Tuesday, December 2, 2014

Kisah Kebesaran Jiwa Para Ulama: Ketika Buya Hamka Menjadi Imam Sholat Subuh di Kediaman KH. Abdullah Asy-Syafi'ie

KH. Abdullah AsySyafi'ie dan Buya HAMKA
Ibarat kata peribahasa, padi semakin berisi semakin tunduk. Itulah gambaran para ulama pendahulu kita yang mulia.

Ketika bertambah ilmu dan pengetahuan, seorang ulama justru merasakan dirinya bukanlah apa-apa, ia semakin jauh dari rasa congkak, tinggi hati dan kesomobongan.

Teladan seperti inilah yang dapat kita contoh dari dua sosok ulama Indonesia di awal abad modern, yaitu Buya Hamka dan KH Abdullah syafi’ie.

Siapa yang tidak kenal Buya Hamka? Dengan perguruan Al-Azhar dan tafsirnya yang fenomenal? Beliau dihormati ummat di seluruh rantau Melayu ini, bahkan Universitas Islam tertua di dunia, Al-Azhar di Mesir menganugerahkan kepada beliau gelar Profesor kehormatan!

Dan siapa pula yang tidak kenal KH Abdullah Syafi’ie? Sang pendiri dan pemimpin Perguruan Asy-Syafiiyah, yang kharismanya membuat ummat amat menghormati beliau, dan umumnya para kiyai Betawi pada hari ini adalah murid-murid beliau.

Meski Buya Hamka adalah tokoh Muhammadiyah, namun ia berkawan baik dengan tokoh NU seperti KH. Abdullah Syafi’ie, ulama kawakan yang juga dijuluki ‘Macan Betawi’ kharismatik.

Di antaranya kisah sederhana Buya Hamka dan KH. Abdullah Syafi’ie ialah toleransi dan lebih mengedepankan ukhuwah Islamiyah dari pada ego dan kesombongan diri.

Kisah ini, sebagaimana yang diceritakan oleh putera beliau, Rusydi Hamka, adalah tentang persoalan khilafiyah seperti qunut, jumlah rakaat tarawih, maupun jumlah adzan shalat jum’at. Meski Buya Hamka boleh dibilang tokoh Muhammadiyah yang tidak mempraktikkan qunut pada shalat subuh, namun beliau menghormati sahabatnya, KH. Abdullah Syafi’ie, ulama yang menyatakan bahwa qunut shalat shubuh itu hukumnya sunnah muakkadah.

Buya Hamka jika hendak mengimami jamaah shalat subuh, suka bertanya kepada jamaah, apakah akan menggunakan qunut atau tidak. Dan ketika jamaah minta qunut, tokoh dan penasihat Muhammadiyah inipun mengimami shalat subuh dengan qunut.

Dalam kesempatan lain tentang masalah adzan dua kali. Suatu ketika di hari Jumat, KH. Abdullah Syafi’ie mengunjungi Buya di masjid Al-Azhar, Kebayoran Jakarta Selatan. Hari itu menurut jadwal seharusnya giliran Buya Hamka yang jadi khatib. Karena sahabatnya datang, maka Buya minta agar KH. Abdullah Syafi’ie saja yang naik menjadi khatib Jumat.

Yang menarik, tiba-tiba adzan Jumat dikumandangkan dua kali, padahal biasanya di masjid itu hanya satu kali adzan. Rupanya, Buya menghormati ulama betawi ini dan tahu bahwa adzan dua kali pada shalat Jumat itu adalah pendapat sahabatnya. Jadi bukan hanya mimbar Jumat yang diserahkan, bahkan adzan pun ditambahkan jadi dua kali, semata-mata karena ulama ini menghormati ulama lainnya.

Begitu pula tentang jumlah rakaat tarawih. Buya Hamka ketika mau mengimami shalat tarawih, menawarkan kepada jamaah, mau 23 rakaat atau mau 11 rakaat. Jamaah di masjid Al-Azhar pada saat itu memilih 23 rakaat, maka beliau pun mengimami shalat tarawih dengan 23 rakaat. Esoknya, jamaah minta 11 rakaat, maka beliau pun mengimami shalat dengan 11 rakaat.

Itulah mereka para ulama yang mengharumkan sejarah. Mereka meninggalkan dan menorehkan begitu banyak amal shaleh yang tak akan pernah lekang, yang akan tetap dikenang meski jasadnya sudah dikubur oleh tanah. Mereka meninggalkan teladan, teladan tentang kerendahan hati dan kebersahajaan yang akan diikuti oleh ummat ini.
loading...

0 komentar:

Post a Comment

Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih