Thursday, December 7, 2017

Hukum Bersikap Sombong Kepada Orang Yang Sombong

Kesombongan merupakan perbuatan yang amat tercela dalam Islam. Bahkan, Rasulullah Saw dalam sebuah haditnya mengatakan:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
"Tidak akan masuk Surga seseorang yang di dalam hatinya ada kesombongan walau sebesar atom".  (HR Muslim, Ahmad dan Tirmidzi)

Namun, dalam sebuah atsar perkataan ulama ada disebutkan: Dalam sebuah haditsTeks kalimatnya adalah,

التكبر على المتكبر صدقة

Bersikap sombong kepada orang yang sombong adalah sedekah.”

Atau dalam redaksi yang lain dikatakan:

التكبر على المتكبر حسنة

Bersikap sombong kepada orang yang sombong adalah perbuatan baik.”

Lantas apa sebenarnya maksud dari perkataan ini? Dan bagaimana sebenarnya hukum sombong kepada orang yang sombong menurut para Ulama?

Penting diingat, bahwa perkataan dia tas bukanlah hadis, melainkan hanya perkataan manusia yang memang banyak tersebar di masyarakat, sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Ajluni dalam kitabnya, Kasyful Khafa, dengan menukil keterangan dari Al-Qari. Kemudian, Al-Qari mengatakan, “Hanya saja, maknanya sesuai dengan keterangan beberapa ulama.”

Penulis kitab Bariqah Mahmudiyah mejelaskan,
“Bersikap sombong kepada orang yang sombong adalah sedekah, karena jika kita bersikap tawadhu di hadapan orang sombong maka itu akan menyebabkan dirinya terus-menerus berada dalam kesesatan. Namun, jika kita bersikap sombong maka dia akan sadar. Ini sesuai dengan nasihat Imam Syafi’i, ‘Bersikaplah sombong kepada orang sombong sebanyak dua kali.’ 
Imam Az-Zuhri mengatakan, ‘Bersikap sombong kepada pecinta dunia merupakan bagian ikatan Islam yang kokoh.’

Imam Yahya bin Mu’adz mengatakan, ‘Bersikap sombong kepada orang yang bersikap sombong kepadamu, dengan hartanya, adalah termasuk bentuk ketawadhuan.'”

Sementara, ulama yang lain mengatakan, “Terkadang bersikap sombong kepada orang yang sombong, bukan untuk membanggakan diri, termasuk perbuatan terpuji. Seperti, bersikap sombong kepada orang yang kaya atau orang bodoh (yang sombong).”

Tapi perlu diingat, kesombongan yang dimaksud dalam hal ini adalah bersikap sombong dengan anggota tubuh, yaitu dengan  dengan niat untuk memberikan pelajaran agar orang sombong tersebut sadar akan kesombongannya, dan di dalam hati tetap meyakini bahwa di sisi Allah bisa jadi orang tersebut lebih mulia darinya.  Misalnya saja ada orang kaya yang sombong, maka sudah seharusnya kita juga menjaga kemuliaan diri dengan tidak merendah di hadapannya, tidak meminta-minta kepadanya, mengacuhkannya dan tidak menunjukakn seakan-akan kita butuh kepadanya. Begitupun juga orang yang sombong dengan kepintarannya, kekuatannya dan sebagainya. Pada hakikatnya sikap seperti itu bukanlah kesombongan jika hati tidak sombong dan dengan niat untuk menasihati.  Ia merupakan sebuah strategi dakwah agar orang sombong tersebut sadar.

Dalam pepatah melayu diajarkan bagaimana bersikap kepada orang yang sombong dengan kelebihan yang ia miliki. sebagaiman terungkap dalam pameo:

"Kalau engkau kaya, kayalah sendiri, kami tidak akan meminta..
Kalau engkau kuat, kuatlah sendiri, kami tidak akan berlindung.
Kalau engkau pintar, pintarlah sendiri, kami tidak akan bertanya"

Perkataan Imam Ali bin Abi Thalib yang bermakna:
Sombong kepada orang yang sombong, itulah tawadhu yang sebenarnya
Terkait kesombongan ini, kita teringat kisah tentang Syaikh Al-Mahalli. Disebutkan bahwa Syeikh Al-Mahalli setiap kali berada di hadapan murid-muridnya, beliau memerintahkan mereka untuk mempelajari materi yang akan dibahas dan kemudian beliau meninggalkan mereka.  Tak lama setelah itu beliau kembali menemui mereka dan menjelaskan materi yang mereka pelajari.

Melihat hal ini, salah seorang muridnya yang cerdas berkata,

“Sang Syeikh (guru) selalu bergegas meninggalkan kami di awal pelajaran pasti karena sebuah urusan penting.”

Ketika Syeikh Mahalli meninggalkan mereka seperti biasanya, murid itu  pun membuntutinya. Ternyata ia mendapati Syeikh Mahalli memikul geriba berisi air dan memberikannya kepada para wanita tua yang lemah dan tak mampu mengambil air sendiri.

Melihat hal ini sang murid berkata kepadanya,

“Mengapa engkau meninggalkan kami di awal pelajaran dan melakukan semua ini?”

“Sesungguhnya dalam diri seorang guru (pengajar) terdapat perasaan mulia, dan bahaya serta bisikan buruk yang terlintas saat mengajar sangat banyak.  Sebagaimana kamu lihat, sesungguhnya aku hanyalah seorang penimba dan pengangkut air.  Dengan cara seperti inilah aku dapat mematahkan perasaan mulia yang ada dalam hatiku.  Dan tugas mengambil air inilah yang kuharapkan pahalanya di sisi Allah,” jawab Syeikh Mahalli.

Allahu a’lam.

loading...

0 komentar:

Post a Comment

Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih