Wednesday, June 3, 2015

Surat dari Raja Johor, Abdul Jalil Shah IV (1699-1720), kepada Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck, 26 April 1713

Istana Johor
Kesultanan Johor lama yang disebut juga Kesultanan Johor-Riau, didirikan di paruh pertama abad ke-16 oleh sultan Melaka yang digulingkan, yang kemudian memerintah bersama dengan para ahli warisnya.

Di antara kerajaan-kerajaan serta para penguasa Melayu, Johor merupakan salah satu dari kekuatan politik atau negara yang bersaing ketat untuk memantapkan perannya sebagai ahli waris Melaka; demikian pula ketika kawasan tersebut mulai dikuasai oleh kekuatan kolonial Eropa.

Hingga akhir abad ke-16, penguasanya terkadang juga disebut “Kaisar dari Para Raja Melayu”.[1]

Di puncak kemasyhuran dan kewibawaannya antara akhir abad ke-16 dan awal abad ke-18, kesultanan Johor-Riau menerima sumpah kesetiaan dari masyarakat yang tinggal di seluruh kawasan geografik yang mengesankan yang merentang bagian-bagian selatan Jazirah Melayu, Kepulauan Riau (termasuk Singapura masa kini), kepulauan Anambas, Tambelan dan kelompok pulau Natuna, kawasan di sekitar Sungai Sambas di Kalimantan barat-daya dan Siak di Sumatra tengah-timur[2].

Selain itu, kesultanan Johor-Riau juga menyatakan bahwa orang-orang yang diperintah oleh para penguasa Kampar, bendahara Pahang dan Terengganu adalah kawulanya. Di antara para sekutunya di awal abad ke-17, terdapat Champa yang kewibawaannya meliputi Vietnam selatan masa kini. Penguasa Champa sudah memeluk agama Islam dan menjalin hubungan resmi dengan Johor pada tahun 1606 atau sekitarnya; hubungan akrab tersebut dipertahankan selama beberapa dasa warsa.[3]

Kompleksitas aneka ragam penduduknya dan juga rentang geografisnya telah membentuk ciri kesultanan Johor-Riau yang merupakan sebuah kekuatan politik yang luas dan juga menjelaskan dua segi yang khususnya menarik dalam konteks masa kini; pertama, politik kesultanan Johor-Riau rumit serta multi-polar, kendati hal itu dapat diperdebatkan. Ciri kekuatan politik atau negara Melayu dalam kurun waktu pra-modern adalah bahwa para penguasanya mencurahkan perhatian kepada masyarakatnya dan tidak pada lahan atau kawasan, dan struktur kesetiaan penduduknya bersifat mengalir, tidak tetap.[4]

Hal itulah yang dinilai sangat menantang oleh para pengamat Eropa untuk memahaminya. Oleh karena rasa kesetiaan di antara para penduduknya cair, maka terdapat banyak kawasan abu-abu di dalam sebuah rentang geografis negara, terutama di kawasan perbatasan: sudah menjadi rahasia umum bahwa para datuk dan maharaja memberi upeti serta menyatakan kesetiaan kepada lebih dari seorang maharja pada waktu yang sama.

Dengan membaca cermat bahan-bahan yang tertulis dalam bahasa Belanda, maka kita dapat melihat bahwa telah muncul sebuah wilayah yang bermasalah antara Kompani (VOC) dengan Johor dalam dua dasawarasa pertama abad ke-18, yaitu menyangkut sebuah kawasan luas yang dikenal dengan nama Patapahan. VOC menyatakan bahwa setiap tahun menyampaikan upeti dan penghormatan kepada Raja Minangkabau di Sumatra, sementara sultan Johor bersitegang dan menyatakan bahwa penduduk Patapahan tunduk di bawah kekuasaannya.[5]

Secara keseluruhan, kesultaanan Johor-Riau menjalin hubungan bersahabat dengan VOC sejak awal tahun 1600, dimulai dengan membuat sebuah persekutuan ad hoc antara Sultan Ala’udin Ri’ayat Shah III dengan laksamana Belanda Jacob van Heemskerk.(1567-1807) Johor merupakan salah satu di antara kekuatan-kekuatan Asia yang pertama kali mengutus sebuah misi diplomatik ke Belanda di tahun 1603.[6] Ketika tiga tahun kemudian para utusan kedutaan Johor itu kembali dengan selamat menumpang armada Laksamana Matelieff, dua buah perjanjian resmi diratifikasi antara Johor dan VOC di bulan Mei dan September 1606.[7]

Menjelang akhir abad ke-17, terjadi pembunuhan pada tanggal 3 September 1699 atas Mahmud Shah II (1685-1699) yang berperi laku aneh dan tidak berketurunan, yang bersangkutan merupakan penguasa Johor terakhir dari garis keturunan Melaka. Atas nasehat paman almarhum sultan Mahmud, yaitu Tumenggung Muar, maka para orang kaya memutuskan untuk menyatakan sepupu Mahmud, yaitu Bendahara Abdul Jalil, untuk menduduki tahta Johor; beliau kemudian memerintah dengan nama Abdul Jalil Shah IV (memerintah 1699-1720).

Namun, di beberapa kalangan di Johor, muncul kesangsian dan beberapa di antara mereka memanfaatkan peluang. Para orang laut yang tidak puas karena berpendapat bahwa pengangkatan bendahara menjadi sultan tidak dilakukan sesuai yang semestinya.[8] Orang Bugis yang sudah menetap di Johor dan menjadi semakin mapan di paruh kedua abad ke-17 selama peperangan di Jambi, mereka memanfaatkan kesempatan yang disodorkan oleh krisis pewarisan takhta dengan menuntut lebih banyak kekuasaan untuk Raja Muda Bugis (alias Yang di Pertuan Muda, “raja muda”).

Ketidakpastian serta kemurungan yang mencuat akibat penetapan mantan bendara sebagai penguasa Johor yang baru, telah menimbulkan sejumlah kerusuhan yang semakin meningkatkan ketidak-pastian dan merupakan ancaman besar dari dalam  di  Johor-Riau. Selain dari itu, aksi angkatan laut Siam di lepas pantai Terengganu yang katanya ditujukan terhadap para perompak, telah membuat para pejabat Johor bersiap-siaga untuk bertindak dan juga karena dipicu oleh penguatan benteng-benteng (khususnya di Bintan dan sekitarnya). Timbul kekhawatiran bahwa Johor tidak lama lagi akan menjadi sasaran dalam kampanye angkatan laut baru dari Siam.[9]

Pertimbangan-pertimbangan tersebut mengarah kepada isi dokumen yang kita bahas sekarang. Di awal dasawarsa kedua abad ke-18, hubungan bersahabat yang sudah berlangsung lama antara VOV dengan Kesultanan Johor-Riau mendapat tekanan. Titik api yang langsung timbul dalam hubungan yang mengalami tekanan adalah penafsiran berbeda atas ayat 3 perjanjian VOC-Johor yang dimeterai tahun 1689.[10]

Raja Muda menolak bahwa warga bebas Belanda dari Melaka diperbolehkan masuk ke kawasan Sungai Siak untuk berdagang, dan juga menolak kehadiran mereka di Patapahan. Ayat 4 dari perjanjian 1689 mengizinkan “kapal dari Melaka” untuk singgah dan berdagang di Patapahan dengan membayar pajak kepada shabandar Johor. Dari pihak Johor, mereka berpendapat bahwa ayat 3 menetapkan yang berhak untuk datang dan berdagang di Siak hanyalah untuk VOC, dan tidak untuk warga bebas Melaka, dan mereka juga menyatakan bahwa rakyat Patapahan adalah kawula Johor. VOC tidak sepakat dan mengatakan bahwa rakyat Patapahan membayar upeti kepada raja Minangkabau dan tidak kepada penguasa Johor. Ketegangan semakin memuncak di kedua pihak dan masing-masing pihak menyita kapal-kapal dagang dengan berbagai alasan. VOC sangat berkeinginan untuk menyelesaikan masalah tersebut dan mengutus sebuah tim negosiasi ke Johor untuk mencari jalan keluar dari kebuntuan tersebut dan untuk menegosiasikan sebuah perjanjian baru dengan Johor. Para utusan Belanda berangkat menuju Johor awal Januari 1713, membawa instruksi yang jelas dan tegas dari gubernu Belanda untuk memperoleh kebebasan masuk dan melakukan perdagangan bebas baik untuk VOC maupun untuk penduduk Melaka di Siak.

Raja Muda sangat tersinggung, tidak hanya oleh kegigihan para utusan Belanda yang menghendaki negosiasi baru atas sejumlah ayat dalam perjanjian, tetapi beliau juga sangat terusik karena para utusan Belanda dengan gamblang memerlihatkan bahwa mereka tidak mau mengikuti tata cara diplomatik Melayu. Raja Muda mengeluhkan ungkapan-ungkapan yang pendek serta bahasa yang sangat menyinggung dalam surat-surat gubernur Melaka, dan untuk menutupi kedudukannya yang goyah selama bernegosiasi maka sejumlah pihak disalahkan termasuk penerjemah yang dikatakan tidak memahaminya.[11]

Raja Muda juga tersinggung oleh Belanda tetapi perihal lain: pihak Belanda mulai memungut pajak dari kapal-kapal Johor di Melaka – menurut ayat 3 perjanjian 1689 mereka dengan tegas dibebaskan dari biaya-biaya semacam itu – dan Belanda juga telah menyita sebuah kapal Johor di lepas pantai Coromandel di India. Tindakan-tindakan seperti itu sangat menghina dalam kontkes kebudayaan Melayu karena bermakna bahwa pihak Belanda telah merendahkan nama atau nama baik, dan sebuah nama baik sangat penting untuk martabat raja dan merupakan pahala penting di alam baka.[12] Dalam laporan-laporan Belanda dikabarkan bahwa pihak Johor mencegah kapal-kapal Jawa berlabuh di Melaka, dan sebaliknya menyuruh mereka kembali ke pelabuhan Riau (Tanjung Pinang dewasa ini di pulau Bintan).[13]

Hal ini, ditambah dengan keengganan bernegosiasi dengan pejabat-pejabat Belanda yang masih muda, mendorong Raja Muda untuk mengdakan negosiasi langsung dengan Batavia. Sebuah utusan resmi yang dipimpin Laksamana Seri Nara di Raja dari Johor tiba di Batavia pada tanggal 26 April 1713. Surat dari Abdul Jalil IV yang ditujukan kepada Gubernur-Jenderal Abraham van Riebeeck (1709-1713) diserahkan. Dalam surat tersebut sultan mengutarakan rasa hormatnya serta rasa kasihnya yang besar dan mendalam terhadap VOC dan mengingatkan kedua pihak pada hubungan timbal balik mereka yang sudah berlangsung lama dan berawal di permulaan abad ke-17.

Sultan juga memanfaatkan kesempatan ini untuk kembali menyatakan tafsirnya atas ayat 3 dalam perjanjian Johor-VOC 1689 dan menjelaskan bahwa hak untuk bebas masuk dan berdagang diberikan kepada orang Belanda di Siak sangatlah dibatasi dan hanya diperuntukkan bagi kompeni dan bukan kepada warga bebas atau penduduk Melaka. Kemudian ada masalah dengan kapal yang dicegat di Pesisir Coromandel di India. Pihak Belanda berjanji akan mengembalikan kapal beserta muatannya yang telah disita itu.[14]

Sultan memertaruhkan sejumlah kepentingan yang sulit dan beliau paham benar tentang kedukannya yang sukar dalam negosiasi tersebut. Selain merupakan tawaran, maka pujiannya terhadap persahabtan dengan VOC sangat bertentangan dengan ancaman-anacaman yang dilontarkan sebelumnya oleh Raja Muda yang berusaha membuat sebuah perjanjian baru dengan pihak Perancis – salah satu musuh Republik Belanda selama Perang Pewarisan Tahta Spanyol (1701-1714). Sejak awal abad ke-18,  Perancis telah mengonsolidasikan kepentingan mereka di kawasan sekitar Teluk Benggala, termasuk juga khususnya Tenasserim dan Kedah. Nampaknya, perdagangan dengan luar negeri di Raiu, tidaklah berkembang pesat pada waktu itu dan bahkan mungkin telah mendapat dampak buruk dari perang Eropa.

Selain itu, bukan merupakan langkah bijak untuk menjauhkan Belanda ketika menghadapi kemungkinan penyerangan dari Siam terhadap Johor. Kedudukan beliau dalam negosiasi sangat rapuh dan hal itu tercermin dalam permohonannya untuk mendapat izin untuk menambah muatan beras ke Johor. Laporan Gubernur Jenderal Van Riebeek kepada para Direktur VOC tertanggal 13 Januari 1713, menyatakan bahwa antara 20 hingga 30 kepal Jawa telah membawa muatan beras dan garam ke berbagai pelabuhan di Johor, termasuk Bengkalis dan Lingga.[15] Akan tetapi, permohonannya untuk muatan tambahan ditolak VOC dengan alasan bahwa terjadi petaka kelaparan di kawasan tersebut, Bengkalis dan, Lingga.[16]

Referensi:
[1] P. Borschberg, “Jacques de Coutre as a Source for the Early 17th Century History of Singapore, the Johor River, and the Straits”, Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 81.2 (2008), 90 note 97; Borschberg, The Singapore and Melaka Straits: Violence, Security and Diplomacy in the 17th Century, Singapore and Leiden: NUS Press and KITLV Press, 2010, 226, 323 note 155.

[2] M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago between 1500 and about 1630. The Hague: Martinus Nijhoff, 1962, 139, menyatakan bahwa kewibawaan sultan Johor meliputi kawasan yang lebih kecil.

[3] Terkait Champa di awal abad ke-17, lihat pula I.A. Taveres Mourão, Portugueses em Terras do Dai-Viêt (Cochinchina e Tun Kim), 1615-1660, Macao: Instituto Português do Oriente and Fundação Oriente, 2005, 40-7.

[4] A.C. Milner, Kerajaan: Malay Political Culture on the Eve of Colonial Rule. Tucson: University of Arizona Press, 1982, h. 6.

[5] Andaya, L.Y., The Kingdom of Johor, 1641-1728: Economic and Political Developments. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1975, 222-223.

[6] Borschberg, The Singapore and MelakaStraits, 122.

[7] F.W. Stapel and J.E. Heeres, eds., “Corpus Diplomaticum Neërlando-Indicum. Verzameling van politieke contracten en verdere verdragen door de Nederlanders in het Oosten gesloten, van privilegiebrieven, aan hen verleend, enz.”, eerste deel (1596-1650), Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indië, 57 (1907): 45-47.

[8] Concerning this episode, see E. Netscher, De Nederlanders in Djohor en Siak. Batavia: Bruining & Wijt, 1870, hh. 47 dst.

[9] Andaya, The Kingdom of Johor, 217- 218.

[10] Netscher, De Nederlanders in Djohor en Siak, 46.

[11] Andaya, The Kingdom of Johor, 220-225.

[12] Andaya, The Kingdom of Johor, 226; terkait pencarian atau penentuanr nama oleh para penguasa Melayu, lihat A.C. Milner, Kerajaan, 104-6, dan Milner, The Malays. Oxford: Wiley-Blackwell, 2008, 66-7; also J.H. Walker, “Autonomy, Diversity, and Dissent: Conceptions of Power and Sources of Action in the Sejarah Melayu (Raffles MS 18)”, Theory and Society, 33.2 (2004), 213.

[13] W.Ph. Coolhaas, ed., Generale Missiven van Gouvverneurs-Generaal en Raden aan Heren XVII der Verenigde Oostindische Compagnie, jld. VI (1698-1713). The Hague: Martinus Nijhoff, 1976, 901, report of Van Riebeck, etc. to the Heren XVII, 13 January, 1713.

[14] Andaya, The Kingdom of Johor, 227.

[15] W.Ph. Coolhaas, ed., Generale Missiven, jld. VI (1698-1713), 902.

Peter Borschberg, “Surat dari Raja Johor, Abdul Jalil Shah IV (1699-1720), kepada Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck, 26 April 1713”. Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta, dokumen 7. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2013.
loading...

0 komentar:

Post a Comment

Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih