Monday, June 2, 2014

Islamisasi Alam Melayu Lahirkan Budaya Intelektualisme Sunni

Dikutip dari tulisan: Kholili Hasib, [Peneliti InPAS Surabaya]

SEJARAH dan tradisi kegamaan Muslim di sekitar ranta Melayu-Nusantara menghadapi dua tantangan. Pertama, dalam frame pemikiran orientalis, kedatangan Islam di Nusantara dianggap tidak membawa kemajuan dalam pemikiran orang-orang Nusantara. Bahkan orientalis lebih menampilkan kisah-kisah mitologi daripada karya intelektual bangsa Nusantara.

Kisah-kisah para ulama Jawa dahulu dan Wali Songo, misalnya dikreasi dengan menonjolkan unsur mitologi dari pada unsur keilmuan dan intelektual. Kedua, kultur dan tradisi kegamaan yang tumbuh serta membudaya di kalangan Muslim Nusantara disangkut-pautkan dengan budaya non-Ahlus Sunnah bahkan juga dikaitkan dengan kultur non-Islami (Hindu).

Prof. Dr. Tatiana Dannisova, pakar sejarah Melayu, berpendapat bahwa karya-karya pemikir dan ulama Melayu-Nusantara ‘dipinggirkan’ oleh orientalis karena beberapa sebab. Pertama, tidak banyak dari orientalis yang faham tulisan pegon (atau dikenal huruf Arab-Jawi). Teks-teks Melayu banyak menggunakan tulisan pegon. Kedua, banyak teks-teks yang hilang pada zaman penjajahan. Sehingga tidak banyak yang diketahui. Ketiga, Karya-karya Melayu di Nusantara diremehkan oleh orientalis, dianggap hanya karya sastra, hikayat mitologis yang minus falsafah dan ilmu pengetahuan (Tatiana Dannisova, Refleksi Historiografi Alam Melayu, hal.5 ).

Padahal, karya tulis klasik ulama Nusantara sangat kaya dengan falsafah dan ilmu. Meskipun nama hurufnya adalah Arab-Jawi, namun penggunaannya tidak hanya di sekitar pula Jawa. Namun menyeluruh di daerah-daerah yang terislamkan. Seperti Sumatra, semenanjung Malaka, Kalimantan, dan Jawa.

Kononnya, para Wali Songo di tanah Jawa pertama-tama menggunakannya sebagai tulisan dalam pelajaran agama. Sehingga, dikatakan tulisan tersebut terkenal dengan nama Arab-Jawi.

Risalah Tasawuf Hamzah Fansuri, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja Pasai,Karya Kiai Shaleh Darat, sebagian karya KH Hasyim Asy’ari (sebagian besarnya ditulis dengan bahasa Arab) dan karya-karya ulama Jawa lainnya memakai huruf Arab-Jawi. Di pesantren-pesantren Nusantara dari dulu hingga kini masih mempertahankan tradisi menulis Arab-Jawi dalam pelajaran agama.
Karya-karya tersebut bukan karya mitologis, tapi karya tersebut ada yang bertema metafisika, adab, falsafah dan lain-lain.

Budaya ilmu dalam bentuk karya tulis dengan kualitas tinggi sudah meluas di kawasan Sumatra dan Jawa. Keagungan sebuah peradaban ditandai dengan meningkatnya budaya tulis. Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas mengatakan:

“Abad-abad ke-enam belas dan ke-tujuh belas suasana kesuburan dalam penulisan sastera falsafah, metafizika dan teologi rasional yang tiada terdapat tolak bandinganya di mana-mana dan di zaman apa pun di Asia Tenggara. Penterjemahan al-Qur’an yang pertama dalam bahasa Melayu telah diselenggarakan beserta syarahannya yang berdasarkan al-Baydawi; dan terjemahan-terjemahan lain serta syarahan-syarahan dan karya-karya asli dalam bidang falsafah, tasawuf dan ilmu kalam semuanya telah diselenggarakan pada zaman ini juga” (Syed Muhammad Naquib al-Attas,Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, hal.45).

Sementara, peradaban Hindu-Budha tidak melahirkan karya ilmu pengetahuan dan filsafat. Dua peradaban ini banyak mewariskan candi dari batu. Ajaran Hindu hanya berkembang kuat di kalangan raja-raja, tidak sampai melekat dalam alam pikiran rakyat jelata. Menurut Syed al-Attas, Hindu lebih menampilkan kesenian dan perkara-perkara estetik daripada saintifik. Kisah-kisah yang lahir pada peradaban Hindu bernuansa dongeng mitologis (khayalan). Al-Attas berpendapat, tiada seorang pun dari Hindu Melayu atau Budha Melayu yang diketahui mencul sebagai ahli pikir atau filsuf terkenal.

Namun, oleh orientalis Belanda, mereka disanjung dan dipopulerkan dengan tujuan membenamkan sejarah intelektualisme Muslim Nusantara pada abad silam. Padahal, dari Sumatra dan Jawa, lahir pemikir-pemikir Muslim terkenal. Tidak hanya di Nusantara tapi juga bertaraf internasional.

Hamzah Fansuri, asal Aceh, seorang ahli tasawuf dan filsafat Islam disebut sebagai orang yang pertama yang menggunakan bahasa Melayu dengan secara rasional dan sitematis-filosofis. Ia pernah melakukan perjalanan intelektual dari Asia Tenggara, India hingga Timur Tengah.

Setelah itu, di Aceh lahir pemikir besar di bidang ilmu Kalam, Nuruddin al-Raniri. Seorang Mufti Besar Sultan Iskandar II.

Menurut al-Attas, al-Raniri menulis sekitar 22 buah judul buku. Karya terkenalnya dalam bidang teologi adalah Durr al-Fara’id, terjemahan bahasa Melayu dari Syarah Aqa’id al-Nasafiyah oleh Syeikh Taftazani. Kitab akidah yang ditulis oleh Syaikh Umar al-Nasafi, ulama bermadzhab Hanafi. Kitab yang diterjemah al-Raniri ini berisi asas-asa akidah dan prinsip epistemologi Islam.
Beberapa ulama Muslim yang diakui internasional adalah Syaikh Nawawi al-Jawi al-Bantani, Syaikh Yasin al-Fadani, Syaikh Mahmud al-Tirmasi dan lain-lain yang karyanya dicetak dan dipelajari di Timur Tengah.

Kitab Tuhfatu al-Nafis, ditulis Raja Ali Haji dari Riau mengandung cerita tentang ilmu astronomi. Ditulis di dalamnya: “ … Raja Ahmad itu pergi berulang-ulang mengaji ilmu falakiyah … kepada Syaikh Abd al-Rahman Misri di dalam Betawi itu” (Tatiana Dannisova, Refleksi Historiografi Alam Melayu, hal.64).

Dan masih banyak lagi karya-karya ilmu pengetahuan di Nusantara. Pada masa abad ke-16 hingga zaman akhir penjajahan Belanda, Pesantren menjadi basis Islamisasi. Tradisi menulis pegon sangat kuat. Beberapa Kiai Jawa pada zaman kolonialisasi Belanda bahkan mengharamkan menulis dengan huruf latin. Dan menekankan menggunakan huruf pegon agar berbeda dengan kaum penjajah.

Salah satu warisan yang sangat besar jasanya adalah metode memaknai kitab Arab dengan bahasa Jawa dan Sunda dengan kaidah-kaidah tertentu yang sengaja diciptakan sehingga ketika kiai mendiktekan makna, para santri sambil belajar gramatika Arabnya. Seperti istilah-istilah “utawi”,”iku”,”ing”, “nyatane”, “apane”, dan lain-lain yang merujuk kepada istilah gramatika bahasa Arab. Metode ini dianggap memudahkan pelajar untuk menguasai kaidah bahasa Arab.

Aksara pegon tersebut merupakan murni kreasi ulama Jawa Sunni, tidak ada pengaruh budaya Syiah. Ada ahli sejarah berpendapat bahwa aksara pegon merupakan pengaruh Persi. Mungkin saja ada pengaruh, namun Persi bukan identik Syiah.

Sebagian besar wilayah Persi dikuasai Syiah pada abad ke-16 oleh Dinasti Shafawi. Sebelum itu Persi adalah Sunni. Sementara Islam telah jauh berkembang di Nusantara sebelum abad ke-16. Apalagi aksara tersebut bersih dari unsur-unsur Syiah.

Prof. Tatiana juga mengatakan naskah-naskah dan budaya Melayu berwujud tradisi Sunni-Syafi’iyah yang sejak awalnya tersebar di semenanjung Malaka, Sumatra dan Jawa. Kata beliau, tidak terdapat unsur Syiah apa pun di dalamnya (Refleksi Historiografi Alam Melayu, hal. 122).

Justru menurut Kiai Muda NU (Nadlatul Ulama), M. Idrus Ramli, kultur Muslim Indonesia adalah melawan Syiah. Ia berpendapat, bacaan pujian-pujian shalawat misalnya, yang dibaca sebelum shalat di Musholla (Surau) yang berisi pujian kepada Abu Bakar, Umar dan Utsman adalah untuk membentengi Muslim Sunni-Syafii dari Syiah.

Jika ada tradisi yang dikatakan berasal dari Hindu, oleh para ulama Jawa telah diislamkan. Sehingga wujud dan esensinya menjadi Islam. Islamisasi dilakukan melalui alam pikir dan bahasa bukan benda fisik. Islamisasi tetap dengan mengasaskan prosesnya pada tradisi para ulama salaf shalih.

Kehadiran Islam di Nusantara berlangsung sistematis, gradual dan terencana. Revolusi besar kebudayaan Melayu-Indonesia menjadi Islam melalui tradisi keilmuan tanpa kekerasan. Muslim Nusantara akan menjadi bangsa besar yang berperadaban agung dan intelek jika mengapresiasi dan meneruskan kembali estafet perjuangan para pendahulunya.*

Sumber: Hidayatullah [http://www.hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2014/05/30/22356/islamisasi-alam-melayu-lahirkan-budaya-intelektualisme-sunni.html]
loading...

0 komentar:

Post a Comment

Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih