Orang Rajin Bersedekah Itu Bahagia, begini penjelasan ilmiahnya...

Pernahkah kita merasakan, ketika kita mengeluarkan sedekah kepada orang yang membutuhkan, ketika kita bisa membantu meringankan beban orang lain, lalu muncul perasaan bahagian entara dari mana dalam lubuk hari kita?;

Monday, October 29, 2018

[Belajar Bahasa Al-Qur'an] Siapa Yang Memberi Titik Pada Huruf Qaf (ق) Dan Fa (ف)

Pada zaman Nabi Saw dan para sahabat bentuk huruf Qaf (ق) sama dengan huruf Fa (ف). Tidak ada pembeda sama sekali. Tidak ada titiknya. Demikian pula huruf yang lain. Banyak yang kembar. Ada yang kembar lima yaitu huruf Ba (ب), huruf Ta (ت), huruf Tsa (ث), hurun Nun (ن) dan huruf Ya (ي). Ada yang kembar tiga yaitu huruf Jim (ج), huruf Ha (ح), dan huruf Kha (خ). Dan ada juga yang kembar dua.

Yang kembar dua ada tujuh pasang. Yaitu huruf Dal (د) dan Dzal (ذ), huruf Ra (ر) dan Zay (ز), huruf Sin (س) dan Syin (ش), huruf Shad (ص) dan Dhad (ض), huruf Tha (ط) dan Zha (ظ), huruf ‘Ain (ع) dan Ghain (غ), lalu huruf Fa (ف) dan Qaf (ق). Terlihat di sini huruf Fa dan Qaf termasuk pasangan kembar dua sama dengan enam pasang huruf lainnya.

Imam Nashr bin ‘Ashim (w. 90 H.) menambahkan pembeda pada huruf kembar dua dengan menambahkan satu titik di bawah huruf pokok dan satu titik di atas huruf cabang. Misalnya huruf Dal dan Dzal. Maka huruf Dal sebagai huruf pokok diberi titik satu di bawah. Dan huruf Dzal sebagai cabang diberi titik satu di atas. Demikian pula huruf Fa  dan Qaf. Huruf pokoknya, yakni Fa, diberi titik satu di bawah, dan huruf cabangnya, yakni Qaf, diberi titik satu di atas.

Lalu imam Yahya bin Ya’mur (w. -+100 H.) menyederhanakan titik yang dibuat Nashr bin ‘Ashim (w. 90 H.) dengan menghapus titik di bawah huruf pokok dan menetapkan titik di atas huruf cabang. Huruf Dal, Ra, Sin, Shad, Tha, dan ‘Ain menjadi tidak bertitik. Sedang huruf Dzal, Zay, Syin, Dhad, Zha, dan Ghain bertitik satu di atas seperti yang kita lihat sekarang. Kecuali huruf Fa dan Qaf. Titiknya dibiarkan seperti semula. Yakni Fa tetap dengan satu titik di bawah dan Qaf dengan satu titik di atas.

Banyak yang mengatakan bahwa yang melakukan penyederhanaan dengan membuang titik di bawah huruf pokok dan menetapkan titik di atas huruf cabang kecuali pada Fa dan Qaf adalah imam Nashr bin Ashim sendiri. Bukan imam Yahya bin Ya’mur. Ada juga yang mengatakan imam Nashr bin Ashim sudah melakukannya bersama imam Yahya bin Ya’mur dari awal. Mungkin hal ini disebabkan karena tarikh hidup imam Yahya bin Ya’mur yang diikhtilafkan para ulama. Imam Ibn Hajar al-Asqalani (w. 852 H.) mengatakan “Yahya bin Ya’mur wafat sebelum tahun 100 hijrah dan ada yang mengatakan setelah tahun 100 hijrah.”

Mengapa imam Nashr bin A’shim dan imam Yahya bin Ya’mur tidak menyederhanakan formasi titik huruf Fa dan Qaf? Seandainya dilakukan mungkin sekarang kita akan melihat huruf Fa tanpa titik dan huruf Qaf dengan titik satu di atas. Tidak ada referensi yang menjelaskan alasannya. Hanya saja tampaknya untuk membedakan dengan huruf ‘Ain dan Ghain saat di tengah.

Bentuk huruf Fa dan Qaf yang berada di tengah kata, yakni tidak di pembuka dan tidak di penutup kata, akan mirip dengan huruf ‘Ain dan Ghain di posisi yang sama. Jika Fa dihilangkan titiknya di bawah maka akan tertukar dengan ‘Ain yang juga tidak punya titik. Fa yang bertitik pula tidak akan tertukar dengan Ghain. Karena titik Fa ada di bawah sedang titik ghain ada di atas.

Lalu sejak kapan titik di atas Qaf menjadi dua dan titik di bawah Fa naik ke atas? Ini diinisiasi oleh imam al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi (w. 170 H.) saat menyempurnakan bentuk harakat Al-Quran setelah sebelumnya hanya berupa titik oleh Abu al-Aswad al-Duali (w. 69 H.). Pada mulanya titik di bawah Fa dipindahkan ke atas kepala Fa agar badan Fa, tampaknya, tidak khawatir disangka Ba. Lalu huruf Fa menjadi kembar lagi dengan Qaf maka Qaf ditambah titik satu lagi di atas sehingga menjadi dua.

Huruf Qaf dengan dua titik di atas dan huruf Fa dengan satu titik di atas menjadi huruf resmi yang dipergunakan dalam tulis-menulis huruf Arab, khususnya tulisan Al-Quran, kecuali di wilayah Islam bagian Barat yang meliputi Maroko, Libya, Tunisia, Muritania dan lain-lain. Huruf Qaf mereka masih ditulis satu titik di atas dan huruf Fa dengan satu titik di bawah. Bahkan hingga sekarang mushaf Al-Quran yang dicetak di sana menggunakan huruf Qaf dan Fa yang lama dengan riwayat Warsy dan Qalun dari imam Nafi’.

loading...

Friday, October 26, 2018

Cara Mudah Mengatasi File PDF Yang Tidak Bisa Dicopy, Diprint dan Sebagainya

Saat sekarang ini, banyak dokumen-dokomen ilmiah seperti buku, makalah, jurnal, tesis, skripsi dll yang disimpan dalam bentuk file PDF.

Ada kalanya, kita ingin mengcopy sebagian atas seluruh dari isi dokumen tersebut, tapi ada masalah: ternyata kita tidak bisa mengambil dan mengcopy isi, teks, gambar, tabel, grafik, dll, yang pada file pdf tersebut, Ada pula yang file PDF Yang tidak bisa diprint.

Apa penyebab File PDF tidak bisa dibuka? Ternyata dile tersebut adalah file yang  terproteksi (SECURED).

Biasanya saat mendownload file PDF, menjumpai file PDF yang tidak bisa di copy ataupun di Print. Itu dikarenakan file PDF tersebut di Kunci oleh yang membuat file PDF tersebut.

Jadi bingung saat dapat filenya tetapi tidak bisa digunakan? Bisa saja tulis ulang file tersebut tetapi itu akan memakan waktu yang lama, bukan?



Gambar di atas adalah contoh dari file PDF yang terkunci. Dari gambar diatas dapat terlihat bahwa file PDF itu terkunci atau SECURED dan saat di klik kanan tidak muncul kata COPY.

Lalu bagaimana cara mengatasinya?

Cara membuka LOCK dari file PDF dapat diatasi dengan beberapa cara berikut:

1. Buka dengan aplikasi PDF Unlocker. Silahkan cari programnya di internet.

2. Secara online, bisa melalui beberapa layanan web berikut:

situs: Unlock-pdf.com


Unlock-pdf adalah salah satu cara membuka file PDF yang terkunci, caranya sangat mudah. Pertama buka unlock-pdf.com.

Lalu browse file PDF yang ingin Unlock. Lalu klik UNLOCK FILE, tunggu sebentar. Dan download file PDF yang sudah di Unlock.


3. Melalui situs : Crackmypdf.com


Sama seperti pembuka PDF diatas, cara menggunakan crackmypdf juga demikian.

Pertama buka crackmypdf.com lalu browse file PDF yang akan di Unlock, setelah file PDF dibrowse kemudian klik UNLOCK.

Tunggu beberapa saat, lalu download file PDF yang sudah di UNLOCK tadi.

4. Melalui situs:  Pdfunlock.com


Pertama buka pdfunlock.com untuk membuka file PDF. Lalu pilih PDF yang akan di Unlock dengan menekan My Computer, Lalu tekan UNLOCK untuk membuka file PDF. Tunggu beberapa saat lalu downloadlah file PDF yang sudah di UNLOCK tadi.

Jadi begitulah cara membuka file PDF yang terkunci/terproteksi. Setelah membuka proteksi dari PDF, sekarang bisa mengcopy-paste, print dan sebagainya. Tanpa perlu menulis ulang PDF tersebut.
loading...

Thursday, October 25, 2018

[Tarikh] Syeikh Muhammad Zain Nuruddin Batu Bahara Indera Pura, Qadhi dan Ulama Kharismatik Dari Batubara

Istana Lima Laras di Batubara
Muhammad Zein Nuruddin al-Alim as-Syaikh Abbas Al-Imam al-Khalidi bin Haji Muhammad Lashub bin Haji Abdul Karim Tuan Fakih Negeri Batu Bara, Pesisir. Namun beliau lebih akrab dikenal dengan nama Syeikh Muhammad Zein.

Beliau dilahirkan ibunya - Hajjah Shofiah - di Desa Dahari Selebar, yang sekarang di wilayah Kecamatan Talawi Kabupaten Batu Bara, pada tahun 1881 atau sekitar 1301 Hijrah. [Baca juga: Biografi Syekh Silau Asahan]

Beliau dibesarkan didaerah kelahirannya dibawah pengawasan dan didikan ayahnya, al-Alim Syeikh Abbas al-Khalidy, yaitu seorang penganut Tarikat Naqsabandy al-Khalidiy yang kuat.

Pertama sekali Syeikh Muhammad Zein mempelajari ilmu agama - seperti baca al-Quran, tata bahasa arab dan ilmu agama Islam lainnya - melalui ayahnya. Perhatian khusus dan kecemerlangan otaknya, maka beliau dapat menguasai buku-buku karangan Imam al-Asy'ari dan al-Ghazali. Madzhab Syafii adalah merupakan madzhab anutannya dalam bidang fikih.

Pada tahun 1901 M beliau berangkat menuntut ilmu ditanah Malaya (Malaysia), dan bermukim disana selama dua tahun. Kemudian kembali ke kampung halamannya di Sumatera Timur. Setahun lamanya di Sumatera beliau berangkat menunaikan ibadah haji. Namun setelah pelaksanaan haji ini, beliau tidak langsung pulang ke tanah air. beliau bermukim di Mekah selama 8 (delapan) tahun. Beliau belajar di Mekah dengan para ulama ulama disekitar Masjidil Haram.

Setelah itu beliau kembali ketanah air dan dijodohkan dengan seorang puteri Pesisir, yang bernama Kemala Intan. Setelah meaksanakan rukun Islam yang ke lima, Kumala Intan, ditambah namanya menjadi Kumala Intan Hajjah Fatimah binti Haji Muhammad Tayyib Idris.

Setelah setahun di kampung halamannya, beliau kembali ke Mekkah. Kemudian kembali lagi ketanah air. Kali ini beliau berhasrat untuk memboyong isterinya ke Mekkah. Namun karena tidak disetujui orangtua dan mertuanya, beliau mengurungkan niatnya. Beliau kembali ke Mekkah, selama setahun beliau kembali lagi dengan membawa kitab-kitab yang beliau baca dan pelajarinya di Mekkah.

Beberapa tahun menetap di Pesisir Dahari Selebar (sekarang : Kecamatan Talawi), beliau diangkat menjadi Qadhi (Hakim) Islam oleh pemerintahan setempat, yang pada masa itu dikepalai oleh Datuk Pesisir, Batu Bara. Kepada Syeikh Muhammad Zein inilah orang pada saat itu belajar agama dan meminta fatwa tentang hukum Islam. Beliau sempat mengambil sumpah pengukuhan jabatan Datuk Abdul Jalil sebagai Datuk menggantikan Datuk Peisir yang telah habis masa jabatannya (pensiun).

Beberapa lama kemudian, terjadi kesalahpahaman antara beliau dengan datuk Abdul Jalil dalam suatu permasalahan, maka Syeikh Muhammad Zein mengundurkan diri dari jabatan Qadhi. Dan karena tidak puas dengan pemerintahan seteempat maka beliau meninggalkan daerah kelahirannya ini menuju ke Kerajaan Indrapura, tepatnya di kampung Mualim sebagai tempat bermukimnya (sekarang adalah wilayah Desa Lalang Kecamatan Medang Deras. Pada saat itu kerajaan Sipare Indrapura diperintah oleh seorang raja yang bergelar Tengku Bungsu. Beliau Menetap disini sampai akhir hayatnya dengan mengadakan kegiatan dakwah. Atas prakarsa beliau bersama dengan masyarakat mendirikan masjid Mualim yang sekarang berada di Desa Lalang. Disinilah beliau memusatkan kegiatan dakwahnya dalam menyampaikan ajaran Islam.

Karya tulis

Sebagai seorang ulama, beliau juga telah menulis beberapa karya berupa kitab. Di antara karangan Syeikh Muhammad Zain Nuruddin yang telah ditemui hanya dua judul,

Yang pertama, kitab yang berjudul Fawaid az-Zain fi ‘Ilm al-‘Aqaid Ushul ad-Din (فوائد الزين فى علم العقائد وأصول الدين), diselesaikan waktu Dhuha, pukul 8, hari Jumaat, 7 Rabiulakhir 1342 H/16 November 1923 M (pada cetakan dinyatakan 7 Rabiulawal 1342 H, adalah salah cetak). Dicatatkan “Pada masa kerajaan Saiyiduna wa Maulana wa Qudwatuna Abdullah yang bergelar Datuk Muda Lela Wangsa ibni al-Marhum Datuk Tih ibni al-Marhum Datuk Samuangsa Tua Raja yang memerintah Negeri Pesisir Bahara ... “ Dicetak oleh Mathba’ah at-Taqaddum al-‘Ilmiyah, Mesir, yang dimiliki oleh waris Saiyid Abdul Wahid Bek at-Thubi, Mesir, tanpa dinyatakan tarikh.

Kandungan kitab ini membicarakan tentang persoalan akidah dengan menggunakan berbagai rujukan kitab-kitab Arab, karya ulama-ulama dunia Melayu dan karya guru-gurunya.

[Berdasarkan keterangan penulis asli artikel ini, Kitab ini ia diperolehi hari Isnin, 28 Rejab 1417 H/9 Disember 1996 M berasal dari milik seorang ulama bernama Syeikh Abdul Ghani bin Abdul Hamid, Pinang Baik, Selayang, Selangor]

Kitab yang kedua adalah kitab yang berjudul Miftah ash-Shibyan fi ‘Aqaid al-Iman (مفتاح الصبيان فى عقائد الإيمان), kitab ini selesai ditulis pada 11 Safar 1366 H/4 Januari 1947 M. Tanpa menyebut nama percetakan, hanya disebutkan oleh pengarangnya, “Telah al-haqir benarkan mencetak atau menthaba’ ini risalah yang bernama Miftah ash-Shibyan fi ‘Aqaid al-Iman akan akhina al-Fadhil, lagi Arif, Muhammad Qasim bin al-Marhum Tuan Haji Muhammad ‘li barang di mana-mana tempat cetak dan thaba' dengan tiada dakwa dakwi, demikianlah adanya.”

Pada mukadimah Fawaid az-Zain, Syeikh Muhammad Zain Nuruddin memetik pendapat dua ulama dunia Melayu yang beliau bersanad kepadanya. Kedua-dua ulama itu ialah Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh dan Syeikh Zainal Abidin bin Muhammad al-Fathani, kata beliau, “Kata ulama, haram belajar ilmu usuluddin pada orang yang tiada mahir ilmunya dan tiada mengambil daripada gurunya ...”

Pada konteks ini beliau tulis pada halaman depan kitab Miftah ash-Shibyan dengan merujuk kitab Syeikh Muhammad Zain bin Faqih Jalaluddin Aceh saja katanya, “Bahawa adalah kitab yang kita baca itu yang mengarangnya orang yang dibilang orang, dengan sekira-kira barang mana negeri dimasuknya maka tiada disalahkan orang ilmunya. Dan lagi pula bahawa adalah itu dengan mengambil daripada gurunya jangan ditelaah saja pada kitabnya. Kerana tiada hasil ilmu itu melainkan dengan pengambilan. Dan daripada kerana inilah kebanyakan manusia yang mendakwa dirinya alim, mentelaah dengan tiada pengambilan daripada gurunya maka tiba-tiba disalahkan oleh orang awam, dan orang yang dungu. Dan terkadang dia pula menyalahkan kitab mazhab orang yang lain bukan mazhab dirinya. Demikianlah kelakuan mereka itu.” (Miftah ash-Shibyan, hlm. kulit).

Daripada perkara-perkara disebutkan inilah barangkali menjadi sebab Syeikh Muhammad Zain Nuruddin sangat cermat menyebut beberapa orang gurunya, yang kemudian diiringinya dengan sanad. Tentang sanad kata beliau, “Dan hamba menyebutkan sanad itu kerana perkataan ulama, iaitu al-Alim al-Allamah as-Saiyid Ahmad bin as-Saiyid Abdur Rahman an-Nahrawi, “Bahawasanya mengetahui sanad itu setengah daripada pekerjaan agama. Dan barang siapa tiada baginya sanad, maka iaitu seperti anak yang dipungut, yang tiada tentu bangsanya ...” (Miftah ash-Shibyan, hlm. 30).

Petikan dari Syeikh Zainal Abidin bin Muhammad al-Fathani saja, katanya, “Dan setengah daripada mereka itu yang berpegang dengan ayat Quran yang mutasyabihat atau hadis yang mutasyabihat padahal tiada dilintungkan dengan qawathi’ aqliyah dan naqliyah yang muhkamat tetapi diambil akan zahir mutasyabihat itu, maka jadi jatuh mereka itu pada laut kufur. Maka sesat mereka itu dan mereka itu menyesatkan pula akan manusia yang awam ... Maka adalah mereka itu seperti Dajjal. Atau lebih jahat lagi daripada Dajal.” (Fawaid az-Zain, hlm. 3).

Mengenai ini Syeikh Muhammad Zain Nuruddin menjelaskan selanjut bahawa asal kufur dan asal bidaah tujuh perkara. Ketujuh-tujuhnya beliau sebut satu persatunya, pada konteks di atas ialah yang keenam, berpegang pada iktikad iman dengan semata-mata zahir Quran dan hadis dengan tiada takwil atas beberapa barahin aqliyah dan qawathi' yang syar'iyah. (Fawaid az-Zain, hlm. 7).

Syeikh Muhammad Zain Nuruddin menyebut bahawa rujukan mengenai ini ialah dari kitab Muqaddimat oleh Imam Sanusi. Perkara yang sama juga disebut oleh Syeikh Daud bin Abdullah al-Fathani dalam ad-Durr ats-Tsamin, Syeikh Ahmad al-Fathani dalam Jumanah at-Tauhid, dan ulama-ulama yang lain dalam kitab-kitab mereka.

Amalan wirid
Menurut Syeikh Muhammad Zain Nuruddin sebab-sebab yang boleh memerdekakan diri dari api neraka beliau telah memetik tulisan al-Allamah asy-Syeikh Muhammad Shalih Kamal bin Shiddiq Kamal, Mufti Mekah daripada Syeikh al-Allamah Alauddin. Dari demikian banyak yang disebutkan disimpulkan saja, ada hadis riwayat daripada Bazzar, daripada Malik, dari Nabi s.a.w., “Barang siapa membaca surah al-Ikhlas 100,000 kali, maka sungguhnya ia telah membeli akan dirinya daripada Allah ... “

Maksud hadis ini ialah menebus dirinya atau orang lain daripada api neraka jika dibacakan dengan ikhlas jumlah demikian sepanjang hidupnya. Mengenai ini dikaitkan pula bahawa ada hadis, “Barang siapa membaca tahlil 70,000, nescaya adalah ia tebus dirinya daripada api neraka.” (Miftah ash-Shibyan, hlm. 19).

Sesudah menyebut satu rangkaian zikir dan wirid yang agak panjang, Syeikh Muhammad Zain Nuruddin menyebut bahawa wirid yang tersebut beliau terima daripada Syeikh Ahmad Khathib di Mekah (Miftah ash-Shibyan, hlm. 20). Sungguh pun sangat popular dalam sejarah bahawa Syeikh Ahmad Khathib al-Minankabawi sangat anti terhadap Tarekat Naqsyabandiyah. Namun Syeikh Muhammad Zain Nuruddin juga membicarakan tarekat tetapi beliau tidak menolaknya.

Bahkan Syeikh Muhammad Zain Nuruddin menyebut dalil mengenai zikir itu beliau petik dari tulisan Syeikh al-Islam al-Alim al-Allamah Muhammad al-Khalili pada fatwanya dan daripada Fat-h al-Mubin, oleh al-Allamah Syeikh Ahmad Khathib Imam asy-Syafie di Makkah al-Musyarrafah. Syeikh Muhammad Zain Nuruddin menyebut, Kitab yang tersebut diijazahkan Syeikhuna kepada hamba al-Haqir pada masa di dalam Mekah al-Musyarrafah. (Miftah ash-Shibyan, hlm. 21).

Syeikh Muhammad Zain Nuruddin juga sempat belajar dengan Syeikh Wan Ali Kutan al-Kalantani. Oleh itu pada bicara pelbagai jenis amalan seperti wirid, selawat, istighfar, dan lain-lain beliau sebut judul kitab ulama Kelantan itu, iaitu Lum’atul Aurad (Miftah ash-Shibyan, hlm. 30-32). Di antara amalan yang sangat penting beliau sebutkan ialah dua jenis selawat yang dibangsakan kepada wali Allah Syeikh Ahmad al-Badawi yang menurut beliau sangat besar fadilat mengamalkannya. Untuk memperoleh sesuatu fadilat perlulah beramal dengan kekal.

Sumber tulisan: 
Wan Mohd. Shaghir Abdullah dalam Harian © Utusan Melayu (M) Berhad. Link di sini: UTUSAN MELAYU
loading...

[Kisah Hikmah] Belajar Dari Sifat Kepiting

Mungkin banyak yang tahu wujud kepiting, tahu enaknya makan kepiting tapi tidak banyak yang tahu sifat kepiting. Di Filipina, masyarakat pedesaan gemar sekali menangkap & memakan kepiting sawah.

Kepiting sawah itu ukurannya kecil namun rasanya cukup lezat. Kepiting-kepitingitu dengan mudah ditangkap di malam hari lalu dimasukkan ke dalam baskom/wadah tanpa diikat.

Keesokan harinya, kepiting-kepitingini akan diserebus lalu disantao untuk lauk. Yang paling menarik dari kebiasaan ini, kepiting-kepiting itu akan selalu berusaha untuk keluar dari baskom sekuat tenaga mereka dengan menggunakan capit²nya yang kuat.

Namun seorang penangkap kepiting yang handal selalu tenang meskipun hasil buruannya selalu berusaha untuk meloloskan diri. Resepnya hanya satu, yaitu si pemburu tahu betul sifat dari kepiting.
Bila ada seekor kepiting yang hampir meloloskan diri keluar dari baskom, teman-temannya pasti akan menariknya lagi ke dasar. Jika ada lagi yang naik dengan cepat ke mulut baskom, lagi-lagi temannya akan menariknya turun! Dan begitu seterusnya sampai akhirnya tidak ada yang berhasil keluar.
Keesokan harinya sang pemburu tinggal merebus mereka semua & matilah sekawanan kepiting yang dengki itu satu sama lain.

Sahabat...
Begitu pula dalam kehidupan ini. Tanpa sadar manusia terkadang menjadi seperti kepiting-kepiting itu. Yang seharusnya sama-sama bergembira jika teman atau saudara kita mengalami kesuksesaan namun malah mencurigainya, jangan-jangan kesuksesan itu diraih dengan jalan yαήg tidak benar.

Apalagi di dalam bisnis atau hal lain yαήg mengandung unsur kompetisi, sifat iri, dengki atau munafik akan semakin nyata & kalau tidak segera kita sadari, tanpa sadar itu sudah membunuh diri sendiri.

Jangan sampai sifat kepiting tersebut ada di dalam kehidupan :
- Keluarga,
- Antar kakak adik
- Pekerjaan dan sesama rekan kerja
- Pelayanan
- Berbangsa & bernegara

Seharusnya kepiting-kepitingitu tolong-menolong keluar dari baskom, sebab dibutuhkan jiwa yang besar untuk melakukannya.

Demikian hidup makin berarti & makin indah kalau satu sama lain saling mendukung.

Hendaklah kita saling membantu menanggung beban orang, supaya ϑengαή demikian kita mentaati perintah Tuhan.
loading...

Wednesday, October 24, 2018

Menangislah... Orang Yang Bisa Menangis Itu Sungguh Beruntung.

Saudaraku... Menangis itu bukan tanda kelemahan. Menangis itu tanda kelembutan hati dan kasih sayang.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal." (QS. Al-Anfal: 2)

وَإِذَا سَمِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَى الرَّسُولِ تَرَىٰ أَعْيُنَهُمْ تَفِيضُ مِنَ الدَّمْعِ مِمَّا عَرَفُوا مِنَ الْحَقِّ ۖ يَقُولُونَ رَبَّنَا آمَنَّا فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ

"Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi." (QS. Al Ma'idah: 83)

Tidak mau menangis itu tanda keras hati. Tanda bahwa Syaitan sudah berhasil menyusupkan penyakit ujub dan sombong ke dalam diri kita.

Ketika kita sudah sulit atau bahkan tidak bisa lagi menangis saat melihat atau mendengar sesuatu yang menyentuh, maka ber-istighfar-lah dan mohon ampun kepada ALLAH subhanahu wa ta'ala, dosa apa yang sudah kita lakukan sampai tidak lagi memiliki kemampuan untuk menangis.

Jika kita menganggap menangis itu tanda orang cengeng sehingga tidak mau melakukannya. Maka jangan menyesal jika di hari akhir kita harus menangis darah untuk memohon pengampunan-NYA.

Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhu telah melihat keuntungan jual beli ini, dia berkata, ”Sesunggunya, aku menangis karena takut kepada Allah, ini lebih aku cintai dari pada bersedekah sebanyak seribu dinar.”

Mari kembali belajar menangis sebagaimana kita pertama kali dilahirkan ke dunia ini.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu Rasulullah shallallahu 'alayhi wa sallam bersabda:

عَيْنَانِ لاَ تَمَسُّهُمَا النَّارُ عَيْنٌ بَكَتْ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَعَيْنٌ بَاتَتْ تَحْرُسُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ

“Dua mata yang tidak akan tersentuh oleh api neraka yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang bermalam (begadang) untuk berjaga-jaga (dari serangan musuh) ketika berperang di jalan Allah.” (HR. Tirmidzi)

Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Menangis itu dibagi menjadi sepuluh bagian, yang satu bagian karena Allah dan yang sembilan bagian semuanya karena riya’. Jika yang satu bagian itu terjadi setahun sekali, insya Allah dia akan selamat dari neraka.”

Mari melatih mata ini untuk meneteskan air tanda kesedihan dan pengharapan ketika berdzikir, membaca Al Qur'an, atau mengingat dosa serta kesalahan. Insyaa ALLAH Penuh Berkah.

Sumber tulisan:
FB Ust. Muhammad A.
loading...

Tuesday, October 23, 2018

[Artikel] Menikmati Kelelahan Dalam Kehidupan Perkawinan

Rutinitas hidup berumah tangga bisa menyebabkan rasa jenuh dan lelah.

Sebagaimana dalam semua kegiatan hidup lainnya, berumah tangga juga bisa mengalami rasa kelelahan. Suami dan istri merasa lelah, sehingga mudah menimbulkan sejumlah komplikasi dalam hidup mereka.

Semacam rasa bosan yang kadang menghinggapi orang yang setiap hari mengkonsumsi nasi, lalu ia pengen ada variasi dengan mengkonsumsi roti atau singkong. “Lelah makan nasi”, kira-kira begitu ungkapannya.

Ungkapan kelelahan biasa kami dengarkan di ruang konseling, sebagai ekspresi atas kekecewaan terhadap pasangan dan akumulasi masalah dalam waktu yang panjang.

Suami dan istri yang menghadapi konflik dan tidak mampu menyelesaikan, atau mengalami kekecewaan yang tidak bisa terobati; atau sengaja menumpuk konflik tanpa diselesaikan, berakibat menimbulkan tumpukan rasa berat dan tertekan pada perasaan.

Akumulasi perasaan tertekan dalam waktu lama inilah yang menimbulkan kelelahan.

1. Kembalikan pada motivasi ibadah

Jika menikah adalah ibadah, kelelahannya membawa berkah. Seperti saat naik haji dengan berbagai kegiatan yang berat, namun semua terasa nikmat.

2. Kembalikan kepada visi

Jika visi hidup berumah tangga adalah ingin menggapai surga, maka jalan menuju surga memang tidak mudah. Wajar jika terasa lelah. Namun akhirnya sangat indah.

3. Mudahkan, simpelkan, jangan dirumitkan

Hidup berumah tangga itu rumit, jika kita rumitkan. Hidup berumah tangga itu mudah, jika kita mudahkan. Hidup berumah tangga itu sumpel, jika kita simpelkan.

Maka biarlah jiwa kita bisa merasakan nikmatnya kelelahan dalam kehidupan pernikahan. Karena *lelah itupun indah. Selama di jalan Allah*.

***
Sumber: Tulisan Ust. Cahyadi T.
loading...

Monday, October 22, 2018

[DOWNLOAD] Kitab Al-Arba'un Al-Buldaniyyah ... Dan Mutiara Sanad Hadits 'Cinta Bangsa'

Banyak ulama yang menyusun kitab ‘al-Arba’un’, kitab yang berisi empat puluh hadis Nabi. Namun tidak begitu banyak di antara ulama -khusunya muta'akhkhirin- yang mampu menyusun kitab jenis ‘al-Arba’un al-Buldaniyyah.

Selain menghimpun empat puluh matan hadis yang berbeda, kitab “al-Arba’un al-Buldaniyyah” menyaratkan empat puluh hadis tersebut diperoleh langsung dari empat puluh guru yang berbeda dan masing-masing guru tersebut berada di/berasal dari empat puluh daerah (balad) yang juga berbeda. Bukan hal mudah untuk menemui banyak guru di empat puluh daerah yang berbeda, kemudian mendapatkan hadis yang berbeda-beda beserta sanad yang menyambung hingga Rasulullah –shalallahu ‘alaihi wasallam-.

Syaikh Muhammad Yasin bin ‘Isa al-Fadani (1335-1410H/1915-1990 M.) merupakan salah satu ulama yang mendapat anugrah besar ini. Di antara kitab ‘al-Arba’un’ yang beliau susun, salah satunya adalah “al-Arba’un al-Buldaniyyah: Arba’un Haditsan ‘an Arba’ina Syaikhan min Arba’ina Baladan”. Karya ini menjadi bukti ketelatenan dan keuletan beliau dalam melakukan ‘rihlah’ mengunjungi berbagai daerah –bukan untuk menikmati keindahan alam atau destinasi-, namun untuk mendengarkan langsung hadis-hadis Nabi dari lisan mulia para pewarisnya yang tinggal di berbagai negeri. [Link download kitab ini ada pada bagian akhir tulisan ini]

[Sebelum Syaikh al-Fadani, telah ada beberapa ulama yang juga menulis kitab dengan judul yang sama, misalnya Al-Hafizh Ibnu 'Asakir (w. 571 H) yang juga menulis kitab al-Arba'un al-Buldaniyyah.]

Kembali ke kitab Syaikh Al-Fadani, dari empat puluh ulama yang dijumpai dan disebut Syaikh Yasin dalam kitab “al-Arba’un al-Buldaniyyah”, dua belas di antaranya berasal dari daerah-daerah di Nusantara. Yaitu (1) Palembang; (2) Jakarta; (3) Tangerang; (4) Serang Banten; (5) Semarang; (6) Lasem; (7) Surabaya; (8) Jombang; (9) Jember; (10) Malang; (11) Purbolinggo; dan (12) Johor Malaysia. Di daerah-daerah ini Syaikh Yasin menemui para ulama untuk mendapatkan hadis dan menyambung sanad hingga Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam-

Salah satu hadis yang menarik dalam kitab tersebut adalah hadis ke 36. Hadis ini diriwayatkan oleh seorang tabi’in perempuan yang tinggal di Damaskus bernama Fusailah. Beliau pernah mendapat cerita dari ayahnya yang bernama Watsilah ibn al-Asqa’ –radliyallahu ‘anhu- tentang sebuah kenangan indah saat ayahnya tinggal di Madinah berjumpa Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam-. Dikisahkan sahabat Watsilah bertanya kepada Rasulullah:

يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمِنْ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُحِبَّ الرَّجُلُ قَوْمَهُ؟

“Wahai Rasulallah, apakah termasuk ‘ashobiyyah (fanatisme jahiliyah yang dilarang) jika seseorang mencintai kaumnya?”

Nabi menjawab:

لَا

“Tidak”. Lalu Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wasallam- melanjutkan,

وَلَكِنْ مِنْ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُعِينَ الرَّجُلُ قَوْمَهُ عَلَى الظُّلْمِ

“Yang termasuk ‘ashobiyyah adalah jika seseorang menolong kaumnya berbuat kezhaliman.”

Ikatan sedarah-seketurunan merupakan faktor pembentuk utama sistem sosial bangsa Arab pada masa Nabi. Komunitas yang tinggal di satu tempat dapat dipastikan berasal dari satu kabilah yang seketurunan. Orang-orang Yahudi di Madinah, tidak berkumpul di satu tempat atas dasar agama, melainkan berdasarkan keturunan. Bani Qainuqa berkerumun tinggal di tengah kota Madinah. Sementara keturunan Bani Nadhir dan Bani Quraizhah membangun komunitas di selatan Madinah. Begitu juga dengan penduduk asli Madinah suku Aus dan Khazraj, yang kemudian banyak yang masuk Islam. Di Makkah keadaanya juga tidak jauh berbeda. Bani Bakr, Bani Taghlib, Quraisy, Kinanah, Ghathfan, Hawazin merupakan nama-nama kabilah yang membentuk komunitas-komunitas ekslusif di daerah Makkah dan sekitarnya waktu itu. Masa itu sulit dibayangkan seseorang dari satu kabilah membangun kehidupan keluarga di tengah-tengah kabilah lain.

Unsur pengikat antar anggota kabilah adalah ‘ashabiyyah, fanatisme terhadap komunitas. Merasa sedarah dan bernasab sama. Semangat ini menumbuhkan kecintaan dan solidaritas yang kuat antar sesama anggota kabilah. Tolong-menolong dan bahu membahu menjadi tradisi yang mengakar di dalam satu kabilah. Namun di sisi lain ‘ashobiyyah menimbulkan problem relasi antar kabilah. ‘Ashobiyyah yang berlebih memicu berkembangnya narasi kebencian antar kabilah. Sebagian diekspresikan melalui syair-syair haja’, sebagian lain melalui cemoohan dan ejekan harian. Permasalahan sepele antar kabilah dapat menjadi pemicu konflik bahkan berakhir dengan pertumpahan darah. Perang al-Basus antara kabilah Bakr dan Taghlib berawal hanya karena seekor unta milik warga Bani Bakr terbunuh. Perang yang mengoyak ketenangan dan ketentraman ini berkecamuk lama hingga empat puluh tahun.

Watsilah ibn al-Asqa’ pernah merasakan kehidupan seperti itu. Kehidupan yang penuh kebanggan terhadap kelompoknya, plus cibiran dan kebencian terhadap komunitas lainnya. Tahun 9 hijriah saat Nabi hendak ke Tabuk, Watsilah datang dan menyatakan masuk Islam. Dalam naungan ukhuwwah Islamiyyah, sahabat yang berasal dari kabilah Kinanah ini merenung apakah setelah menjalin ikatan dengan Islam, ikatan terhadap suku dan kabilah harus dilepas? Ia merasa menghapus rasa cinta dan bangga terhadap komunitasnya adalah bukan perkara mudah. Dia pun memutuskan untuk bertanya kepada Nabi, “Apakah termasuk ‘ashobiyyah (fanatisme jahiliyah yang dilarang) jika seseorang mencintai kaumnya?” Dengan tegas Nabi pun menjawab, “Tidak”

Cinta kepada suku atau kabilah tempat di mana seseorang dibesarkan adalah fitrah; kecenderungan orisinil yang ada pada diri setiap manusia. Cinta seperti ini adalah cinta anugrah ilahi. Namun kecintaan itu menjadi terlarang apabila melewati batas proporsinya; mendorong timbulnya kebencian kepada pihak lain, memicu konflik dan pertumpahan darah. Yang terakhir inilah ‘ashobiyyah jahiliyyah yang dilarang.

- II -

Hadis di atas diriwayatkan Syaikh Yasin dengan sanad yang terdiri dari dua puluh tujuh perawi yang menyambung hingga Rasulullah-shalallahu ‘alaihi wa sallam-. Di balik rangkaian sanad tersebut tersimpan kisah sejarah. Mengamati perjalanan transimisi hadis ini melalui rangkaian sanad dari satu generasi ke generasi sangatlah menarik. Penyebaran hadis tersebut selama empat belas abad hijriah ternyata tidak hanya berkutat di Madinah dan Makkah saja, tempat awal Nabi menyampaikannya. Hadis ini menyebar ke beberapa negeri, dan setidaknya ada enam daerah penting yang dilalui jalur penyebaran hadis ini.

Yang pertama adalah kota suci Madinah tempat perjumpaan Watsilah dengan Rasulullah -shalallahu ‘alaihi wa salllam-. Watsilah membersamai Nabi di Madinah tidak lebih dari tiga tahun. Sepeninggal Nabi, Watsilah memutuskan untuk menuju Syam dan tinggal di sana. Kenangan indahnya bersama Nabi di Madinah kemudian ia ceritakan kepada putrinya bernama Fusailah yang berdomisili di kota Damaskus. Kota besar pusat pemerintahan Umawiyyah masa itu. Di daerah ini hadis tersebut kemudian diriwayatkan kepada generasi berikutnya, ‘Abbad Ibn Katsir (w. 171) yang juga berasal dari Syam tepatnya dari Palestina.

Daerah ketiga yang menjadi jalur perlintasan periwayatan hadis ini adalah Iraq dan sekitarnya. Kota tua yang penuh sejarah yang dikuasai umat Islam pada masa ‘Umar Ibn al-Khaththab. Pindahnya periwayatan dari Damaskus ke Iraq terjadi setelah Ziyad ibn al-Rabi’ al-Bashri (w 185) pergi ke Damaskus dan kemudian memboyong periwayatan hadis tersebut untuk disebarkan di daerah asalnya, Bashrah. Dari kota Bashrah ini hadis tersebut kemudian teriwayatkan di kota Baghdad melalui Imam Ahmad Ibn Hanbal (164-241), putranya yang bernama ‘Abdullah (213-290), Abu Bakr al-Qathi’i (273 - 368), Ibn al-Mazhab (355-444) dan terakhir Hibatullah al-Syaibani (432-525).

Setelah empat abad berada di sekitar Iraq, hadis yang mengisahkan dialog antara Nabi dan sahabat Watsilah ini kemudian kembali lagi ke Syam pada abad ke enam hijriah. Ceritanya adalah saat Hanbal al-Rashafi (510-604) –seorang ‘alim Baghdad yang namanya merupakan pemberian Syaikh ‘Abdul-Qadil al-Jilani- pergi ke Damaskus. Di sana beliau disambut dengan baik. Banyak ulama Syam yang menemuinya untuk mendengarkan hadis-hadis yang ia riwayatkan. Di antara yang beruntung menemuinya adalah seorang perempuan ahli ibadah dan ahli hadis bernama Zainab binti Makki al-Harraniyyah (w. 688). Waktu itu Syaikhah Zainab masih sangat kecil belum lewat sebelas tahun. Dari perempuan ‘musnidah’ ini lah akhirnya hadis ini kembali beredar di Syam tepatnya di kota Damaskus. Di kota ini pada tahap berikutnya, Ahmad Ibn Muhammad al-Jaukhi (lahir 683) menjadi orang yang amat beruntung. Di saat masih kecil belum lewat tujuh tahun, ia mendapat anugrah kesempatan berjumpa Syaikhah Zainab yang usianya sudah senja. Ia mendapatkan ijazah periwayatan hadis tersebut dan akhirnya ia pun menjadi penerus silsilah sanad hadis ini di Damaskus.

Tradisi yang menarik, anak-anak pada generasi terdahulu, dibimbing orang tuanya untuk belajar, mendengarkan hadis dan mendapatkan ijazah dari guru-guru, meskipun usianya masih sangat belia. ‘Tahammul hadis’ (mendapatkan periwayatan hadis) memang tidak disyaratkan usia dewasa. Bukankah Sayyidina Husain yang masih kecil sering mendengar ucapan dan melihat datuknya, kemudian setelah dewasa beliau menceritakan dan meriwayatkannya?

Kota berikutnya yang mendapat berkah menjadi jalur perjalanan transmisi hadis ini adalah Mesir. Pada abad ke delapan hijriah seorang alim Mesir al-‘Izz ‘Abdurrahim Ibn al-Furat (735-807) bertekad melangkahkan kaki melakukan perjalanan thalabul-ilmi ke Damaskus. Ia sengaja ingin berjumpa dengan al-Jaukhi –seorang ‘alim yang terkenal di Damaskus waktu itu. Ia pun belajar kepadanya dan mendapat ijazah periwayatan hadis ini, kemudian membawanya dengan penuh kegembiraan ke negeri kelahirannya, Mesir. Hadis yang penuh berkah itupun akhirnya mengalir di Mesir seperti mengalirnya sungai Nil yang penuh keberkahan. Periwayatan hadis cinta bangsa di kota ini berlangsung cukup lama hingga enam abad, melalui sebelas ulama kesohor pada setiap generasi sampai abad ketiga belas hijriah. Di mulai dari Syaikh Ibn al-Furat yang membawa hadis ini dari Syam, kemudian Imam al-Suyuthi (w. 911), Yusuf al-Armiyuni (w. 958), Ibn Hajar al-Haitami (909-973), ‘Ali al-Ziyadi (w. 1024), Ali al-Halabi yang wafat di Mesir 1044 H, Ali Syubra-Malisi (997-1087), al-Budairi (w. 1140), Syaikhul-Azhar ke-8 Syaikh Muhammad Salim al-Hifni (w. 1181) dan terakhir Syaikhul-Azhar ke 12 Syaikh ‘Abdullah al-Syarqawi (w.1227) yang hidup saat Mesir diekspansi oleh Prancis.

Waktupun terus berjalan, di abad ketiga belas hijriah periwayatan resmi hadis ini kemudian berpindah ke kota Makkah. Syaikh Utsman al-Dimyathi (1196-1265) –seorang alim Mesir- murid dari Syaikh al-Syarqawi meninggalkan tanah kelahirannya dan melakukan perjalanan menuju Makkah al-Mukarramah. Di kota suci ini beliau memutuskan untuk menghabiskan sisa umurnya dan akhirnya wafat di sana. Kota Makkah menjadi daerah kelima, setelah Madinah, Syam, Iraq dan Mesir yang menjadi tempat perlintasan penyebaran hadis Nabi ini. Di kota yang menjadi saksi parahnya ‘‘ashabiyyah jahiliyyah” pada masa Nabi dulu, Syaikh Utsman al-Dimyathi yang berasal dari Mesir mengijazahkan hadis cinta bangsa tersebut kepada muridnya bernama Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (1231-1304) yang memang lahir di Makkah. Mufti Syafi’iyyah di Makkah ini kemudian meriwayatkan kepada muridnya bernama Sayyid Abu Bakr Muhammad Syatha (1226-1310), seorang ‘alim bermazhab Syafi’i pengarang kitab I’anah al-Thalibin dan menjadi rujukan utama para pelajar dari berbagai negara yang menuntut ilmu di Makkah masa itu.

Sungguh beruntung daerah di timur jauh belahan bumi yang bernama Indonesia, memiliki seorang ‘alim bernama Syaikh Mahfuzh al-Tarmasi (1285-1338) yang waktu itu bertekad mengarungi samudera menuntut ilmu ke Makkah, dan berguru kepada Sayyid Abu Bakr Syatha. Bahkan ia menjadi murid kinasihnya, belajar banyak ilmu kepadanya dan akhirnya hadis yang mengisahkan dialog tentang ‘Cinta Bangsa’ ini keberkahannya juga mengalir ke bumi Nusantara. Dari Syaikh Mahfuzh ini-lah kemudian hadis tersebut diijazahkan kepada murid mulia beliau Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari (1282-1369), tokoh penting dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia dan juga pendiri Nahdlatul Ulama.

K.H. Hasyim Asy’ari dari Jombang inilah yang memberi silsilah sanad hadis ‘Cinta Bangsa’ kepada Syaikh Yasin (1335-1410) saat berkunjung ke Indonesia dan kemudian beliau abadikan dalam kitabnya yang berjudul ‘al-Arba’un al-Buldaniyyah’ pada urutan hadis yang ke 36.

- III-

Petuah Nabi yang bermula di Madinah ini laksana air sejuk mengaliri kehidupan umatnya dari generasi ke generasi, berkelok mengguyurkan berkah ke berbagai negeri; ke utara di Damaskus, dan Baghdad, lalu ke arah barat menuju Mesir, mengalir lagi ke timur menuju Makkah dan akhirnya sampai ke timur jauh, yaitu negeri tercinta ini, Indonesia.

Hadis ini membawa pesan kuat bahwa ‘cinta bangsa adalah fitrah manusia’. Mungkin unsur pengikat komunitas sudah mengalami perubahan, tidak lagi sama seperti pada masa Nabi. Ikatan kabilah bisa jadi sudah bergeser berganti pada ikatan bangsa dan negeri. Namun pesan hadis tetap sama, bahwa cinta bangsa bukanlah ‘ashobiyyah yang tercela dan tidak pula bertentangan dengan agama. Cinta tersebut menjadi nista jika bergerak menjadi nafsu-angkara, saling hina dan saling mencela.

Tidak terlalu sulit untuk membayangkan bahwa ulama-ulama yang tertulis namanya dalam rangkaian sanad panjang tersebut adalah orang-orang yang mencintai negerinya. Syaikh ‘Abdullah al-Syarqawi (w.1227) pengarang “Hasyiyah al-Syarqawi ‘ala Syarh al-Tahrir” adalah contoh konkritnya. Sewaktu menjabat syaikh al-Azhar, beliau bersikap tegas terhadap siapapun yang hendak mengoyak kedaulatan dan menjatuhkan martabat bangsa Mesir. Kesewenang-wenangan Prancis dan gabungan Utsmani-Inggris silih berganti beliau lawan dengan menggerakkan warga Mesir baik muslim maupun non-muslim di Jami’ al-Azhar. Sejarah mencatat dengan dramatis sikap tegas al-Syarqawi ‘membuang Syal kebesaran Prancis’ saat diletakkan dipundaknya oleh Napoleon Bonaparte. Sikap seperti ini merupakan wujud implementasi hadis yang ia riwayatkan, bahwa cinta negeri adalah fitrah ilahi dan membela harkat-martabat bangsa adalah titah nabawi.

Begitu juga dengan KH Hasyim Asy’ari. Fatwa Jihad yang beliau tetapkan pada 17 September 1945, kemudian disusul resolusi jihad 22 Oktober 1945 untuk melawan Sekutu merupakan wujud implementasi sunnah Nabi, untuk membela bangsa dari tirani dan juga wujud cinta bangsa dan negeri. Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan, cinta tanah air bukanlah ‘ashobiyah jahiliyyah’, cinta negeri adalah ‘sunnah nabawiyyah’.

___________________

Hadis yang tercantum dalam kitab ‘al-Arbaun al-Buldaninyyah’ ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal dalam al-Musnad. Dalam jalur sanad Imam Ahmad terdapat perawi bernama ‘Abbad ibn Katsir al-Syami, murid dari tabi’in perempuan bernama Fusailah. Oleh banyak ulama ‘Abbad dikategorikan perawi ‘dha’if’. Namun perlu diketahui ‘Abbad tidak sendirian meriwayatkan hadis ini dari Fusailah, ada perawi lain bernama Salamah ibn Bisyr al-Dimasyqi yang juga meriwayatkan dari Fusailah (sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud dalam al-Sunan dan al-Baihaqi dalam al-Sunan). Meskipun Salamah ibn Bisyr ini juga kualitasnya dha’if, namun dengan bergabungnya dua jalur sanad tersebut setidaknya jalur sanad ini mempunyai kualitas ‘hasan li ghairihi.

Hadis ini juga tercatat diriwayatkan oleh selain Watsilah, yaitu oleh Sahabat Anas ibn Malik (sebagaimana diinformasikan dalam Sunan al-Baihaqi dan juga Tarikh Dimasyq karya Ibn ‘Asakir), namun dalam sanadnya juga terdapat perawi yang kualitasnya ‘dha’if’. Redaksi hadis dalam Sunan al-Baihaqi berbunyi:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَمِنَ الْعَصَبِيَّةِ أَنْ يُعِينَ الرَّجُلُ قَوْمَهُ عَلَى الْحَقِّ؟ قَالَ صلى الله عليه وسلم: " لَا "

Sahabat Anas ibn Malik berkata, ada seseorang mendatangi Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah termasuk ‘ashobiyyah jika seseorang menolong kaumnya dalam perkara yang hak?” Nabi menjawab, “Tidak.”

Dengan adanya beberapa jalur sanad ini Ibnu Muflih al-Maqdisi (w. 763) dalam kitab ‘al-Adab al-Syar’iyyah’ juz 1, hlm 81 menyimpulkan bahwa hadis ini mempunyai kualitas hasan.

- Rahimahumullaah wa jazaahum ‘anaa khairan - 
- Wallahu a’lam bi al-shawaab- 
______
Sumber tulisan: Copas dari Ust. Arif

DOWNLOAD KITAB AL-ARBA'UN AL-BULDANIYYAH karangan Syaikh Yasin Al-Fadani
loading...

Sunday, October 21, 2018

Mengenal Metode Baghdadiyah dan Keunggulannya [Belajar Mengaji]

Bagi generasi Zaman dulu,selain kenangan indah tentang masa bermain, masa belajar juga memiliki memori indah tersendiri. Salah satunya adalah Belajar Mengaji (baik mengaji di masjid, surau, ataupun rumah).

Dulu untuk belajar membaca Alquran,metode yang sering digunakan oleh Ustad dan atau guru mengaji adalah metode Bahgdadiyah. Jauh sebelum bermunculan metode-metode baru yang menawarkan kemudahan membaca Al-Quran, rasanya belum ada yang menandingi metode Baghdadiyah ini.

Kitab belajar mengaji Baghdadiyah ini banyak di jual di pasar dengan harga yang sangat murah, hanya sekitar 5.000 rupiah saja! Itupun sudah dilengkapi dengan Juz 'Amma, yang menggambarkan bahwa kitab ini memang dirancang khas untuk kanak-kanak.

Bayangkan, harga sebungkus rokok saja sudah Rp. 20.000! Tapi masih banyak juga orangtua yang merasa berat membelikan kitab ini untuk anak mereka!

Penerbit kitab Baghdadiyah ini tidak perlu membayar royalti penulis, karena hingga saat ini belum diketahui siapa penemu dan penulis metode membaca Al-Qur'an yang penuh berkah ini!

Sesuai namanya, metode ini dikenal berasal dari Baghdad, Irak. Banyak sumber mengatakan, metode ini ada mulai zaman Daulah Abbasiyah, namun siapa yang menyusun metode ini belum ada sumber yang valid. Setiap huruf dieja dengan harakatnya. Alif fathah a, alif kasrah i, alif dhammah u, bacanya a-i-u.


Di Sumatera dan juga berbagai tempat di negeri Melayu, metode ini juga disebut belajar an in un. Di kawasan pesisir barat Sumatera, khususnya di ranah Minangkabau, terkenal ungkapan baduo di ate ban, baduo di bawah bin, baduo di dopan bun, dengan irama khas yang diajarkan oleh para guru kepada murid di Surau. (Maksudnya, huruf Ba dengan harakat dua di atas dibaca Ban... dst)

Di tanah Semenanjung (Malaya) dan Negeri Melayu pada umumnya, belajar metode ini biasa disebut sebagai Muqaddam (biasa juga disingkap Mukadam atau Kadam), yang berarti permulaan, karena memang kitab ini diperuntukkan bagi mereka yang mula-mula sekali belajar mengaji.

Sementara di tanah Jawa, ada yang menyebut metode ini dengan istilah Turutan. Ada yang menyebutnya Alifan, Quran Kecil, Juz Amma, dan masih banyak lagi penamaannya sesuai daerah masing-masing.

Metode Baghdadiyah ini sendiri selain dikenal sebagai metode Membaca Alquran Tertua, juga memiliki 5 Keunggulan,yaitu:

1. Pola Bacaan yang Unik
2. Penekanan Keterampilan Mengeja
3. Pengenalan Hitungan Arab
4. Santri Hapal Huruf Hijaiyyah
5. Penguatan Dasar Tajwid

Selain metode baghdadiyah, buku yang digunakan untuk belajar mengaji memiliki kesan tersendiri.
Satu hal lagi, kata orang tua dulu..jika anak itu lancar mengaji, maka dia akan pintar mencerna pelajaran di sekolah.
loading...

Friday, October 19, 2018

Suami Saya Susah Diajak Sholat, Apa Yang Harus Saya Lakukan?

Karena shalat adalah amalan yang pertama kali dihisab saat hari kiamat, tidak diragukan lagi bahwa hidup bersama dengan seorang suami yang tidak shalat adalah sebuah petaka dimana kemungkaran yang tidak diperbolehkan secara syar'i.

Ada pertanyaan dari seorang ikhwati muslimah,  bagaimana menyikapi suami yang malas shalat, sementara istrinya wanita muslimah yang taat dan bagaimana kedudukan ana sebagai istri selama bertahun-tahun menunggu tetapi tidak ada perubahan.?

Tidak diragukan lagi bahwa hidup bersama dengan seorang suami yang tidak shalat adalah sebuah petaka dimana kemungkaran yang tidak diperbolehkan secara syari, apalagi anda telah bersabar selama ini dalam masa yang panjang. Shalat memang perkara berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. Shalat adalah hubungan langsung antara seorang hamba dengan Rabb-nya. Shalat adalah amal yang pertama kali akan dihisab.

Shalat adalah timbangan yang dengannya kita bisa mengetahui agama dan kebaikan seseorang. Barangsiapa menjaganya, maka dia memiliki cahaya, bukti dan keselamatan pada hari kiamat. Dan barangsiapa tidak menjaganya maka dia tidak memiliki cahaya, bukti dan keselamatan pada hari kiamat, dan akan dikumpulkan bersama Fir’aun, Haman, Qorun dan Ubay ibn Khalaf.

Shalat adalah sebuah kewajiban yang tidak akan gugur dari seorang manusia selagi dia bernafas dan punya ingatan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepada ‘Imran ibn Husain radhiallahu ‘anhu artinya:

“Shalatlah dalam keadaan berdiri, jika anda tidak mampu maka dengan duduk, jika tidak mampu maka dengan (berbaring) di atas lambung.” (Al-Bukhari, 1006)

Beberapa perkara yang dapat membantu memperbaiki suami yang malas shalat. Di antara hal-hal tersebut adalah sebagai berikut:

1. Menyandarkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala

Tunduk kepada-Nya demi hidayah kepada laki-laki tersebut, dan yang benar adalah kita berdo’a untuk seseorang di waktu malam, dan mendakwahinya di waktu siang, sesuai dengan kadar keikhlasan dan kejujuran kita, maka kebaikan dan pengabulan akan datang.

2. Mengambil jalan masuk yang baik menasihatinya

Menyampaikan kata-kata yang indah, memilih waktu-waktu yang sesuai, dan sebutkanlah kebaikan-kebaikan serta sifat-sifatnya yang baik. Dan berusahalah membantunya untuk mempersiapkan kepercayaan dirinya dengan mengatakan, misalnya:

“Anda alhamdulillah adalah seorang yang baik, anda bertanggung jawab, dan manusia menyebutmu dengan kebaikan, dan akan sangat bagus lagi kalau anda konsisten mengerjakan shalat lima waktu. Karena sesungguhnya aku senang melihat suamiku keluar seperti laki-laki lain bersama keluarganya menuju rumah-rumah Allah.”

3. Minta Bantu Kerabat yang Shalih

Mendorong orang-orang shalih dari mahrammu untuk menziarahinya dan mengajaknya shalat tanpa dia merasa bahwa hal tersebut adalah sebuah kesepakatan di antara kalian. Dan lebih memilih waktu-waktu shalat dalam ziarah hingga dia bisa pergi ke masjid bersama mereka.

4. Memberikan buku tentang shalat

Membelikan buku-buku kecil yang menjelaskan hukum orang yang meninggalkan shalat, serta hukuman orang yang meremehkan pelaksanaan shalat pada waktunya, dan meletakkan buku-buku kecil tersebut pada tempat yang biasa dia jangkau dengan tangannya.

5. Mengajak shalat dengan cara yang santun

Berambisi agar dia konsisten dalam mengerjakan shalat lima waktu untuk pertama kalinya, kemudian mendakwahinya agar mendirikannya dengan kekhusyu’annya, rukuknya dan tumakninahnya. Hal yang demikian tidak akan terjadi kecuali dengan rutin mengerjakan shalat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya dengan berfirman artinya:

“Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” (QS Al-Mukminun: 9)

Dikarenakan rutin dan menjaga shalat akan menghantarkan kepada kekhusyukan, dan shalat tidak akan bermanfaat kecuali dengan khusyuk.

6. Mengajaknya ke Masjid

Jika rumah tidak jauh dari Masjid, ajaklah suami ke Masjid untuk shalat jama'ah.
Dengan adanya shalat berjama'ah hatinya akan tertarik untuk shalat.
Demikian pula ketika adzan sudah berkumandang,  ingatkan bahwa Allah SWT telah memanggil umatnya untuk shalat.

7. Menjelaskan bahayanya meninggalkan shalat tepat pada waktunya

Mush’ab ibn Sa’ad ibn Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu pernah berkata kepada bapaknya saat membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala artinya:

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,” (QS. Al-Ma’un: 5)

Dia berkata,

“Wahai bapakku, apakah mereka adalah orang-orang yang tidak shalat?” Maka berkatalah Sa’ad: “Tidak, seandainya mereka meninggalkan shalat, maka mereka telah kafir, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang mengakhirkan (menunda)nya dari waktunya.” (HR Al-Bazzar 1145, dan Thabarani dalam Al-Aushath 2276)

8. Memberikan warning

Menggunakan sarana-sarana dan senjata berpengaruh yang dimiliki oleh seorang wanita untuk memaksanya agar rutin mengerjakan shalat, seperti menolak makan bersamanya, duduk dengannya, serta menolak tidur di pembaringan, dan tidak ada larangan menyampaikan keinginan cerai jika dia tidak menjaga pelaksanaan shalat.

Perkara shalat ini bukan perkara kecil namun sangat penting, prihatin jika melihat suami dengan mudahnya melalaikan shalat.

Ini perkara surga dan neraka, dan ini perkara Allah tak sudi menolong kita dan anak-anak kita gegara selalu melalaikan shalat. Naudzubillahi mindzalik, semoga Allah memudahkan perjalanan hidup kita sampai ke jannahNya.
loading...

Thursday, October 18, 2018

[Kisah Inspiratif] Ikan Yang Takut Kehilangan Air

Alkisah pada suatu hari, seorang ayah dan anaknya sedang duduk berbincang-bincang di tepi sungai. Sang Ayah berkata kepada anaknya,

“Lihatlah anakku, air begitu penting dalam kehidupan ini, tanpa air kita semua akan mati.”

Pada saat yang bersamaan, seekor ikan kecil mendengar percakapan itu dari bawah permukaan air, ikan kecil itu mendadak gelisah dan ingin tahu apakah air itu, yang katanya begitu penting dalam kehidupan ini.

Ikan kecil itu berenang dari hulu sampai ke hilir sungai sambil bertanya kepada setiap ikan yang ditemuinya, “Hai tahukah kamu dimana tempat air berada? Aku telah mendengar percakapan manusia bahwa tanpa air kehidupan akan mati.”

Ternyata semua ikan yang telah ditanya tidak mengetahui dimana air itu, si ikan kecil itu semakin kebingungan, lalu ia berenang menuju mata air untuk bertemu dengan ikan sepuh yang bijak laksana. kepada ikan sepuh yang banyak pengalaman itu ikan kecil ini menanyakan hal yang sama,

“Dimanakah air?”

Ikan sepuh itu menjawab dengan bijak,

“Tak usah gelisah anakku, air itu telah mengelilingimu, sehingga kamu bahkan tidak menyadari kehadirannya. Memang benar, tanpa air kita semua akan mati.”

Manusia kadang-kadang mengalami situasi yang sama seperti ikan kecil, mencari kesana kemari tentang kehidupan dan kebahagiaan, padahal ia sedang menjalaninya, bahkan kebahagiaan sedang melingkupinya sampai-sampai ia sendiri tidak menyadarinya.
.
loading...

Wednesday, October 17, 2018

Penerapan Tingkat Tutur Dalam Bahasa Jawa

Bahasa Jawa adalah bahasa dengan penutur terbanyak di Indonesia, bahasa ini digunakan oleh suku jawa yang wilayahnya meliputi Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Selain itu bahasa jawa juga digunakan oleh sebagian penduduk di wilayah pesisir Karawang, Subang, Cirebon, Indramayu dan Banten, bahkan sampai ke luar negeri.

Tingkat tutur Bahasa Jawa dibagi menjadi dua yakni ngoko dan krama. Ngoko dibagi menjadi dua, yaitu ngoko lugu dan ngoko alus. sedangkan krama juga dibagi menjadi dua, yaitu krama lugu dan krama alus.

A. Ngoko Lugu
Ngoko lugu adalah ragam pemakaian bahasa jawa yang seluruh kalimatnya dibentuk dengan kosa kata ngoko (termasuk kosakata netral). Afiksnya (imbuhan) juga tetap menggunakan afiks ngoko. Ragam ini digunakan oleh peserta tutur yang mempunyai hubungan akrab dan tidak ada usaha saling menghormati.

Contoh :
Jaka mangan sate.
(Jaka  makan sate)

Iwan lagi adus.
(Iwan sedang mandi)

Ragam Ngoko lugu digunakan untuk :
1. Berkomunikasi dengan orang yang kedudukan atau statusnya lebih rendah.
2. Berkomunikasi yang sifatnya umum.

B. Ngoko Alus
Ngoko alus adalah ragam pemakaian bahasa jawa yang dasarnya adalah leksikon ngoko (termasuk leksikon netral), namun juga menggunakan leksikon krama inggil, dan atau krama andhap. Ragam ngoko alus digunakan oleh peserta tutur yang mempunyai hubungan akrab, tetapi diantara mereka ada usaha untuk saling menghormati (Hrdyanto dan Utami, 2001 : 47). Afiks yang digunakan adalah afiks ngoko, kecuali awalan kok-, dan akhiran -mu. Awalan kok- dan akhiran -mu diganti dengan kata panjenengan.

Contoh :
*Bapak mengko arep tindak karo sapa?
"Bapak nanti akan pergi dengan siapa?"
*Bapak dhahar bakso.
"Bapak makan bakso."

C. Krama Lugu
Krama Lugu adalah ragam pemakaian bahasa jawa yang seluruh kalimatnya dengan leksikon krama, afiksnya juga menggunakan bentuk krama, Krama lugu digunakan oleh peserta tutur yang belum atau tidak akrab, misalnya baru kenal. Kaidah pembentukan krama lugu sebagai berikut :
1. Leksikon ngoko yang memiliki padanan dalam leksikon krama, maka diubah menjadi leksikon krama, kecuali yang tidak memiliki leksikon krama, maka tetap menggunakan leksikon ngoko.
2. Leksikon ngoko yang berhubungan dengan diri pribadi seandainya memiliki padanan dalam leksikon krama maka diubah menjadi kramai.
3. Afiks ngoko diubah menjadi krama.
4. Leksikon yang berhubungan dengan hewan, tumbuh-tumbuhan yang memiliki leksikon krama diubah menjadi krama.
Contoh
*Sampeyan sampun nedha, Pak?
"Anda sudah makan, Pak?"

D. Krama Alus
Ragam krama alus adalah bentuk unggah - ungguh bahasa jawa yang semua kosakatanya terdiri atas leksikon krama, krama inggil dan krama andhap. Meskipun begitu yang menjadi leksikon inti adalah leksikon yang berbentuk krama. leksikon madya, dan ngoko tidak pernah muncul di dalam tingkat tutur krama alus. (Sasangka, 2004:111)

Hadiwijaya dan Supriya (2001: 98-104) menjelaskan tentang kaidah pembentukan ragam krama alus, sebagai berikut :

1. Leksikon ngoko yang memiliki padanan krama inggil maka diubah menjadi krama inggil , kecuali yang berhubungan dengan diri pribadi tetap menggunakan krama.
2. Apabila leksikon ngoko tidak memiliki padanan dalam leksikon krama inggil, tetapi hanya memiliki padanan dalam leksikon krama, maka diubah menjadi krama saja.
3. Apabila leksikon ngoko tidak memiliki padanan dalam leksikon krama inggil atau krama, maka yang dipakai adalah leksikon ngoko.
4. Semua afiks diubah menjadi krama. Misalnya di- menjadi dipun-. Akhiran e- menjadi -ipun.

Contoh :
Ibu sampun dhangan saking gerahipun.
(Ibu sudah sembuh dari sakitnya)
loading...

Tuesday, October 16, 2018

Ada Banyak Kebaikan dan Peristiwa Luar Biasa di Bulan Shafar, Jangan Lagi Percaya Kalau Bulan Shafar itu Bulan Sial

Bulan Shafar adalah salah satu dari dua belas bulan yang telah Allāh tetapkan dalam kitāb-Nya. Bulan tersebut tidak jauh beda dengan bulan-bulan yang lainnya, bahkan bisa kita katakan bahwa bulan-bulan tersebut sama.

Akan tetapi sebagian orang menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial (bulan terjadi banyak musibah dan tersebar banyak penyakit).

Padahal Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam telah bersabda:

اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ، اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ

"Anggapan sial merupakan kesyirikan, anggapan sial merupakan kesyirikan, anggapan sial merupakan kesyirikan."

(Hadīts shahīh riwayat Abū Dāwūd nomor 3915, dishahīhkan oleh Syaikh Al Albāniy rahimahullāh)

Dan Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) pernah memberikan nasehat khusus tentang bulan Shafar yang tercantum dalam hadīts Bukhāri nomor 5707.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

لاعَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ

"Tidak ada penyakit yang menular dengan sendirinya tanpa izin Allāh, tidak ada anggapan sial pada burung hantu tidak pula pada bulan Shafar."

Sehingga bisa kita simpulkan bahwa bulan Shafar bukanlah bulan sial dan seorang mukmin tidak boleh mempercayai hal itu. Dia juga tidak perlu takut untuk melakukan hal-hal penting pada bulan ini (Shafar), (seperti) perkawinan atau bepergian.

Karena bulan Shafar sama dengan bulan-bulan yang lainnya, tidak ada bulan naas tidak ada bulan sial.

Jika kita telisik lebih lanjut, tenyata banyak kejadian besar yang terjadi pada bulan Shafar ini. Di antara kejadian-kejadian tersebut adalah sebagai berikut:

⑴ Perang Abwā'

Ibnu Ishāq berkata:

"Pada bulan Shafar Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam keluar dari kota Madīnah setelah sebelas bulan keberadaan Beliau di sana.

Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) menuju Waddān, tepatnya tanggal 12 Shafar, untuk memerangi suku Quraisy dan Banī Damrah.

Kejadian itu dinamakan dengan perang Abwā'. Kemudian Beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) kembali ke Madīnah."

('Uyun Al Ātsār Juz 1 hal 259)

⑵ Penaklukan Khaibar

Ibnu Ishāq mengatakan:

"Penaklukan kota Khaibar terjadi pada bulan Shafar."

(Sirah Ibnu Hisyām Juz 2 hal 341)

⑶ 'Amr bin Āsh, Khālid bin Walīd dan Utsmān bin Thalhah radhiyallāhu ta'āla 'anhum masuk Islām. 

"Amr bin Āsh Khālid bin Walīd dan Utsmān bin Thalhah masuk Islām di negri Habasyah  yang dipimpin oleh Najāsyī, kemudian mereka ke Madīnah pada bulan Shafar tahun 8 Hijriyyah."

(Al Mu'jam Al Kabīr nomor 8394)

⑷  Hijrahnya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dari kota Mekkah menuju kota Madīnah. 

Ibnul Jauzi menukilkan riwayat dalam Shifāt Ash Shawfah bahwasanya:

"Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berangkat hijrah dari Mekkah pada bulan Shafar dan sampai di Madīnah pada bulan Rabi'ul Āwwal."

(Shifāt Ash Shawfah Juz 1 hal 50)

⑸ Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menikah dengan Khadījah radhiyallāhu ta'āla 'anhā

Ibnu Ishāq berkata :

"Pernikahan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dengan Khadījah terjadi pada akhir bulan Shafar, ketika Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam berumur sekitar 26 tahun."

(Subul Al Hudā wa Ar Rasyād Juz 2 hal 165)

⑹ Pernikahan Āli dan Fāthimah radhiyallāhu ta'āla 'anhumā. 

Berkata Ibnu Katsīr:

"Adapun Fāthimah, beliau dinikahi oleh anak pamannya yang bernama Āli bin Abū Thālib, pada bulan Shafar tahun kedua Hijriyah."

(Kitāb Sirah Nabawiyah Juz 4 hal 61)

⑺ Pemberangkatan pasukan melawan Romawi

"Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam memberangkatkan pasukan Usamāh Bin Zaid untuk melawan Romawi empat hari sebelum bulan Shafar berakhir." (Al Muqtafa min Shirah Al Mushthafa hal 236)

Dari kejadian (peristiwa) ini semua, menunjukan bahwa bulan Shafar bukanlah bulan sial.

Walaupun demikian, bukan berarti pada bulan Shafar, tidak pernah terjadi musibah atau malapetaka. Akan tetapi kita tidak boleh meyakini bahwasanya bulan shafar adalah bulan sial.

Wallāhu A'lam bishshawāb.

loading...

Friday, October 12, 2018

Mengenal 7 Jenis Maqam [Langgam] Irama Tilawah Al-Qur'an

Lagu atau langgam al-Quran adalah alunan intonasi atau membaca yang disuarakan dalam keindahan raga nada, variasi serta ipmrovisasi selaras dengan pesan-pesan yang diungkapkan oleh ayat-ayat yang dibaca.

Adapun 7 Macam Lagu dalam seni membaca al-quran yang disuarakan dalam bacaan kitab suci al-Quran harus tunduk dan sesuai serta mengikuti kaidah-kaidah tartil yang tertuang dalam disiplin ilmu tajwid serta makhrojul huruf yang benar.

Lagu-lagu al-Quran semakin berkembang dan terus berjalan selain sebagai cara ibadah dan juga da'wah dan syi'ar. Dengan lantunan keindahan bacaan Al-qur'an yang dilantunkan akan mampu menggetarkan kerasnya hati siapapun yang mendengarkannya.

A. SEKILAS PERANAN TAUSYIH

Tausyih dalam pembelajaran tilawah hanyalah sebatas acuan acoustics (pengetahuan penyuaraan) dari lagu-lagu  arabi, bukan batasan-batasan nada variasi maupun improvisasi yang mengikat.  Nada-nada yang ada dalam tausyih atau bait-bait syair  dalam  gerakan-gerakannya seperti gerakan holpen suara.

Yakni gerakan dalam frekuensi sekali atau dua kali, maupun triller suara yakni gerakan suara dalam frekuensi tiga atau empat kali gerakan tetap toleransi terhadap potensi gerakan suara pembaca.

Demikian pula  nada-nada tinggi, sedang dan rendah yang relative panjang dalam kalimat-kalimat pada bait-bait syair juga tetap toleransi pada saat diterapkan pada ayat-ayat al-Quran sesuai kebutuhan yang dituntut oleh pembaca terutama dalam konteks lirik-lirik lagu untuk suatu ayat. 

B. TAUSYIH 7 MAQAM TILAWAH

Setiap maqam, mulai dari awal maqam variasi-variasinya sampai nada jawabul jawab dikemas melalui bait-bait syair/tausyih yang ada pada tausyih yang dijadikan sebagai patokan dasar dan rambu-rambu yang memberikan  gambaran tentang apa, bagaimana dan betapa variasi maqom yang di lantunkan.

Adapun 7 Maqom Tilawah Seni Baca al-Quran

Lagu-lagu tersebut dikemas dalam sejumlah Tausyih untuk mempermudah dalam mempelajarinya, macam-macam lagu tersebut diatas yaitu: Bayyati, Shoba, Nahawand, Hijaz, Rost, Sika dan Jiharka. Sekilas dengan uraiannya berikut:

1. BAYYATI

Dalam tradisi melagukan al-Quran menempatkan maqom bayyati sebagai lagu pertama. Adapun Lagu maqom Bayyati memiliki 4 tingkatan nada yaitu :

    • Qoror (Dasar)
    • Nawa (Menengah)
    • Jawab (Tinggi)
    • Jawabul Jawab (Tertinggi)
  
    
Selain variasi diatas, terdapat variasi khusus pada Bayyati, yaitu Husaini dan Syuri.


2. SHOBA

Maqom ( lagu ) Shoba memiliki 4 tingkatan/variasi nada :

    • Awal Maqom Shoba
    • Asyiron (nawa)
    • Ajami (jawab)
    • Quflah Bustanjar




3. NAHAWAND

Tingkatan/variasi nada pada Maqom ( lagu ) Nahawand:

    • Awal Maqom Nahawand
    • Nawa
    • Jawab
    • Quflah Mahur






4. HIJAZ

Tingkatan/variasi nada pada Maqom ( lagu )  Hijaz:

    • Awal Maqom
    • Hijaz Kar
    • Hijaz Karkur
    • Alwan Hijaz




5. ROST

tingkatan/variasi nada pada Maqom ( lagu )  Rost:

    • Awal Maqom Rost
    • Nawa
    • Jawab
    • Kuflah Zinjiron
    • Syabir Alarrost
    • Alwan Rost




6. SIKA

 Tingkatan/variasi nada pada Maqom ( lagu )  Sika:

    • Awal Maqom
    • Iraqi (nawa)
    • Turki (jawab)
    • Variasi Raml




7. JIHARKA

 Tingkatan/variasi nada pada Maqom ( lagu )  Jiharka:

    • Awal Maqom
    • Nawa
    • Jawab




Download Full Tausyih doc
loading...