Sunday, June 11, 2017

Mengupas Khilfiyyah [Perbedaan Pendapat] Tentang Kewajiban Zakat Profesi [Zakat Penghasilan]

Bagi seorang muslim, zakat merupakan kewajiban yang harus ditunaikan, khususnya bagi mereka yang mampu secara dunaiwi. Zakat merupakan rukun Islam. Bahkan, dalam Al-Qur'an, Allah subhanahuwata'ala sering menggandengkan antara kewajiban sholat dan zakat dalam satu ayat.

Hal ini menunjukkan betapa besarnya kewajiban akan zakat dan hendaknya setiap muslim menyadari hal ini. Seorang yang beriman hendaknya yakin bahaw ibadah bukan hanya berdimensi hablum minallah saja (seperti sholat), tapi juga berdimensi hablum minannas yang salah satunya tercermin dalam ibadah zakat.

Semua ulama sepakat, bahwa di antara jenis harta yang wajib dizakati ialah dua mata uang (naqdain, atau emas dan perak). Harta tersebut wajib dizakatkan apabila sudah sempurna mencapai haul. 

Secara umum, para ulama berbeda pendapat tentang harta apa-apa saja yang wajib dizakatkan. Dalam mazhab yang empat (Al-Madzhahib al-Arba’ah meliputi Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) berbeda pendapat mengenai harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Untuk lebih jelasnya di sini perlu disampaikan pendapat tiap-tiap madzhab:

A. Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya menurut Syafi’iyah :
1. Masyiyah (hewan ternak); meliputi unta, sapi, kerbau, dan kambing.
2. Naqd; meliputi emas dan perak, pula termasuk uang emas atau perak.
3. Zuru’ (hasil pertanian) seperti, padi, kedelai, kacang ijo, jagung, kacang tunggak dan gandum.
4. Tsimar (buah-buahan); meliputi anggur dan kurma
5. ‘Arudh al-tijarah (harta dagangan).
6. Ma’dan (hasil pertambangan emas dan perak) dan rikaz (temuan harta emas dan perak dari pendaman orang-orang jahiliyah).

B. Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya menurut Hanafiah:
1. Masyiyah (hewan ternak); meliputi sapi, unta, kambing dan kuda
2. Naqd; emas dan perak
3. Semua tumbuh-tumbuhan yang untuk penghasilan termasuk madu.
4. Amwal al-tijarah (harta dagangan).
5. Ma’dan (hasil tambang) yang meliputi besi, timah, emas dan perak, dan rikaz; yang meliputi semua jenis permata yang ditemukan dari simpanan jahiliyah

C. Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya menurut Malikiyah :
1. Masyiyah (hewan ternak); meliputi sapi, unta dan kambing
6. Naqd; emas dan perak
2. Zuru’ (hasil pertanian) seperti padi, kedelai, kacang ijo, jagung, kacang tunggak (otok), gandum.
3. Tsimar (buah-buahan); meliputi anggur, kurma dan zaitun
4. Amwal al-tijarah (harta dagangan).
5. Ma’dan dan rikaz

D. Harta yang wajib dikeluarkan zakatnya menurut Hanabilah :
1. Masyiyah (hewan ternak); meliputi sapi, unta dan kambing
2. Naqdain, yaitu emas dan perak
3. Setiap biji-bijian; seperti kacang, beras, kopi dan rempah-rempah.
4. Tsimar (buah-buahan); meliputi anggur, kurma dan buah pala.
5. Harta dagangan.
6. Ma’dan (semua hasil pertambangan seperti emas, perak, besi, timah, minyak tanah dan permata) dan rikaz; semua barang berharga yang ditemukan dari simpanan jahiliyah

7. Madu

Salah satu persoalan kontemporer yang sering menjadi pertanyaan di kalangan kaum muslimin adalah tentang zakat dari penghasilan atau gaji bulanan.

Bagaimana pandangan para ulama tentang persoalan ini?

Secara umum, ada perbedaan pendapat (khilafiyyah) yang terjadi di antara para ulama dalam memandang zakat profesi.

Pendapat Pertama: Ada dan Wajibnya Zakat Penghasilan
Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat profesi atau penghasilan wajib hukumnya. Dalam khazanah fiqih, zakat ini juga biasa disebut sebagai zakat dari al-mal al-mustafad, yaitu adalah zakat yang dikenakan pada setiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendirian maupun bersama dengan orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) halal yang memenuhi nisab (batas minimum untuk wajib zakat). Contohmya adalah pejabat, pegawai negeri atau swasta, dokter, konsultan, advokat, dosen, makelar, seniman dan sejenisnya.
Di antara para ulama yang mewajibkan zakat profesi antara lain adalah dari kalangan mutaakhirin seperti Syekh Abdurrahman Hasan, Syekh Muhammad Abu Zahro, Syekh Abdul Wahhab Khallaf, Syekh Yusuf Al Qardlowi, Syekh Wahbah Az-Zuhaili. Lembaga fatwa dunia seperti majma' fiqh dan lembaga fatwa resmi Indoensia (Fatwa MUI nomor 3 tahun 2003) juga  menegaskan bahwa zakat penghasilan itu hukumnya wajib.
Pendapat ini mengacu pada pendapat sebagian sahabat  di antaranya Abdullah bin Abbas ra, Ibnu Masud dan Mu'awiyah), serta juga dari pendapat para Tabiin  seperti Az-Zuhri, Al-Hasan Al-Bashri, dan Makhul) juga pendapat Umar bin Abdul Aziz dan beberpa ulama fiqh lainnya. (Al-fiqh Al-Islami wa ‘Adillatuh, 2/866)

Menurut para ulama ini, kewajiban zakat profesi disandarkan pula pada firman Allah SWT:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
"... Ambilah olehmu zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka..." (QS. At-Taubah 9:103)

Dan juga  firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَنفِقُواْ مِن طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ -- البقرة:267
 "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik..." (QS. Al-Baqarah. 2:267)

Juga berdasarkan sebuah hadits shahih riwayat Imam Tirmidzi bahwa Rasulullah SAW bersabda:

"Keluarkanlah olehmu sekalian zakat dari harta kamu sekalian,"

Dan hadits dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda:

"Sedekah hanyalah dikelaurkan dari kelebihan/kebutuhan. tangan atas lebih baik daripada tangan dibawah. mulailah (dalam membelanjakan harta) dengan orang yang menjadi tanggung jawabmu." ( HR. Ahmad)

Syaikh Muhammad al-Ghazali misalnya menyebutkan bahwa orang yang bekerja dengan penghasilan yang melebihi petani wajib mengeluarkan zakat penghasilannya. Ini berarti, zakatnya gaji diqiyaskan dengan zakatnya pertanian.

إن مَنْ دَخْلُهُ لَا يَقِلُّ عَنْ دَخْلِ الْفَلَّاحِ الَّذِي تَجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةُ يَجِبُ أَنْ يُخْرِجَ زَكَاةً فَالطَّبِيْبُ وَالْمَحَامِي وَالْمُهَنْدِسُ وَالصَّانِعُ وَطَوَائِفُ الْمُحْتَرِفِيْنَ وَالْمُوَظَّفِيْنَ وَأَشْبَاهُهُمْ تَجِبُ عَلَيْهِمُ الزَّكَاةُ وَلَابُدَّ أَنْ تُخْرَجَ مِنْ دَخْلِهِمْ الكَبِيْرِ --محمد الغزالي الإسلام وأوضاعنا الإقتصادية مصر-دار النهضة الطبعة الأولى ج 1 ص. 118 

Sesungguhnya orang yang pemasukkannya tidak kurang dari petani yang diwajibkan zakat, maka ia wajib mengeluarkan zakat. Karenanya, dokter, pengacara, insinyur, pengrajin, para pekerja professional, karyawan, dan sejenisnya, wajib zakat atas mereka. Dan zakatnya harus dikeluarkan dari pendapatan mereka yang besar”. (Muhammad al-Ghazali, al-Islam wa Audla’una al-Iqtishadiyyah, )

Dalam tulisannya yang lain, Syaikh Muhammad Ghazali dalam bukunya Al-Islam wal Audl' Aliqtishadiyah menyebutkan bahwa

"Sangat tidak logik kalau tidak mewajibkan zakat kepada kalangan profesional seperti dokter yang penghasilannya sebulan bisa melebihi penghasilan petani setahun."

Secara rasional, Islam telah mewajibkan zakat atas petani. Jika petani saja yang penghasilannya lebih rendah dari mereka diwajibkan zakat, apalagi mereka yang penghasilannya lebih tinggi dari petani.

Dr. Yusuf al-Qardlawi menyimpulkan bahwa gaji atau pendapatan yang diterima dari setiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu yang halal wajib dizakati. Hal ini disamakan dengan zakat al-mal al-mustafad (harta yang diperoleh seorang muslim melalui satu jenis proses kepemilikan yang baru dan halal).

 فَالتَّكْيِيْفُ الفِقْهِيُّ الصَّحِيْحُ لِهَذَا الْكَسْبِ أَنَّهُ مَالٌ مُسْتَفَادٌ --يوسف القرضاوي فقه الزكاة بيروت-مؤسسة الرسالة ط 3 1393هـ/1983 م ج 1، ص. 490

Zakat diambil dari gaji atau sejenisnya. Sedang cantolan (takyif)  fiqhnya yang sahih terhadap penghasilan ini adalah mal mustafad (harta perolehan)” (Yusuf al-Qaradlawi, Fiqh az-Zakat, Bairut-Mu`assah ar-Risalah, cet ke-3, 1393 H/1983 M, juz, 1, h. 490)

Adapun tentang nishabnya, nishab gaji adalah sama dengan nishabnya uang. Sebab, kebanyakan orang memperoleh gaji dan pendapatan dalam bentuk uang, karenanya yang paling baik adalah menentapkan nishab gaji berdasarkan nishab uang yang setara dengan nilai 85 gram emas. Dan zakat tersebut diambil dari gaji atau pendapat bersih. Dalam soal zakat gaji tidak disyaratkan adanya haul, tetapi zakatnya harus ditunaikan ketika gaji itu diterima sebesar 2,5 %.

Syaikh Yusuf al-Qaradhawi menyebutkan:

وَأَوْلَى مِنْ ذَلِكَ أَنْ يَكُونَ نِصَابُ النُّقُودِ هُوَ الْمُعْتَبَرُ هُنَا, وَقَدْ حَدَّدْنَاهُ بِمَا قِيْمَتُهُ 85 جِرَامًا مِنَ الذَّهَبِ...وَإِذَا كُنَّا قَدِ اخْتَرْنَا القَوْلَ بِزَكَاةِ الرَّوَاتِبِ وَالأُجُورِ وَنَحْوِهَا فَالَّذِي نُرَجِّحُهُ أَلَّا تُأْخَذَ الزَّكَاةُ إِلَّا مِنَ "الصَّافِي" ... فَالَّذِي إِخْتَارَهُ أَنَّ الْمَالَ الْمُسْتَفَادَ كَرَاتِبِ الْمُوَظَّفَ وَأَجْرِ الْعَامِلِ وَالْمُهَنْدِسِ وَدَخْلِ الطَّبِيبِ وَالْمَحَامِي وَغَيْرِهِمْ مِنْ ذَوِي الْمِهَنِ الْحُرَّةِ وَكَإِيرَادِ رَأْسِ الْمَالِ الْمُسْتَغَلِ فِى غَيْرِ التِّجَارَةِ كَالسَّيَّارَاتِ وَالسُّفُنِ وَالطَّائِرَاتِ وَالْمَطَابِعِ وَالْفَنَادِقِ وَدُوَرِ الْلَهْوِ وَنَحْوِهَا لَا يُشْتَرَطُ لِوُجُوبِ الزَّكَاةِ فِيْهِ مُرُورُ حَوْلٍ بَلْ يُزَكِّيهِ حِيْنَ يَقْبِضُهُ ((يوسف القرضاوي_ فقه الزكاة، بيروت-مؤسسة الرسالة، ط، 3، 1393هـ/1983 م، ج، 1، ص. 513، 517، 505)

Yang paling utama dari semua itu adalah bahwa nishab uang merupakan yang mu’tabar (yang dijadikan patokan) dalam konteks ini (nishab gaji atau pendapatan). Dan kami telah menentukan nilainya setara dengan nilai 85 gram emas…..Dan ketika kami telah memilih pendapat (yang mewajibkan) zakar gaji, upah dan sejenisnya, maka pendapat yang kami kuatkan adalah bahwa zakatnya tidak diambil kecuali dari pendapatan bersih…. Maka pendapat yang saya pilih bahwa harta perolehan seperti gaji pegawai, gaji karyawan, insyinyur, dokter, pengacara dan yang lainnya yang mengerjakan profesi tertentu dan juga seperti pendapatan yang diperoleh modal yang investasikan di luar sektor perdangan seperti kendaraan, kapal laut, kapal terbang, percetakan, perhotelan, tempat hiburan dan yang lain, itu tidak disyaratkan bagi kewajiabn zakatnya adanya haul, tetapi zakat dikeluarkan ketika ia menerimanya (gaji)” (Yusuf al-Qaradlawi, Fiqh az-Zakat, Bairut-Mu’assah ar-Risalah, cet ke-3, 1393 H/1983 M, juz, 1, h. 513, 517, 505)

Kenyataan yang ada para pemerintah dan perusahaan mengatur gaji pegawainya beradasarkan ukuran tahun, meskipun dibayarkan perbulan karena kebutuhan pegawai yang mendesak. Berdasarkan hal itu zakat penghasilan bersih seorang pegawai dan golongan profesi dapat diambil dalam setahun penuh, jika pendapatan bersih mencapai satu nishab.

Bagaimana cara mengeluarkan zakat Profesi?
Jika kita mengikuti pendapat ulama yang mewajibkan zakat penghasilan, lalu bagaimana cara mengeluarkannya? Dikeluarkan penghasilan kotor  (bruto) atau penghasilan bersih (neto)? Ada tiga wacana tentang bruto atau neto seperti berikut ini.

Bruto atau Neto
Dalam buku fiqh zakat karya DR Yusuf Qaradlawi. bab zakat profesi dan penghasilan,  dijelaskan tentang cara mengeluarkan zakat penghasilan. Kalau kita klasifikasi ada tiga wacana:

1. Pengeluaran brotto, yaitu mengeluarkan zakat penghasilan kotor. Artinya, zakat penghasilan yang mencapai nisab 85 gr emas dalam jumlah setahun, dikeluarkan 2,5 % langsung ketika menerima sebelum dikurangi apapun. Jadi kalau dapat gaji atau honor dan penghasilan lainnya dalam sebulan mencapai 2 juta rupiah x 12 bulan = 24 juta, berarti dikeluarkan langsung 2,5 dari 2 juta tiap buan = 50 ribu atau dibayar di akhir tahun = 600 ribu.

Hal ini juga berdasarkan pendapat Az-Zuhri dan 'Auza'i, beliau menjelaskan: "Bila seorang memperoleh penghasilan dan ingin membelanjakannya sebelum bulan wajib zakat datang, maka hendaknya ia segera mengeluarkan zakat itu terlebih dahulu dari membelanjakannya" (Ibnu Abi Syaibah, Al-mushannif, 4/30). Dan juga menqiyaskan dengan  beberapa harta zakat yang langsung dikeluarkan tanpa dikurangi apapun, seperti zakat ternak, emas perak, ma'dzan dan rikaz.
 
2. Dipotong oprasional kerja, yaitu setelah menerima penghasilan gaji atau honor yang mencapai nisab, maka dipotong dahulu dengan biaya oprasional kerja. Contohnya, seorang yang mendapat gaji 2 juta  rupiah sebulan, dikurangi biaya transport dan konsumsi harian di tempat kerja sebanyak 500 ribu, sisanya 1.500.000. maka zakatnya dikeluarkan 2,5 dari 1.500.000= 37.500,-

Hal ini dianalogikan dengan zakat hasil bumi dan kurma serta sejenisnya. Bahwa biaya dikeluarkan lebih dahulu baru zakat dikeluarkan dari sisanya. Itu adalah pendapat Imam Atho' dan lain-lain dari itu zakat hasil bumi ada perbedaan prosentase zakat antara yang diairi dengan hujan yaitu 10%  dan melalui irigasi 5%.

3. Pengeluaran neto atau zakat bersih, yaitu mengeluarkan zakat dari harta yang masih mencapai nisab setelah dikurangi untuk kebutuhan pokok sehari-hari, baik pangan, papan, hutang dan kebutuhan pokok lainnya untuk keperlua dirinya, keluarga dan yang menjadi tanggungannya. Jika penghasilan setelah dikurangi kebutuhan pokok masih mencapai nisab, maka wajib zakat, akan tetapi kalau tidak mencapai nisab ya tidak wajib zakat, karena dia bukan termasuk muzakki (orang yang wajib zakat) bahkan menjadi mustahiq (orang yang berhak menerima zakat)karena sudah menjadi miskin dengan tidak cukupnya penghasilan terhadap kebutuhan pokok sehari-hari.

Hal ini berdasarkan hadits riwayat imam Al-Bukhari dari Hakim bin Hizam bahwa Rasulullah SAW bersabda: ".... dan paling baiknya zakat itu dikeluarkan dari kelebihan kebutuhan...". (lihat:  DR Yusuf Al-Qaradlawi. Fiqh Zakat, 486)

Kesimpulan, seorang yang mendapatkan penghasilan halal dan mencapai nisab (85 gr emas) wajib mengeluarkan zakat 2,5 %, boleh dikeluarkan setiap bulan atau di akhir tahun. Sebaiknya zakat dikeluarkan dari penghasilan kotor sebelum dikurangi kebutuhan yang lain. Ini lebih afdlal (utama) karena khawatir ada harta yang wajib zakat tapi tapi tidak dizakati, tentu akan mendapatkan adzab Allah baik di dunia dan di akhirat. Juga penjelasan Ibnu Rusd bahwa zakat itu ta’bbudi (pengabdian kepada Allah SWT) bukan hanya sekedar hak mustahiq. Tapi ada juga sebagian pendapat ulama membolehkan sebelum dikeluarkan zakat dikurangi dahulu biaya oprasional kerja atau kebutuhan pokok sehari-hari.

Fatwa MUI: Zakat Profesi Wajib Dikeluarkan
Fatwa MUI Nomor 23 Tahun 2003 menyatakan bahwa penghasilan dari profesi yang halal halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nishab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram.

Dalam Fatwa yang ditetapkan tanggal 7 Juni 2003 tersebut, MUI menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “penghasilan” adalah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupun tidak rutin seperti dokter, pengacara,konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya.

Zakat penghasilan tersebut dapat dikeluarkan pada saat menerima jika sudah cukup nishab. Adapun jika tidak mencapai nishab, maka semua penghasilan dikumpulkan selama setu tahun; kemudian zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya sudah cukup nishab. Adapun Kadar Zakat penghasilan tersebut adalah 2,5%.

Pendapat Kedua: Tidak Ada Yang Namanya Zakat Profesi
Sebagian ulama menyebutkan bahwa zakat profesi tidak dikenal dalam ajaran Islam, bahwa mewajibkan zakat atas penghasilan gaji semacam itu merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama, sebab tidak ada dalil dan tidak ada contohnya dari Rasulullah saw.

Berdasarkan argumentasi pendapat kedua ini, disebutkan bahwa zakat yang diwajibkan untuk dipungut dari orang-orang kaya telah dijelaskan dengan gamblang dalam banyak dalil. Dan zakat adalah permasalahan yang tercakup dalam kategori permasalahan ibadah, dengan demikian tidak ada peluang untuk berijtihad atau merekayasa permasalahan baru yang tidak diajarkan dalam dalil. Para ulama’ Dari berbagai mazhab telah menyatakan:

الأَصْلُ فِي العِبَادَاتِ التَّوقِيفُ
Hukum asal dalam permasalahan ibadah adalah tauqifi alias terlarang.”

Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menjelaskan bahwa barangsiapa yang membolehkan atau mengamalkan suatu amal ibadah, maka sebelumnya ia berkewajiban untuk mencari dalil yang membolehkan atau mensyari’atkannya. Bila tidak, maka amalan itu terlarang atau tercakup dalam amalan bid’ah:

مَنْ عَمِلَ عَمَل لَيْسَ عَلَيهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ رواه مسلم
Barang siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan itu tertolak.” [Riwayat Muslim]

Berdasarkan pemahaman para ulama yang sependapat dengan ini, zakat adalah salah satu rukun Islam, sebagaimana syahadatain, shalat, puasa, dan haji. Mungkinkah dapat ditoleris bila ada seseorang yang berijtihad pada masalah-masalah tersebut dengan mewajibkan sholat selain sholat lima waktu, atau mengubah-ubah ketentuannya; subuh menjadi 4 rakaat, maghrib 5 rakaat, atau waktunya digabungkan jadi satu. Ucapan syahadat ditambahi dengan ucapan lainnya yang selaras dengan perkembangan pola hidup umat manusia, begitu juga haji, diadakan di masing-masing negara guna efisiensi dana umat dan pemerataan pendapatan dan kesejahteraan umat. Dan puasa ramadhan dibagi pada setiap bulan sehingga lebih ringan dan tidak memberatkan para pekerja pabrik dan pekerja berat lainnya.

Menurut pendapat kedua inii, ijtihad yang mewajibkan zakat profesi adalah ijtihad yang ngawur. karena sama-sama ijtihad dalam amal ibadah dan rukun Islam.

Terlebih-lebih telah terbukti dalam sejarah bahwa para sahabat nabi dan juga generasi setelah mereka tidak pernah mengenal apa yang disebut-sebut dengan zakat profesi, padahal apa yang disebut dengan gaji telah dikenal sejak lama, hanya beda penyebutannya saja. Dahulu disebut dengan al ‘atha’ dan sekarang disebut dengan gaji atau raatib atau mukafaah. Tentu perbedaan nama ini tidak sepantasnya mengubah hukum.

Ditambah lagi, bila dikaji pendapat yang mewajibkan adanya zakat profesi, maka kita didapati banyak kejanggalan dan penyelewengan. Berikut sekilas bukti akan kejanggalan dan penyelewengan tersebut:

(a). Orang-orang yang mewajibkan zakat profesi mengqiyaskan (menyamakan) zakat profesi dengan zakat hasil pertanian, tanpa memperdulikan perbedaan antara keduanya. Zakat hasil pertanian adalah 1/10 (seper sepuluh) dari hasil panen bila pengairannya tanpa memerlukan biaya, dan 1/20 (seper dua puluh), bila pengairannya membutuhkan biaya. Adapun zakat profesi, maka zakatnya adalah 2,5 %, sehingga qiyas semacam ini adalah qiyas yang benar-benar aneh dan menyeleweng. Seharusnya qiyas yang benar ialah dengan mewajibkan zakat profesi sebesar 1/10 (seper sepuluh) bagi profesi yang tidak membutuhkan modal, dan 1/20 (seper dua puluh), tentu ini sangat memberatkan, dan orang-orang yang mengatakan ada zakat profesi tidak akan berani memfatwakan zakat profesi sebesar ini.

(b). Gaji diwujudkan dalam bentuk uang, maka gaji lebih tepat bila diqiyaskan dengan zakat emas dan perak, karena sama-sama sebagai alat jual beli, dan standar nilai barang.

(c). Orang-orang yang memfatwakan zakat profesi telah nyata-nyata melanggar ijma’/kesepakatan ulama’ selama 14 abad, yaitu dengan memfatwakan wajibnya zakat pada gedung, tanah dan yang serupa.

(d). Gaji bukanlah hal baru dalam kehidupan manusia secara umum dan umat Islam secara khusus, keduanya telah ada sejak zaman dahulu kala. Berikut beberapa buktinya:

Sahabat Umar bin Al Khatthab Radhiyallahu ‘anhu pernah menjalankan suatu tugas dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu iapun di beri upah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada awalnya, sahabat Umar radhiallahu ‘anhu menolak upah tersebut, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Bila engkau diberi sesuatu tanpa engkau minta, maka makan (ambil) dan sedekahkanlah.” [Riwayat Muslim]

Seusai sahabat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu dibai’at untuk menjabat khilafah, beliau berangkat ke pasar untuk berdagang sebagaimana kebiasaan beliau sebelumnya. Di tengah jalan, beliau berjumpa dengan Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu, maka Umarpun bertanya kepadanya: “Hendak kemanakah engkau?” Abu Bakar menjawab: “Ke pasar.” Umar kembali bertanya: “Walaupun engkau telah mengemban tugas yang menyibukkanmu?” Abu Bakar menjawab: “Subhanallah, tugas ini akan menyibukkan diriku dari menafkahi keluargaku?” Umarpun menjawab: “Kita akan meberimu secukupmu.” [Riwayat Ibnu Sa’ad dan Al Baihaqy]

Imam Al Bukhari juga meriwayatkan pengakuan sahabat Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tentang hal ini:

لقد عَلِمَ قَوْمِي أَنَّ حِرْفَتِي لم تَكُنْ تَعْجِزُ عن مؤونة أَهْلِي وَشُغِلْتُ بِأَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَسَيَأْكُلُ آلُ أبي بَكْرٍ من هذا الْمَالِ وَيَحْتَرِفُ لِلْمُسْلِمِينَ فيه.


Sungguh kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku dapat mencukupi kebutuhan keluargaku, sedangkan sekarang, aku disibukkan oleh urusan umat Islam, maka sekarang keluarga Abu Bakar akan makan sebagian dari harta ini (harta baitul maal), sedangkan ia akan bertugas mengatur urusan mereka.” [Riwayat Bukhary]

Ini semua membuktikan bahwa gaji dalam kehidupan umat islam bukanlah suatu hal yang baru, akan tetapi, selama 14 abad lamanya tidak pernah ada satupun ulama’ yang memfatwakan adanya zakat profesi atau gaji. Ini membuktikan bahwa zakat profesi tidak ada, yang ada hanyalah zakat mal, yang harus memenuhi dua syarat, yaitu hartanya mencapai nishab dan telah berlalu satu haul (tahun).

Oleh karena itu ulama’ ahlul ijtihaad yang ada pada zaman kita mengingkari pendapat ini, diantara mereka adalah Syeikh Bin Baz, beliau berkata:

“Zakat gaji yang berupa uang, perlu diperinci: Bila gaji telah ia terima, lalu berlalu satu tahun dan telah mencapai satu nishab, maka wajib dizakati. Adapun bila gajinya kurang dari satu nishab, atau belum berlalu satu tahun, bahkan ia belanjakan sebelumnya, maka tidak wajib di zakati.” [Maqalaat Al Mutanawwi’ah oleh Syeikh Abdul Aziz bin Baaz 14/134. Pendapat serupa juga ditegaskan oleh Syeikh Muhammad bin Shaleh Al Utsaimin, Majmu’ Fatawa wa Ar Rasaa’il 18/178.]

Fatwa serupa juga telah diedarkan oleh Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, berikut fatwanya:

“Sebagaimana yang telah diketahui bersama bahwa di antara harta yang wajib dizakati adalah emas dan perak (mata uang). Dan di antara syarat wajibnya zakat pada emas dan perak (uang) adalah berlalunya satu tahun sejak kepemilikan uang tersebut. Mengingat hal itu, maka zakat diwajibkan pada gaji pegawai yang berhasil ditabungkan dan telah mencapai satu nishab, baik gaji itu sendiri telah mencapai satu nishab atau dengan digabungkan dengan uangnya yang lain dan telah berlalu satu tahun. Tidak dibenarkan untuk menyamakan gaji dengan hasil bumi; karena persyaratan haul (berlalu satu tahun sejak kepemilikan uang) telah ditetapkan dalam dalil, maka tidak boleh ada qiyas. Berdasarkan itu semua, maka zakat tidak wajib pada tabungan gaji pegawai hingga berlalu satu tahun (haul).” [Majmu’ Fatwa Anggota Tetap Komite Fatwa Kerajaan Saudi Arabia 9/281, fatwa no: 1360]

Demikianlah sekelumit tentang khilafiyah pada ulama dalam memandang kewajiban zakat profesi. Nah, bagaimana pandangan anda? 
loading...

0 komentar:

Post a Comment

Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih