Kali ini, kita akan berbagi kisah hikmah yang diceritakan oleh seorang ustadz motivator, semoga bermanfaat bagi kita semua.
***
Seorang suami (sebut saja namanya Budi) bertanya ke saya,
“Pak Ustadz, kenapa ya hutang saya ga lunas lunas?”
Menghadapi pertanyaan seperti ini, biasanya saya jawab dengan mengajaknya menggunakan ilmu “law of projection”, “disiplin kata” atau “garpu tala”. Tapi kali ini saya ingin gunakan jurus berbeda.
Saya tanya balik ke dia “Istri ente bahagia ga sama ente?”
Ditanya pertanyaan berbeda, dia merespon dengan membenarkan pertanyaannya.
“Gini pak Ustadz, ana tanya tentang hutang. Kenapa ya hutang ana ga lunas lunas?”
Sekali lagi saya tanya balik ke dia
“Iya... ana tanya ente dulu... istri ente bahagia ga sama ente?”
Lama dia terdiam. Lalu dia jawab:
“Kayaknya ga pak Ustadz”
Lalu saya bilang:
“Ya sudah... itu jawabannya... ente ga bakal bisa melunasi “hutang” ente kalau istri ente ga bahagia”
“Lho emang ada hubungannya pak Nas?” tanya dia.
“Ya pasti” jawab saya. Lalu saya jelaskan ilmu terumbu karang.
***
“Di mana Allah titip rezeki untuk manusia?” Ini adalah pertanyaan sederhana, namun banyak manusia tidak tahu jawabannya.
Sementara semua hewan tahu di mana letak rezekinya. Jerapah jika ditanya pasti menjawab di pucuk pohon. Monyet akan menjawab di pohon pisang. Ikan akan menjawab, rezekinya dititip di terumbu karang.
Uniknya, jawaban manusia berbeda-beda. Tidak seragam seperti jawaban hewan. Ada yang menjawab di kantor, di proyek, di bendahara, di mana-mana dan jawaban lain yang menunjukkan sebenarnya kita tidak tahu di mana letak rezeki kita.
Dengan kajian panjang, saya menyimpulkan bahwa rezeki Allah dititip di “Kemuliaan dan Kebahagiaan Orang Lain”.
Rezeki yang kita dapatkan sebenarnya bukan karena keahlian kita, bukan juga karena jam kerja yang kita curahkan. Tapi lebih karena kita pernah memuliakan dan membahagiakan orang lain. Lalu Allah berikan reward berupa rezeki yang tercurah akibat proses itu.
Jika jerapah menjaga pucuk pohonnya, monyet menjaga pohon pisangnya, maka ikan pun menjaga terumbu karangnya agar dapatkan rezeki.
Uniknya, manusia dengan mudah menyakiti perasaan manusia lain. Kenapa? Karena tidak tahu konsep “menjaga terumbu karang” ini. Begitulah yang terjadi pada Pak Budi. Dia fokus mencari nafkah di tempat kerja, tapi istri sendiri tidak dia bahagiakan.
***
Pak Budi menghela nafas. “Terus, apa yang harus saya lakukan pak Ustadz?”
“Ya sederhana sebenarnya, buat saja istri mulia dan bahagia, karena di sana letak rezeki bapak” jawab saya.
“Kita terlalu sibuk bekerja dan menjadi robot, lalu menganggap dengan aktivitas kita itulah kita mendapatkan rezeki dan mampu membayar hutang-hutang kita. Padahal kita sebenarnya juga bahagiakan orang-orang yang menjadi sebab rezeki kita.
Pimpinan, anak buah, klien, konsumen, kita jagaaaaaaaaa benar hatinya agar tidak tersinggung. Kenapa? Karena kalau tersinggung sedikit saja, mereka akan menghukum kita dengan berkurangnya bagian rezeki kita.
Pimpinan mungkin akan memecat kita, anak buah tidak akan semangat bekerja, klien dan konsumen akan lari, jika kita buat tersinggung.
Saat tiba di rumah... dengan mudahnya kita menyakiti hati istri kita. Kadang sebagai suami, kita menganggap istri harus membuat suami bahagia. Kita-lah raja dalam rumah tangga dan dengan semena-mena kita menuntut banyak hal pada istri kita. Kita pakai dalil-dalil agama untuk mengeksploitasi istri kita. Semuanya tentang kita dan ego kita sebagai suami.
Ujung dari itu semua, istri tidak bahagia. Seperti ikan, saat terumbu karangnya sudah musnah, manalah mungkin dia bisa dapatkan makanan. Saat istri -sebagai orang paling dekat dengan kita- tidak bahagia, manalah mungkin kita akan dapatkan rezeki”
Pak Budi menunduk lalu menatap saya dalam-dalam...
“Sebenarnya... ini adalah kontemplasi saya juga pak...” ujar saya.
“Oh, pak Ustadz pernah mengalami?” Tanya pak Budi.
“Ya... begitulah... dulu saya juga orang yang tidak peduli dengan kebahagiaan istri. Terlalu banyak aib jika saya ceritakan... Tapi, sejak saya dapatkan kesimpulan “menjaga terumbu karang” ini, saya balik semua logika saya dalam mencari rezeki.
Saya sudah tidak peduli lagi dengan usaha saya. Saya tidak peduli dengan seberapa banyak nafkah yang saya bisa berikan untuk istri saya. Karena sebenarnya itu hanya dampak dari sikap saya terhadap orang-orang yang paling berharga dalam kehidupan saya. Salah satunya, istri kita.
***
Suatu saat, ada seorang motivator bisnis dari Amerika. Sesi yang paling saya tunggu adalah pertanyaan tentang rahasia sukses. “Apa rahasia sukses bapak?” Tanya seorang penanya.
Saya sudah menunggu dan menduga jawabannya adalah tentang poin-poin manajemen, leadership, kedisipilan atau kerjasama tim.
Jawabannya sungguh tak terduga. Sambil memegang mesra tangan istrinya, sang motivator menjawab “Happy Wife, Happy Life”
Sungguh bukan ini rahasia yang saya nantikan. Tapi dengan fasih, motivator itu menjawab dengan susunan logika yang menggugah perasaan saya, bahwa Kebahagiaan Istri lah yang akan membuat hidup seorang suami bahagia.
Ah... malu saya dengan diri saya sendiri. Banyak orang memanggil saya ustadz, tapi kenapa nilai-nilai ini malah dijiwai oleh motivator bisnis dari negara yang dalam citra saya sudah tidak lagi mensakralkan nilai keluarga.
Setelah itu, berhari-hari saya termenung, kalimat “happy wife, happy life” terngiang-ngiang dalam fikiran dan jiwa saya. Akhirnya dengan mantap, saya membuka hati, mau belajar dan menerapkan semboyan sang motivator untuk meniti kesuksesan saya.
***
Pak Budi masih di depan saya. Masih mencoba mencerna kalimat-kalimat yang keluar dari lisan saya. Pak Budi memang sedang konsultasi, tapi hakikatnya ini adalah pembicaraan dua lelaki yang saling berkaca.
Memang tidak mudah menurunkan ego kami sebagai suami. Tapi jika itu yang harus dibayar untuk kesuksesan, kenapa tidak? Sudah terlalu jauh kami berjalan memuaskan ego kami sendiri, dan akibatnya kami tak lagi menemukan bahagia.
***
“Tapi istri saya keras pak Ustadz, kadang marah-marah ga jelas, apa yang saya lakukan seperti ga bener semua di mata dia. Kalau sudah begitu, saya ya... kebawa marah” ujar pak Budi
“Ya biar saja lah Pak, kadang istri kita memang mesti melampiaskan amarahnya. Satu hal yang akhirnya saya fahami... sejak kita menikahi istri kita, dia punya quota marah yang ga habis-habis... kita harus siap memiliki hati yang luas menghadapinya.
Untuk hal ini, saya terinspirasi dari kisah Nabi Muhammad Saw.
Suatu saat, Nabi Saw sedang menerima tamu. Sejurus kemudian, ada ketukan pintu dan memberikan semangkuk sup. “Dari mana sup ini?” tanya Nabi yang dijawab dari istri yang lainnya.
Jawaban itu didengar oleh Aisyah ra di dapur yang juga sedang menyiapkan makanan untuk Nabi yang mulia. Tak diduga, Aisyah keluar dan menghalau mangkuk sup itu dan terjatuh mengenai Nabi saw dan tamunya.
Jika kita menjadi Nabi saw, mungkin penyikapan kita akan marah, atau minimal memberikan pengertian kepada Aisyah ra tentang kesalahan perbuatannya.
Tapi, Dialah Nabi saw yang mulia. Dia hanya mengambil kain membasuh sup yang tumpah di baju beliau dan tamunya dan hanya mengatakan kepada tamunya “maafkan ibumu (ummul mu’minin)... dia sedang cemburu”
Penyikapan yang tepat yang lahir dari keinginan menjaga kebahagiaan istri. Ah... semoga kami mampu mencontoh Nabi kami yang mulia.
**
Kehidupan suami istri laksana lautan dalam yang tak pernah habis digali. Satu hal yang pasti, kita harus pertanggung jawabkan ijab-qobul yang sudah terlanjur terucap dan disaksikan oleh Allah.
Lalu kita terikat amat kuat dengan hukum Allah. “Itsnaani yu’ajjiluhumullahu fid dunya, al-baghyu wa huquuqul waalidayn” ada dua dosa yang dipercepat siksanya oleh Allah di dunia : berbuat sewenang-wenang (Al-baghyu) dan durhaka kepada kedua org tua.
Al-baghyu yang paling besar adalah kepada istri sendiri. Allah mensejajarkan, menyakiti istri sama dengan durhaka kepada orangtua.
Kami berdua menghela nafas... tidak mudah memang menjadi suami, dan kami harus terus belajar. Semoga dengan slogan baru : “Happy Wife, Happy Life”, kami bisa dapatkan kebahagiaan dan kesuksesan kami kembali.
Warning : “Tulisan ini hanya akan cocok jika dibaca oleh suami dan dijalankan olehnya, bukan dipaksa-paksa sama istri untuk membaca dan melakukannya ☺.
--
Sumber: Grup FB Ust. Nasrullah
***
Seorang suami (sebut saja namanya Budi) bertanya ke saya,
“Pak Ustadz, kenapa ya hutang saya ga lunas lunas?”
Menghadapi pertanyaan seperti ini, biasanya saya jawab dengan mengajaknya menggunakan ilmu “law of projection”, “disiplin kata” atau “garpu tala”. Tapi kali ini saya ingin gunakan jurus berbeda.
Saya tanya balik ke dia “Istri ente bahagia ga sama ente?”
Ditanya pertanyaan berbeda, dia merespon dengan membenarkan pertanyaannya.
“Gini pak Ustadz, ana tanya tentang hutang. Kenapa ya hutang ana ga lunas lunas?”
Sekali lagi saya tanya balik ke dia
“Iya... ana tanya ente dulu... istri ente bahagia ga sama ente?”
Lama dia terdiam. Lalu dia jawab:
“Kayaknya ga pak Ustadz”
Lalu saya bilang:
“Ya sudah... itu jawabannya... ente ga bakal bisa melunasi “hutang” ente kalau istri ente ga bahagia”
“Lho emang ada hubungannya pak Nas?” tanya dia.
“Ya pasti” jawab saya. Lalu saya jelaskan ilmu terumbu karang.
***
“Di mana Allah titip rezeki untuk manusia?” Ini adalah pertanyaan sederhana, namun banyak manusia tidak tahu jawabannya.
Sementara semua hewan tahu di mana letak rezekinya. Jerapah jika ditanya pasti menjawab di pucuk pohon. Monyet akan menjawab di pohon pisang. Ikan akan menjawab, rezekinya dititip di terumbu karang.
Uniknya, jawaban manusia berbeda-beda. Tidak seragam seperti jawaban hewan. Ada yang menjawab di kantor, di proyek, di bendahara, di mana-mana dan jawaban lain yang menunjukkan sebenarnya kita tidak tahu di mana letak rezeki kita.
Dengan kajian panjang, saya menyimpulkan bahwa rezeki Allah dititip di “Kemuliaan dan Kebahagiaan Orang Lain”.
Rezeki yang kita dapatkan sebenarnya bukan karena keahlian kita, bukan juga karena jam kerja yang kita curahkan. Tapi lebih karena kita pernah memuliakan dan membahagiakan orang lain. Lalu Allah berikan reward berupa rezeki yang tercurah akibat proses itu.
Jika jerapah menjaga pucuk pohonnya, monyet menjaga pohon pisangnya, maka ikan pun menjaga terumbu karangnya agar dapatkan rezeki.
Uniknya, manusia dengan mudah menyakiti perasaan manusia lain. Kenapa? Karena tidak tahu konsep “menjaga terumbu karang” ini. Begitulah yang terjadi pada Pak Budi. Dia fokus mencari nafkah di tempat kerja, tapi istri sendiri tidak dia bahagiakan.
***
Pak Budi menghela nafas. “Terus, apa yang harus saya lakukan pak Ustadz?”
“Ya sederhana sebenarnya, buat saja istri mulia dan bahagia, karena di sana letak rezeki bapak” jawab saya.
“Kita terlalu sibuk bekerja dan menjadi robot, lalu menganggap dengan aktivitas kita itulah kita mendapatkan rezeki dan mampu membayar hutang-hutang kita. Padahal kita sebenarnya juga bahagiakan orang-orang yang menjadi sebab rezeki kita.
Pimpinan, anak buah, klien, konsumen, kita jagaaaaaaaaa benar hatinya agar tidak tersinggung. Kenapa? Karena kalau tersinggung sedikit saja, mereka akan menghukum kita dengan berkurangnya bagian rezeki kita.
Pimpinan mungkin akan memecat kita, anak buah tidak akan semangat bekerja, klien dan konsumen akan lari, jika kita buat tersinggung.
Saat tiba di rumah... dengan mudahnya kita menyakiti hati istri kita. Kadang sebagai suami, kita menganggap istri harus membuat suami bahagia. Kita-lah raja dalam rumah tangga dan dengan semena-mena kita menuntut banyak hal pada istri kita. Kita pakai dalil-dalil agama untuk mengeksploitasi istri kita. Semuanya tentang kita dan ego kita sebagai suami.
Ujung dari itu semua, istri tidak bahagia. Seperti ikan, saat terumbu karangnya sudah musnah, manalah mungkin dia bisa dapatkan makanan. Saat istri -sebagai orang paling dekat dengan kita- tidak bahagia, manalah mungkin kita akan dapatkan rezeki”
Pak Budi menunduk lalu menatap saya dalam-dalam...
“Sebenarnya... ini adalah kontemplasi saya juga pak...” ujar saya.
“Oh, pak Ustadz pernah mengalami?” Tanya pak Budi.
“Ya... begitulah... dulu saya juga orang yang tidak peduli dengan kebahagiaan istri. Terlalu banyak aib jika saya ceritakan... Tapi, sejak saya dapatkan kesimpulan “menjaga terumbu karang” ini, saya balik semua logika saya dalam mencari rezeki.
Saya sudah tidak peduli lagi dengan usaha saya. Saya tidak peduli dengan seberapa banyak nafkah yang saya bisa berikan untuk istri saya. Karena sebenarnya itu hanya dampak dari sikap saya terhadap orang-orang yang paling berharga dalam kehidupan saya. Salah satunya, istri kita.
***
Suatu saat, ada seorang motivator bisnis dari Amerika. Sesi yang paling saya tunggu adalah pertanyaan tentang rahasia sukses. “Apa rahasia sukses bapak?” Tanya seorang penanya.
Saya sudah menunggu dan menduga jawabannya adalah tentang poin-poin manajemen, leadership, kedisipilan atau kerjasama tim.
Jawabannya sungguh tak terduga. Sambil memegang mesra tangan istrinya, sang motivator menjawab “Happy Wife, Happy Life”
Sungguh bukan ini rahasia yang saya nantikan. Tapi dengan fasih, motivator itu menjawab dengan susunan logika yang menggugah perasaan saya, bahwa Kebahagiaan Istri lah yang akan membuat hidup seorang suami bahagia.
Ah... malu saya dengan diri saya sendiri. Banyak orang memanggil saya ustadz, tapi kenapa nilai-nilai ini malah dijiwai oleh motivator bisnis dari negara yang dalam citra saya sudah tidak lagi mensakralkan nilai keluarga.
Setelah itu, berhari-hari saya termenung, kalimat “happy wife, happy life” terngiang-ngiang dalam fikiran dan jiwa saya. Akhirnya dengan mantap, saya membuka hati, mau belajar dan menerapkan semboyan sang motivator untuk meniti kesuksesan saya.
***
Pak Budi masih di depan saya. Masih mencoba mencerna kalimat-kalimat yang keluar dari lisan saya. Pak Budi memang sedang konsultasi, tapi hakikatnya ini adalah pembicaraan dua lelaki yang saling berkaca.
Memang tidak mudah menurunkan ego kami sebagai suami. Tapi jika itu yang harus dibayar untuk kesuksesan, kenapa tidak? Sudah terlalu jauh kami berjalan memuaskan ego kami sendiri, dan akibatnya kami tak lagi menemukan bahagia.
***
“Tapi istri saya keras pak Ustadz, kadang marah-marah ga jelas, apa yang saya lakukan seperti ga bener semua di mata dia. Kalau sudah begitu, saya ya... kebawa marah” ujar pak Budi
“Ya biar saja lah Pak, kadang istri kita memang mesti melampiaskan amarahnya. Satu hal yang akhirnya saya fahami... sejak kita menikahi istri kita, dia punya quota marah yang ga habis-habis... kita harus siap memiliki hati yang luas menghadapinya.
Untuk hal ini, saya terinspirasi dari kisah Nabi Muhammad Saw.
Suatu saat, Nabi Saw sedang menerima tamu. Sejurus kemudian, ada ketukan pintu dan memberikan semangkuk sup. “Dari mana sup ini?” tanya Nabi yang dijawab dari istri yang lainnya.
Jawaban itu didengar oleh Aisyah ra di dapur yang juga sedang menyiapkan makanan untuk Nabi yang mulia. Tak diduga, Aisyah keluar dan menghalau mangkuk sup itu dan terjatuh mengenai Nabi saw dan tamunya.
Jika kita menjadi Nabi saw, mungkin penyikapan kita akan marah, atau minimal memberikan pengertian kepada Aisyah ra tentang kesalahan perbuatannya.
Tapi, Dialah Nabi saw yang mulia. Dia hanya mengambil kain membasuh sup yang tumpah di baju beliau dan tamunya dan hanya mengatakan kepada tamunya “maafkan ibumu (ummul mu’minin)... dia sedang cemburu”
Penyikapan yang tepat yang lahir dari keinginan menjaga kebahagiaan istri. Ah... semoga kami mampu mencontoh Nabi kami yang mulia.
**
Kehidupan suami istri laksana lautan dalam yang tak pernah habis digali. Satu hal yang pasti, kita harus pertanggung jawabkan ijab-qobul yang sudah terlanjur terucap dan disaksikan oleh Allah.
Lalu kita terikat amat kuat dengan hukum Allah. “Itsnaani yu’ajjiluhumullahu fid dunya, al-baghyu wa huquuqul waalidayn” ada dua dosa yang dipercepat siksanya oleh Allah di dunia : berbuat sewenang-wenang (Al-baghyu) dan durhaka kepada kedua org tua.
Al-baghyu yang paling besar adalah kepada istri sendiri. Allah mensejajarkan, menyakiti istri sama dengan durhaka kepada orangtua.
Kami berdua menghela nafas... tidak mudah memang menjadi suami, dan kami harus terus belajar. Semoga dengan slogan baru : “Happy Wife, Happy Life”, kami bisa dapatkan kebahagiaan dan kesuksesan kami kembali.
Warning : “Tulisan ini hanya akan cocok jika dibaca oleh suami dan dijalankan olehnya, bukan dipaksa-paksa sama istri untuk membaca dan melakukannya ☺.
--
Sumber: Grup FB Ust. Nasrullah
loading...