mengganti ejaan bahasa Arab Melayu dengan huruf Latin, yang disebut Ejaan van Ophuijsen. Disebut demikian, sebab ejaan tersebut dirancang oleh van Ophuijsen dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.

Sejak saat itu, sedikit demi sedikit aksara Arab Melayu atau Jawi mulai ditinggalkan orang. Sehingga banyaklah orang yang saat ini tidak lagi mampu membaca tulisan. Dan barulah akhir-akhir ini beberapa pemerintahan daerah seperti di Riau menjadikan pelajaran Arab Melayu menjadi muatan lokal di sekolah-sekolah dasar.

Siapa Van Ophuisjen?
Charles Adriaan van Ophuijsen adalah seorang sarjana berkebangsaan Belanda yang mendalami bahasa-bahasa di kepulauan Melayu.

Van Ophuijsen lahir di Solok, Sumatera Barat, pada tahun 1856  dan wafat di tanah leluhurnya di Leiden, tanggal 19 Februari 1917.

Bersama Engku Nawawi gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Sutan Ibrahim, van Ophuijsen menyusun ejaan baru untuk mengganti ejaan bahasa Melayu pada 1896.

Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan van Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Charles pada tahun 1879 menerbitkan buku berjudul Kijkjes in Het Huiselijk Leven Volkdicht (Pengamatan Selintas Kehidupan Kekeluargaan Suku Batak) dan Maleische Spraakkunst (Tata Bahasa Melayu).

Pemerintah kolonial kemudian mengangkatnya menjadi guru besar ilmu bahasa dan kesusasteraan Melayu di Universitas Leiden pada 1904. Charles Adriaan van Ophuijsen meninggal dunia pada 1917.

Beberapa ciri khas yang menjadi karakteristik ejaan Van Ophuijsen  adalah:

  • Huruf j untuk menggambarkan huruf y saat ini, misalnya kata-kata jang, pajah, sajang.
  • Huruf oe untuk melambangkan huruf u sekarang ini, misalnya kata-kata goeroe, itoe, oemoer.
  • Tanda diakritik, seperti koma ain dalam aksara Arab dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma'moer, 'akal, ta', pa', dinamai'.

Apa sebenarnya tujuan Van Ophuijsen mengganti aksara Arab Melayu menjadi lati tersebut?

Selain motif orientaslisme, kuat dugaan Van Ophuijsen membuat ejaan tersebut untuk memudahkan orang Belanda dalam membaca tulisan-tulisan Arab Melayu dan berinteraksi dengan orang Melayu.

Dalam perkembangannya, EjaanVan Ophuijsen kemudian digantikan dengan ejaan Suwandi, yaitu 2 tahun pasca proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada tanggal 19 Maret 1947 ejaan Soewandi diresmikan menggantikan ejaan van Ophuijsen. Ejaan baru itu oleh masyarakat diberi julukan ejaan Republik. Hal-hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pergantian ejaan itu adalah sebagai berikut.
Huruf oe diganti dengan u, seperti pada guru, itu, umur.

Dalam ejaan Suwandi, bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, seperti pada kata-kata tak, pak, maklum, rakjat.

Selain itu, kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti anak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.

Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.

Perkembangan berikutnya, pada akhir 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu (Slametmulyana-Syeh Nasir bin Ismail, Ketua) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya mengurungkan peresmian ejaan itu. '

Dan setelah itu, barulah muncul ejaan yang disempurnakan seperti yang dipakai di Indonesia hari ini. 
loading...

0 komentar:

Post a Comment

Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih