Tuesday, June 13, 2017

Hukum Jasa Penukaran Uang Baru Yang Banyak Ditemukan Menjelang Lebaran

Menjelang Idul Fitri, banyak orang yang membutuhkan uang recehan (pecahan 5 ribu, 10 ribu atau 20 ribu) untuk diperuntukkan sebegai uang saku atau angpau buat anak-anak kerabat di kampung halaman.

Karena itu, menjelang lebaran ini banyak beredar jasa penukaran uang seratusan ribu menjadi uang pecahan 5 ribuan atau 10 ribuan? Biasanya uang seratus ribu ditukar dengan uang pecahan lima ribuan, tapi nilainya jadi berkurang, misalnya cuma jadi 95 ribu.

Lantas bagaimana praktek ini jika ditinjau dari hukum Islam?

Dalam hal ini memang ada sedikit perbedaan pendapat. Apakah boleh uang 1 juta rupiah berwujud 10 lembar uang 100-an ribu, ditukar dengan uang pecahan lebih kecil lima ribuan, tetapi nilainya hanya 950 ribu?

Umumnya para ulama kontemporer mengharamkan praktek ini, karena dianggap sama saja dengan riba. Namun kalau kita telusuri lebih jauh, ternyata ada juga yang membolehkan. Tentu masing-masing punya hujjah dan argumen yang melatar-belakangi pendapat masing-masing.

Seperti apa perbedaan pendapat di antara mereka selama, mari kita bahas sekilas.

1. Pendapat Yang Mengharamkan

Pendapat yang mengharamkan akad seperti ini didasarkan pada hadits nabi SAW yang melarang tukar menukar barang yang sama tetapi dengan nilai yang berbeda.

Di dalam ilmu fiqih, akad seperti ini disebut dengan akad riba, khususnya disebut dengan istilah riba fadhl (فضل). Haditsnya sebagai berikut :

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأْصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ


Dari Ubadah bin Shamait berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, barley dengan barley, kurma dengan kurma, garam dengan garam. Semua harus sama beratnya dan tunai. Jika jenisnya berbeda maka juallah sekehendakmu tetapi harus tunai.” (HR Muslim).

Para ulama mendefinisikan riba fadhl ini sebagai :

التَّفَاضُل فِي الْجِنْسِ الْوَاحِدِ مِنْ أَمْوَال الرِّبَا إِذَا بِيعَ بَعْضُهُ بِبَعْضٍ


Kelebihan pada jenis yang sama dari harta ribawi, apabila keduanya dipertukarkan

Jadi pada dasarnya riba fadhl adalah riba yang terjadi dalam barter atau tukar menukar benda riba yang satu jenis, dengan perbedaan ukurannya akibat perbedaan kualitas.

Riba fadhl terjadi hanyalah bila dua jenis barang yang sama dipertukarkan dengan ukuran yang berbeda, akibat adanya perbedaan kualitas di antara kedua. Kalau kedua barang itu punya ukuran sama dan kualitas yang sama, tentu bukan termasuk riba fadhl.

Contoh dari pertukaran dua benda yang wujudnya sama tapi beda ukuran adalah emas seberat 150 gram ditukar dengan emas seberat 100 gram secara langsung. Emas yang 150 gram kualitasnya cuma 22 karat, sedangkan emas yang 100 gram kualitasnya 24 karat. Kalau pertukaran langsung benda sejenis beda ukuran ini dilakukan, maka inilah yang disebut dengan riba fadhl dan hukumnya haram.

Dalam pandangan mereka, kenapa tukar menukar uang seperti disebutkan itu diharamkan, karena pada hakikatnya ada kesamaan praktek dengan haramnya tukar menukar emas dengan emas di atas. Walaupun dalam kenyataannya wujud benda yang dipertukarkan memang bukan emas tetapi uang kertas, tetapi pada hakikatnya dalam pandangan mereka uang kertas itu punya fungsi sebagaimana emas di masa lalu, yaitu sebagai alat tukar.

Intinya, kalau tukar menukar emas yang berbeda berat dan nilainya diharamkan, maka tukar menukar uang yang berbeda nilai pun juga diharamkan. Dan mereka memasukkan keharaman akad ini karena termasuk riba, yaitu riba fadhl. Kalau kita telusuri mesin pencari di internet, kita akan menemukan banyak pihak yang berfatwa atas keharaman tukar uang model seperti ini.

2. Pendapat Yang Membolehkan

Namun di sisi lain, kadang kita juga menemukan adanya pendapat kalangan tertentu yang membolehkan tukar menukar uang berbeda nilai ini. Dan kalau kita telusuri apa latar belakang pendapat mereka, setidaknya kita menemukan ada dua alasan yang sering mereka kemukakan.

a. Alasan Pertama : Uang Kertas Tidak Termasuk 6 Jenis Harta

Menurut mereka keharaman riba fadhl itu hanya terbatas pada enam jenis benda yang disebutkan dalam hadits. Keenam benda itu adalah emas, perak, gandum, barley, kurma dan garam. Sedangkan bila yang dipertukarkan selain keenam benda itu, maka hukumnya tidak mengapa walaupun berbeda ukuran karena beda kualitas.

Uang yang kita gunakan hari ini tebuat dari kertas. Dan kertas tidak disebut-sebut sebagai benda ribawi yang diharamkan untuk ditukarkan dengan berbeda nilai. Maka mereka menganggap tidak ada yang dilanggar dalam praktek tukar uang seperti ini.

b. Alasan Kedua

Kalaupun uang kertas yang kita pakai hari ini mau dianggap sebagai representasi dari emas, maka secara fisik yang dipertukarkan juga berbeda. Uang kertas 100-ribuan secara fisik berbeda dengan tukarannya yang berupa logam atau uang receh yang terbuat dari logam. Maka bila kertas ditukar dengan logam, tentu tidak termasuk tukar menukar benda sejenis. Dan oleh karena itu tidak terkena larangan seperti yang dimaksud di atas.

Oleh karena itulah beberapa waktu yang lalu kita masih menyaksikan di telepon umum di kota Mekkah atau Madinah, ada orang yang ‘berjualan’ uang receh di dekat telepon umum. Uang kertas 10 riyal Saudi ditukar dengan 9 keping uang logam pecahan satu Riyal.

Bantahan Pihak Pertama

Tentu saja kalangan yang mengharamkan punya hujjah yang melemahkan pendukung pendapat yang menghalalkan. Alasan bahwa riba fadhl yang diharamkan hanya terbatas pada enam jenis benda saja, dianggap sebagai pendapat yang kurang tepat. Sebab ketika Rasulullah SAW menyebutkan keenam jenis benda itu, tujuannya bukan untuk membatasi, tetapi untuk membuatkan contoh saja.

Buktinya, umumnya para ulama juga memasukkan haramnya tukar menukar dua jenis beras yang berbeda kualitas dengan ukuran timbangan yang berbeda. Padahal beras tidak termasuk yang disebut-sebut dalam hadits itu.

Alasan yang kedua juga dibantah. Sebab dalam kenyataannya yang banyak terjadi, khususnya di negeri kita ini, benda yang dipertukarkan adalah benda sejenis, yaitu uang kertas ditukar dengan uang kertas juga.

Keduanya satu jenis benda, yaitu kertas, tetapi nilainya berbeda. Yang satu pecahan 100 ribuan, yang satu pecahan 5 ribuan. Lalu dipertukarkan begitu saja dengan nilai nominal yang berbeda. Satu juta rupiah ditukar dengan 950 ribu ripiah. Disitulah titik haramnya, menurut pendukung pendapat yang mengharamkan.

3. Jalan Tengah (solusi)

Lalu apa yang bisa kita lakukan melihat dua pendapat yang berbeda ini? Apakah kita ikuti pendapat pertama yang mengharamkan, ataukah kita kita ikuti pendapat yang menghalalkan?

Keduanya sama-sama punya resiko. Kalau kita ikuti pendapat pertama, resikonya kita tidak bisa menukarkan uang receh, padahal kita sangat membutuhkan, khususnya menjelang lebaran ini. Sedangkan kalau kita pakai pendapat yang kedua, resikonya kita bisa saja terjebak pada sesuatu yang diharamkan, walaupun kita lincah berdalih dan pandai beralibi.

Oleh karena itu, saya menawarkan jalan tengah yang mudah. Dan dalam ini Bank Indonesia (BI) telah menyediakan jasa penukaran uang receh tanpa selisih. Kalau kita tukarkan uang 2 juta rupiah misalnya, maka yang akan kita terima tetap utuh 2 juta rupiah, tanpa selisih dan tanpa potongan apapun.

Dan biasanya menjelang lebaran, Bi menyiapkan pos-pos dan titik-titik tertentu yang telah disiapkan sebagai tempat penukaran uang gratis. Bahkan Bi sering bekerjasama dengan beberapa bank untuk jasa penukaran uang receh dengan gratisnya.

Masalahnya, siapa yang punya waktu untuk capek-capek antri di bank sekedar untuk dapat uang receh?

Jawabnya justru malah jadi jalan keluar. Kita boleh mengupah seseorang untuk mengerjakannya. Uang yang ditukar tidak mengalami perbedaan nilai. Tukar uang 2 juta rupiah dengan 2 juta rupiah juga. Lalu kita kasih upah buat orang yang kita suruh membantu kita melakukan penukaran, katakanlah untuk biaya uang lelah dan waktunya yang terbuang karena harus antri.

Yang harus dicatat adalah akadnya harus dipastikan sebagai upah dan bukan uang kutipan atau uang catutan. Uang itu semata-mata imbalan atas jasa mengantri di tempat penukaran uang. Maka akadnya menjadi halal 100% tanpa keraguan.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Disadur dari : rumahfiqih.com
loading...

0 komentar:

Post a Comment

Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih