Thursday, August 2, 2018

[Hikmah dari Kisah Sahabat Rasul] Hathib bin Abi Balta'ah.... Siapakah Orang Yang Baik Itu?

Dalam hadits yang sahih diriwayatkan, bahwa tatkala saat Rasulullah bertekad untuk menaklukkan kota Mekah dalam peristiwa yang terkenal dalam sejarah dengan sebutan Fathu Makkah, ada salah seorang Shahabat Nabi sekaligus veteran perang Badar yang membocorkan rencana itu. Namanya Hathib bin Abi Balta’ah (حاطب بن أبي بلتعة). Bocoran itu ditulisnya di sebuah surat kemudian dikirimkan ke Mekah secara diam-diam melalui seorang kurir wanita.

Rasulullah mengetahui hal itu melalui wahyu. Beliaupun mengutus beberapa Shahabat untuk mengejar wanita itu, menangkapnya dan merampas suratnya. Ketika tahu pengirimnya Hathib maka Rasulullah pun menginterogasinya.

Dalam interogasi itu terungkap, ternyata Hathib melakukan hal tersebut dengan alasan ingin menyelamatkan keluarganya agar tidak menjadi korban penaklukan Rasulullah. Pengakuan yang jujur ini diterima sepenuhnya oleh Rasulullah.

Hanya saja Umar bin Al-Khatthab sudah tidak sabaran ingin menindak tegas Hathib dengan cara memenggal kepalanya karena dipandang sudah tergolong munafik. Tetapi Rasulullah menolak gagasan dan penilaian Umar seraya bersabda,

مَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللَّهَ اطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ

Artinya,
“…engkau tidak tahu kan, bisa jadi Allah telah mengetahui para pahlawan Badar itu sehingga berfirman, ‘lakukan sekehendak kalian..” (H.R. Al-Bukhori)

Sabda Rasulullah ini memberi satu kaidah penting nan besar kepada kita bahwa orang yang memiliki jasa besar dalam Islam, kalaupun melakukan kesalahan maka ia harus dimaafkan dan tidak boleh dihancurkan kredibilitasnya karena kesalahan itu. Para pejuang perang Badar memiliki jasa besar bagi dakwah Islam, karena perang itu adalah perang tidak seimbang antara kafir Quraisy yang jumlahnya sekitar 1000 orang melawan kaum muslimin yang jumlahnya 300-an.

Bisa dibayangkan jika kaum muslimin kalah dalam perang ini dan Rasulullah syahid. Secara rasional tentu saja dakwah Islam akan terhenti total dan risalah Islam bisa terancam mati. Oleh karena itu, para pahlawan perang Badar memiliki kedudukan tinggi yang tidak dimiliki shahabat Nabi yang tidak ikut perang Badar karena mereka adalah “penyelamat” Rasulullah dan “penyelamat” dakwah Islam. Demikian ridhanya Allah pada mereka sampai-sampai Allah berfirman, “lakukan sesuka kalian karena aku telah mengampuni”. Maksudnya, seolah-olah Allah mengatakan, “Kesalahan-kesalahan kecil kalian akan Kumaafkan, tidak akan sampai membuat Aku menghapus amal besar kalian.”

Ibnu Abdil Barr berkata,

وَكَانَ خَيْرُهُ غَالِبًا وَشَرُّهُ أَقَلُّ عَمَلِهِ

“…(orang baik yang bisa diambil ilmunya adalah) orang yang kebaikannya dominan dan keburukannya adalah amalnya yang paling sedikit…” (Jami’ Bayani Al-‘Ilmi Wa Fadhlihi, juz 2 hlm 1117)

Senada dengan itu, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah berkata,

من قواعد الشرع وَالْحكمَة ايضا ان من كثرت حَسَنَاته وعظمت وَكَانَ لَهُ فِي الاسلام تَأْثِير ظَاهر فَإِنَّهُ يحْتَمل لَهُ مَالا يحْتَمل لغيره ويعفي عَنهُ مَالا يعفي عَن غَيره فَإِن الْمعْصِيَة خبث وَالْمَاء إِذا بلغ قُلَّتَيْنِ لم يحمل الْخبث بِخِلَاف المَاء الْقَلِيل فَإِنَّهُ لَا يحمل ادنى خبث

Artinya:
Di antara kaidah syara’ dan hikmah juga, bahwasanya orang yang banyak nan agung kebaikannya sementara dia memiliki pengaruh nyata dalam Islam, maka dia bisa dimaklumi dengan kemakluman yang tidak diberikan kepada selain dia dan dimaafkan dengan maaf yang tidak bisa diberikan kepada selain dia. Alasannya, maksiat itu najis sementara air jika sudah mencapai dua qullah maka tidak terpengarus najis. Berbeda dengan air sedikit. Air seperti ini terpengaruh oleh najis sekecil apapun… (Miftahu dari As-Sa’adah, juz 1 hlm 176)

Karena itu, orang baik itu bukan orang yang tidak pernah berdosa, tidak pernah salah, tidak pernah terkena waham, tak pernah melakukan zallah (ketergelinciran), tidak pernah khilaf dan tidak pernah lalai.

Orang baik itu adalah orang yang KEBAIKANNYA LEBIH DOMINAN daripada keburukannya.

Laksana najis yang jatuh pada air. Jika volume air melebihi dua qullah (321 liter), maka najis itu tidak mempengaruhi status kesucian air.

Jadi, berhentilah mencari malaikat (di kalangan manusia selain Nabi dan Rasul) yang tidak pernah ada kekurangannya, tidak pernah ada salahnya, tidak pernah ada cacatnya, dan yang sempurna dalam segala hal.

Sangat wajar jika orang-orang yang engkau cintai seperti orang tuamu, suamimu, istrimu, kawan baikmu, dan tetanggamu adalah orang-orang yang memiliki banyak kebaikan tetapi mereka juga memiliki sejumlah kesalahan, aib, kekurangan, dan dosa. Selama kebaikan pada mereka dominan maka mereka adalah orang baik.

Demikian pula sikap kita terhadap ulama!

Jika kita mengetahui kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan pada Al-Ghazali, misalnya pada riwayat-riwayat dhoif dalam kitab beliau; Ihya’ Ulumuddin, atau sesuatu yang tidak disukai sebagian kaum muslimin seperti dukungan beliau terhadap tashowwuf, atau mungkin akidah beliau yang barangkali dianggap sebagian kalangan “bermasalah”, maka janganlah hal-hal tadi membuat kita menutup mata akan jasa-jasa besar beliau. Jangan lupa, Al-Ghaazali adalah pengarang kitab fikih penuh berkah seperti “Al-Basith”, “Al-Wasith” dan “Al-Wajiz” yang ilmunya sangat bermanfaat bagi ulama dan kaum muslimin penganut madzhab Asy-Syafi’i. Beliau juga yang mengarang “Al-Mushtashfa” yang mengajarkan ilmu Ushul Fikih. Beliau jugalah yang mengarang kitab “Tahafutu Al-Falasifah” yang membantu membentengi umat Islam agar tidak teracuni oleh cara fikir filsafat yang bisa mengantarkan pada kekufuran.

Bahkan, menurut Majid ‘Irsan Al-Kailani kitab Ihya’ Ulumiddin Al-Ghozzali lah yang mampu merevolusi mental kaum muslimin di zamannya sehingga mampu terbetuk tentara tangguh yang kokoh nan bersih jiwanya karena terdidik tashawwuf ala Al-Ghozzali, sehingga di bawah pimpinan Shalahuddin Al-Ayyubi, mereka berhasil membebaskan Baitul Maqdis dari tangan kuffar salibis!

Sikap yang sama seharusnya juga kita berikan untuk Imam Malik, Ibnu Ishaq, Yahya bin Ma’in, ‘Ikrimah, Adz-Dzuhli, Ibnu Taimiyyah, As-Suyuthi, As-Sakhowi, Hasan Al-Banna, Abul A’la Al-Maududi, Taqiyyuddin An-Nabhani, Al-Albani, Ibnu ‘Utsaimin, Ibnu Baz, K.H.Ahmad Dahlan, K.H Hasyim Asy’ari dan semua ulama yang lahirnya tampak tulus dalam berdakwah dan menasihati umat serta nyata jasanya bagi umat.

Inilah sikap adil. Kritis terhadap kesalahan tapi tidak menafikan kebaikan dan jasa. Selama kesalahan tidak termasuk fatal, seyogyanya ilmu ulama tetap kita manfaatkan. Tidak ada satupun manusia di dunia ini yang maksum selain Nabi dan Rasul. Janganlah kebencian terhadap suatu kaum mencegah kita untuk bisa berbuat adil. Allah memerintahkan kita berbuat adil karena keadilan itu lebih dekat dengan ketakwan.

رحمهم الله رحمة واسعة
اللهم اجعلنا من محبي العلماء الصالحين
Dikutip dari laman Irtaqi [http://irtaqi.net/2017/11/24/siapakah-orang-baik-itu/]

loading...

0 komentar:

Post a Comment

Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih