Syekh Silau Laut merupakan salah seorang ulama besar kenamaan di daerah Asahan, Sumatera Utara, Namanya diabadikan menjadi nama jalan di Kota Kisaran. Silau Laut sendiri merupakan nama sebuah kawasan (saat ini kecamatan) di Kabupaten Asahan.
Tulisan ini akan mengpas sekelumit sejarah biografi Syekh Silau laut yang menjadi kebanggaan masyarakat Asahan.
Tuan Syekh Silau Laut bernama lengkap Syekh Abdurrahman Urrahim bin Nakhoda Alang Batubara. Laut dilahirkan di daerah Batubara (sekarang Desa Tanjung Mulia Kecamatan Tanjung Tiram Batubara, Sumatera Utara) pada tahun 1858 atau 1275 Hijriyah.
Ayahnya bernama Nakhoda Alang bin Nakhoda Ismail, keturunan dari Tuk Angku Mudik Tampang keturunan dari Tuk Angku Batuah yang berasal dari daerah Rao (perbatasan Mandailing Natal dengan Sumatera Barat). Gelar ‘nakhoda’ di awal nama ayahnya itu profesinya sebagai Nakhoda di sebuah kapal tongkang miliknya sendiri. Kapal itu digunakannya untuk membawa barang-barang dagangan antarpulau, bahkan hingga ke semenanjung Malaya (Malaysia).
Ibunya bernama Naerat berasal dari Kampung Rantau Panjang (Kecamatan Pantai Labu Deli Serdang, Sumatera Utara). Beliau adalah anak ketiga dari empat bersaudara, yaitu: Abas, Siti Jenab, Abdurrahan, Abdurrahim.
Sejak kecilnya, Abdurrahman dikenal memiliki sifat pemberani, berkemauan keras, pendiam, cerdas dan tekun belajar. Ketika berumur 6 tahun, orang tuanya memasukkan belajar mengaji pada salah seorang guru di Kampung Lalang Batubara.
Saat itu pribadinya mulai nampak sebagai ciri-ciri anak yang saleh. Sebab selain belajar agama dan mengaji, ia sering pula berkhalwat (mengasingkan diri untuk berzikir mengingat Allah Tuhan Maha Pencipta). Ia suka berkhalwat sejak usia 15 tahun.
Menuntut Ilmu ke Minangkabau, Aceh dan Siam
Setelah menginjak dewasa sekitar 17 tahun, Abdurrahman ingin memperdalam ilmu Islam. Dengan memohon izin kepada kedua orang tuanya, ia pun pergi merantau ke daerah asal para pendahulunya di Minangkabau tepatnya di Bukit tinggi.
Di sana, ia berguru kepada seorang ulama yang cukup dikenal ketika itu bernama Syekh Jambek. Di samping ia mempelajari ilmu-ilmu syari'at dan ilmu fiqih, Abdurrahman lebih menekuni ilmu hakikat yaitu tauhid dan tasawuf.
Tak hanya ilmu syariat, Tuan Syekh Silau Laut saat remajanya juga meminati ilmu beladiri (silat). Untuk mempelajari ilmu bela diri ini ia belajar kepada salah seorang ahli beladiri yang cukup dikenal di tanah Minangkabau bernama Tuk Angku Di Lintau.
Dalam usahanya untuk membekali dirinya dengan ilmu bermanfaat, Syekh Silau Laut juga belajar ke Aceh, namun belum diketahui daerah dan gurunya tempat ia belajar.
Saat usia remaja itu, Syekh Silau Laut merasa masih kurang puas dengan ilmu yang dimilikinya. Tidak lama setelah ia pulang dari Minangkabau dan Aceh, salah seorang Pakciknya bergelar Panglima Putih membawanya merantau ke negeri Fathani (Thailand). Atas restu kedua orang tuanya, ia pun berangkat untuk menambah ilmu Agama Islam.
Di dalam pelayarannya, Abdurrahman muda (Syekh Silau Laut) menunjukkan kemahirannya dalam ilmu silat kepada para penumpang kapal. Ia tidak mengetahui kalau di antara mereka ada rombongan Sultan Kedah yang akan pulang ke negerinya.
Di Negeri Fathani, Abdurrahman muda belajar kepada salah seorang ulama yang cukup dikenal. Ula ini bernama Syekh Wan Mustafa dan anaknya bernama Syekh Daud Fathani.
Selama berada di sana, Abdurrahman lebih banyak belajar ilmu tauhid, ilmu tasawuf dan ilmu hikmah/ketabiban. Di samping belajar, ia ditugaskan gurunya pula untuk mengajar.
Menjadi Hulubalang di Kedah
Ketika berada di Fathani, ia didatangi utusan dari Kedah dengan maksud mengundangnya datang ke negeri Kedah. Alasannya, Sultan Kedah ingin melihat kemahirannya dalam ilmu silat di hadapan Hulubalang, prajurit dan rakyat negeri Kedah.
Abdurrahman muda pun memenuhi undangan itu dengan terlebih dahulu memohon restu dari gurunya. Sesampainya di negeri Kedah, sesudah beberapa hari lamanya diadakanlah acara perang tanding untuk memilih kepala hulu balang kesultanan Kedah.
Abdurrahman yang sengaja diundang untuk perang tanding tersebut, berhadapan dengan Panglima Elang Panas yang berasal dari Siam. Dengan kuasa dan izin Allah, Abdurrahman muda menang dalam perang tanding tersebut.
Lalu, Sultan Kedah pun menawarkannya untuk menjadi Kepala Hulubalang Kesultanan Kedah. Abdurrahman menerima tawaran itu, kemudian ia dinobatkan dan menjabat selama 7 tahun berturut-turut.
Menurut riwayat, beliau menerima gaji 60 Ringgit setiap bulannya. Dalam perantauannya di Fathani dan Kedah, beliau sempat pula belajar di Kelantan.
Abdurrahman menyadari bahwa cita-citanya semula adalah untuk menjadi seorang ulama yang akan mengembangkan agama Islam dan mengabdikan ilmunya di tengah-tengah masyarakat negrinya.
Maka dari itu, ia meletakkan jabatannya sebagai kepala hulubalang Kesultanan Kedah lalu ia pulang kembali ke negeri asalnya di Batubara dijemput Abangnya bernama Abbas.
Setelah berada kembali di Batubara, ia mulai mengamalkan ilmunya untuk melakukan dakwah dengan mengisi pengajian yang ada di Batubara dan di daerah Serdang (sekarang Deli Serdang). Beliau dikenal masyarakat dengan panggilan Lebai Deraman.
Ketika berdakwah di daerah Serdang, ia mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi seorang gadis Serdang bernama Maimunah. Sewaktu berada di Serdang beliau mengatasnamakan alamatnya melalui kemenakannya mufti Ahmad Serdang. Dan waktu senggangnya diisinya dengan “berkhalwat” di seberang sungai Serdang (sekarang Sungai Ular).
Pada masa Abdurrahman berdakwah dan menghidupkan pengajian di Batubara dan Serdang. Sebagian besar muridnya saat itu adalah nelayan. Para muridnya ini melaporkan bahwa mereka sering diganggu oleh bajak laut yang bermukim di pulau jemur sehinga mereka tidak aman mencari nafkah di Selat Melaka.
Mendengar laporan muridnya, Abdurrahman dan seorang kerabatnya bernama HM Zein berangkat membasmi para bajak laut tersebut dari dari Pantai Cermin, Serdang Bedagai.
Menuntut ilmu hingga ke Mekkah dan Siam (Thailand)
Tuan Syekh Silau Laut selain berguru kepada Tuan Baqi dari Langkat, Kedah, Kelantan, dan Fathani, Beliau juga menuntut ilmu ke Makkah selama tujuh tahun. Di Makkah berguru kepada Syekh Daud Fathani, seorang ulama Tariqhat Syattariah.
Seusai menimba ilmu di Mekkah, Tuan Syekh Silau Laut kembali ke Sumatera dan mengembangkan Tareqat Syattariah di daerah Silau Laut hingga wafat pada 2 Jumadil Awal 1360 H atau bertepatan dengan 28 Februari 1941, dalam usia 125 tahun.
Tuan Syekh Silau Laut dimakamkan di Desa Silau Laut. Di dekat makamnya terdapat makam sang istri bernama Hj Maryam dan dua anaknya yaitu Syekh Muhammad Ali dan Haji Abdul Latief.
Semasa hidupnya beliau adalah tokoh yang tidak hanya dihormati anggota jamaah Syattariah, namun para bangsawan Serdang maupun Asahan memberi perlakuan khusus terhadapnya.
Wujud dari perhatian para penguasa Asahan dan Serdang itu antara lain berupa pembuatan jalan menuju Kompleks Tareqat Syattariah pimpinan Syekh Silau Laut. Awalnya adalah jalan setapak yang dirintis oleh Sultan Asahan yang kemudian diperlebar dan diperkeras atas bantuan Sultan Serdang. Hingga saat ini, masih banyak orang yang dadatang berziarah ke makam beliau tersebut. Sosok beliau tetap dikenang dan dihormati sebagai tokoh yang sangat berjasa dalam menyebarkan Islam di tanah Melayu, khususnya di Kesultanan Asahan.
Para penziarah itu datang dari berbagai daerah, termasuk dari negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan negara lainnya. Semoga Allah Swt memalah segala amal ibadah dan jasa beliau dengan pahala yang tak terhingga. Amin.
*Dari berbagai sumber
https://intiruh.blogspot.co.id
https://omtato.blogspot.co.id
Tulisan ini akan mengpas sekelumit sejarah biografi Syekh Silau laut yang menjadi kebanggaan masyarakat Asahan.
Tuan Syekh Silau Laut bernama lengkap Syekh Abdurrahman Urrahim bin Nakhoda Alang Batubara. Laut dilahirkan di daerah Batubara (sekarang Desa Tanjung Mulia Kecamatan Tanjung Tiram Batubara, Sumatera Utara) pada tahun 1858 atau 1275 Hijriyah.
Ayahnya bernama Nakhoda Alang bin Nakhoda Ismail, keturunan dari Tuk Angku Mudik Tampang keturunan dari Tuk Angku Batuah yang berasal dari daerah Rao (perbatasan Mandailing Natal dengan Sumatera Barat). Gelar ‘nakhoda’ di awal nama ayahnya itu profesinya sebagai Nakhoda di sebuah kapal tongkang miliknya sendiri. Kapal itu digunakannya untuk membawa barang-barang dagangan antarpulau, bahkan hingga ke semenanjung Malaya (Malaysia).
Ibunya bernama Naerat berasal dari Kampung Rantau Panjang (Kecamatan Pantai Labu Deli Serdang, Sumatera Utara). Beliau adalah anak ketiga dari empat bersaudara, yaitu: Abas, Siti Jenab, Abdurrahan, Abdurrahim.
Sejak kecilnya, Abdurrahman dikenal memiliki sifat pemberani, berkemauan keras, pendiam, cerdas dan tekun belajar. Ketika berumur 6 tahun, orang tuanya memasukkan belajar mengaji pada salah seorang guru di Kampung Lalang Batubara.
Saat itu pribadinya mulai nampak sebagai ciri-ciri anak yang saleh. Sebab selain belajar agama dan mengaji, ia sering pula berkhalwat (mengasingkan diri untuk berzikir mengingat Allah Tuhan Maha Pencipta). Ia suka berkhalwat sejak usia 15 tahun.
Menuntut Ilmu ke Minangkabau, Aceh dan Siam
Setelah menginjak dewasa sekitar 17 tahun, Abdurrahman ingin memperdalam ilmu Islam. Dengan memohon izin kepada kedua orang tuanya, ia pun pergi merantau ke daerah asal para pendahulunya di Minangkabau tepatnya di Bukit tinggi.
Di sana, ia berguru kepada seorang ulama yang cukup dikenal ketika itu bernama Syekh Jambek. Di samping ia mempelajari ilmu-ilmu syari'at dan ilmu fiqih, Abdurrahman lebih menekuni ilmu hakikat yaitu tauhid dan tasawuf.
Tak hanya ilmu syariat, Tuan Syekh Silau Laut saat remajanya juga meminati ilmu beladiri (silat). Untuk mempelajari ilmu bela diri ini ia belajar kepada salah seorang ahli beladiri yang cukup dikenal di tanah Minangkabau bernama Tuk Angku Di Lintau.
Dalam usahanya untuk membekali dirinya dengan ilmu bermanfaat, Syekh Silau Laut juga belajar ke Aceh, namun belum diketahui daerah dan gurunya tempat ia belajar.
Saat usia remaja itu, Syekh Silau Laut merasa masih kurang puas dengan ilmu yang dimilikinya. Tidak lama setelah ia pulang dari Minangkabau dan Aceh, salah seorang Pakciknya bergelar Panglima Putih membawanya merantau ke negeri Fathani (Thailand). Atas restu kedua orang tuanya, ia pun berangkat untuk menambah ilmu Agama Islam.
Di dalam pelayarannya, Abdurrahman muda (Syekh Silau Laut) menunjukkan kemahirannya dalam ilmu silat kepada para penumpang kapal. Ia tidak mengetahui kalau di antara mereka ada rombongan Sultan Kedah yang akan pulang ke negerinya.
Di Negeri Fathani, Abdurrahman muda belajar kepada salah seorang ulama yang cukup dikenal. Ula ini bernama Syekh Wan Mustafa dan anaknya bernama Syekh Daud Fathani.
Selama berada di sana, Abdurrahman lebih banyak belajar ilmu tauhid, ilmu tasawuf dan ilmu hikmah/ketabiban. Di samping belajar, ia ditugaskan gurunya pula untuk mengajar.
Menjadi Hulubalang di Kedah
Ketika berada di Fathani, ia didatangi utusan dari Kedah dengan maksud mengundangnya datang ke negeri Kedah. Alasannya, Sultan Kedah ingin melihat kemahirannya dalam ilmu silat di hadapan Hulubalang, prajurit dan rakyat negeri Kedah.
Abdurrahman muda pun memenuhi undangan itu dengan terlebih dahulu memohon restu dari gurunya. Sesampainya di negeri Kedah, sesudah beberapa hari lamanya diadakanlah acara perang tanding untuk memilih kepala hulu balang kesultanan Kedah.
Abdurrahman yang sengaja diundang untuk perang tanding tersebut, berhadapan dengan Panglima Elang Panas yang berasal dari Siam. Dengan kuasa dan izin Allah, Abdurrahman muda menang dalam perang tanding tersebut.
Lalu, Sultan Kedah pun menawarkannya untuk menjadi Kepala Hulubalang Kesultanan Kedah. Abdurrahman menerima tawaran itu, kemudian ia dinobatkan dan menjabat selama 7 tahun berturut-turut.
Menurut riwayat, beliau menerima gaji 60 Ringgit setiap bulannya. Dalam perantauannya di Fathani dan Kedah, beliau sempat pula belajar di Kelantan.
Abdurrahman menyadari bahwa cita-citanya semula adalah untuk menjadi seorang ulama yang akan mengembangkan agama Islam dan mengabdikan ilmunya di tengah-tengah masyarakat negrinya.
Maka dari itu, ia meletakkan jabatannya sebagai kepala hulubalang Kesultanan Kedah lalu ia pulang kembali ke negeri asalnya di Batubara dijemput Abangnya bernama Abbas.
Setelah berada kembali di Batubara, ia mulai mengamalkan ilmunya untuk melakukan dakwah dengan mengisi pengajian yang ada di Batubara dan di daerah Serdang (sekarang Deli Serdang). Beliau dikenal masyarakat dengan panggilan Lebai Deraman.
Ketika berdakwah di daerah Serdang, ia mengakhiri masa lajangnya dengan menikahi seorang gadis Serdang bernama Maimunah. Sewaktu berada di Serdang beliau mengatasnamakan alamatnya melalui kemenakannya mufti Ahmad Serdang. Dan waktu senggangnya diisinya dengan “berkhalwat” di seberang sungai Serdang (sekarang Sungai Ular).
Pada masa Abdurrahman berdakwah dan menghidupkan pengajian di Batubara dan Serdang. Sebagian besar muridnya saat itu adalah nelayan. Para muridnya ini melaporkan bahwa mereka sering diganggu oleh bajak laut yang bermukim di pulau jemur sehinga mereka tidak aman mencari nafkah di Selat Melaka.
Mendengar laporan muridnya, Abdurrahman dan seorang kerabatnya bernama HM Zein berangkat membasmi para bajak laut tersebut dari dari Pantai Cermin, Serdang Bedagai.
Menuntut ilmu hingga ke Mekkah dan Siam (Thailand)
Tuan Syekh Silau Laut selain berguru kepada Tuan Baqi dari Langkat, Kedah, Kelantan, dan Fathani, Beliau juga menuntut ilmu ke Makkah selama tujuh tahun. Di Makkah berguru kepada Syekh Daud Fathani, seorang ulama Tariqhat Syattariah.
Seusai menimba ilmu di Mekkah, Tuan Syekh Silau Laut kembali ke Sumatera dan mengembangkan Tareqat Syattariah di daerah Silau Laut hingga wafat pada 2 Jumadil Awal 1360 H atau bertepatan dengan 28 Februari 1941, dalam usia 125 tahun.
Tuan Syekh Silau Laut dimakamkan di Desa Silau Laut. Di dekat makamnya terdapat makam sang istri bernama Hj Maryam dan dua anaknya yaitu Syekh Muhammad Ali dan Haji Abdul Latief.
makam Syekh Silau Laut di Asahan |
Wujud dari perhatian para penguasa Asahan dan Serdang itu antara lain berupa pembuatan jalan menuju Kompleks Tareqat Syattariah pimpinan Syekh Silau Laut. Awalnya adalah jalan setapak yang dirintis oleh Sultan Asahan yang kemudian diperlebar dan diperkeras atas bantuan Sultan Serdang. Hingga saat ini, masih banyak orang yang dadatang berziarah ke makam beliau tersebut. Sosok beliau tetap dikenang dan dihormati sebagai tokoh yang sangat berjasa dalam menyebarkan Islam di tanah Melayu, khususnya di Kesultanan Asahan.
Para penziarah itu datang dari berbagai daerah, termasuk dari negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan negara lainnya. Semoga Allah Swt memalah segala amal ibadah dan jasa beliau dengan pahala yang tak terhingga. Amin.
*Dari berbagai sumber
https://intiruh.blogspot.co.id
https://omtato.blogspot.co.id
loading...