Tuesday, December 16, 2014

7 Permohonan Doa Yang Diteladankan Rasulullah Saw

Ada do'a yang diajarkan oleh Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam. Inilah do'a yang sepatutnya kita mohonkan kepada Allah subhanahu wa ta'ala sepenuh pengharapan seraya menghayati maknanya.

Alangkah banyak do'a yang terucap secara lisan, namun manusia tak menyadari apa yang ia minta, tidak pula mengambil pelajaran darinya.

Do'a yang diajarkan oleh Rasulullah Muhammad shallaLlahu 'alaihi wa sallam itu adalah:

اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَابِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَاتُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَائِبَ الدُّنْيَا. اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَا بِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَا أَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْهُ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ عَاداَنَا وَلاَ تَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَاوَلاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَ تُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا

Ya Allah, anugerahkanlah untuk kami rasa takut kepada-Mu, yang dapat menghalangi antara kami dan perbuatan maksiat kepada-Mu, dan (anugerahkanlah kepada kami) ketaatan kepada-Mu yang akan menyampaikan Kami ke surga-Mu dan (anugerahkanlah pula) keyakinan yang akan menyebabkan ringannya bagi kami segala musibah dunia ini. Ya Allah, anugerahkanlah kenikmatan kepada kami melalui pendengaran kami, penglihatan kami dan dalam kekuatan kami selama kami masih hidup, dan jadikanlah ia warisan dari kami. Jadikanlah balasan kami atas orang-orang yang menganiaya kami, dan tolonglah kami terhadap orang yang memusuhi kami, dan janganlah Engkau jadikan musibah kami dalam urusan agama kami, dan janganlah Engkau jadikan dunia ini sebagai cita-cita terbesar kami dan puncak dari ilmu kami, dan jangan Engkau jadikan orang-orang yang tidak menyayangi kami berkuasa atas kami” (HR Tirmidzi dan Hakim).

Apakah yang paling berharga untuk kita mohonkan kepada Allah Ta'ala di dalam do'a ini?

Pertama, rasa takut (khasy-yah) kepada Allah 'Azza wa Jalla yang dapat menghalangi kita dari berbuat maksiat kepada-Nya. Tidak akan memiliki rasa takut kepada Allah Ta'ala dengan sebenar-benarnya kecuali orang-orang yang berilmu dan mengenal Allah Ta'ala (makrifatullah). Meski gelar berderet, tetapi jika ia tidak memiliki makrifatullah, maka tidak akan tumbuh rasa takut yang kuat pada dirinya. Maka memohon rasa takut kepada Allah Ta'ala, sesungguhnya termasuk memohon ilmu yang lurus dan makrifatuLlah. Sebab, hanya dengan itulah seseorang akan memiliki rasa takut kepada Allah Ta'ala. Rasa takut itu pula yang menjadi ukuran berilmu tidaknya seseorang.

Boleh jadi ada orang yang memiliki pengetahuan yang banyak dan wawasan yang luas, tetapi tak ilmu pada dirinya sehingga tidak tumbuh rasa takut kepada Allah Azza wa Jalla. Ibnu Mas'ud radhiyallahu 'anhu berkata, “Cukuplah rasa takut seseorang kepada Allah subhaanahu wa ta’aala, sebagai ilmu, dan cukuplah kelalaian seseorang kepada-Nya sebagai kejahilan.”

Allah Ta'ala berfirman:

...إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ...

"...Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama..." (QS. Fathir, 35: 28).

Beruntunglah orang yang memiliki rasa takut kepada Allah Ta'ala. Inilah karunia berharga yang menjadikan seseorang memiliki pengharapan yang kuat kepada Allah Azza wa Jalla sekaligus kekhawatiran dalam melakukan maksiat. Rasa takut kepada Allah Ta'ala juga menyingkirkan dari hati manusia rasa takut kepada sesama makhluk.

Tidaklah seseorang disebut bertakwa, kecuali dalam dirinya tertanam rasa takut kepada Allah Ta'ala. Dan Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam sebagaimana perkataan beliau. Dari Ummu Salamah radhiyallahu 'anha, beliau bersabda:

أَمَا وَاللهِ إِنِّي لَأَتْقَاكُمْ لِلهِ وَأَخْشَاكُمْ لَهُ

Ketahuilah, demi Allah, sesungguhnya aku adalah hamba yang paling bertakwa di antara kalian dan yang paling takut kepada-Nya.” (HR. Muslim).

Perkataan Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam ini menunjukkan betapa pentingnya rasa takut kepada Allah Ta'ala bagi seorang mukmin. Inilah yang menjaga seseorang dari berbuat dosa dan bertindak semaunya. Inilah yang menjadikan seseorang berhati-hati dalam hidupnya. Maka alangkah rugi orang-orang semacam saya yang amat tipis rasa takutnya atau bahkan tidak ada. Itu sebabnya, amat perlu memohon kepada Allah Ta'ala agar melimpahkan rasa takut dalam diri kita terhadapnya. Semakin besar rasa takut kepada-Nya, semakin kecil dan bahkan tidak ada lagi rasa takut kepada yang selain-Nya.

Tidak ada takwa kecuali ada rasa takut yang sangat kuat kepada-Nya. Takwa dan rasa takut kepada Allah Ta'ala merupakan dua kemuliaan yang sangat berharga. Seseorang mungkin berpengetahuan luas tentang agama ini, tetapi jika belum menimbulkan rasa takut yang nyata, maka pengetahuan itu belumlah menjadi ilmu yang manfaat baginya. Sebagaimana dinukil dalam Tafsir Ibnu Katsiir, Imam Malik rahimahullah ta'ala berkata, “Ilmu itu bukan dengan sekadar banyak menghafal riwayat, namun ilmu adalah cahaya yang diletakkan oleh Allah subhaanahu wa ta’aala, pada hati seorang hamba.”

Maka memohon rasa takut kepada Allah Ta'ala dengan sebenar-benar rasa takut berarti memohon beberapa hal sekaligus, yakni ma'rifatullah yang tanpa itu seseorang tidak dapat memiliki rasa takut kepada Allah Ta'ala, ilmu dan takwa. Inilah sebaik-baik permohonan. Tidak ada airmata yang membebaskan seorang manusia dari api neraka, kecuali airmata yang menitik bersebab rasa takut kepada Allah 'Azza wa Jalla. Meskipun tangis berderai saat shalat maupun thawaf, jika ia lahir bukan karena besarnya rasa takut kepada Allah subhanahu wa ta'ala, maka itu bukanlah airmata pembebas dari api neraka.

Kedua, memohon ketaatan kepada Allah Ta'ala yang menyampaikan kita ke surga-Nya. Ini mengandung makna bahwa taat saja tidak cukup. Kita perlu mengilmui dan memastikan bahwa yang kita kerjakan itu benar-benar merupakan ketaatan, bukan hanya persangkaan bahwa itu ketaatan padahal tindakan yang tidak disukai oleh Allah Ta'ala. Kita perlu mengilmui mana amal shalih dan mana amal salah; seolah amal shalih, padahal itu merupakan amal yang tertolak dan tidak mendekatkan kepada surga-Nya. Kita sudah berpayah-payah, tapi tiada pahala, tiada pula kebaikan.

Do'a yang dituntunkan oleh Rasulullah shallaLlahu 'alaihi wa sallam ini juga memberi pelajaran kepada kita bahwa betapa pun penentu masuk atau tidak masuk surganya seseorang bukan karena amal, tetapi terkandung makna di dalamnya bahwa ketaatan itulah yang sangat berperan. Besarnya ketaatan menjadikan amal maupun ibadah yang tampak ringan, Allah Ta'ala hitung sebagai kebaikan yang sangat besar di sisi-Nya.

Ketiga, memohon kuatnya keyakinan agar segala musibah dunia terasa ringan. Bukan besarnya bencana, bukan pula beratnya beban yang menjadikan musibah dunia terasa berat, tetapi keyakinan kita kepada Allah Ta'ala yang sangat berpengaruh terhadap ringannya masalah. Kita mengetahui dan bahkan sangat memahami bahwa pertolongan Allah Ta'ala sangat dekat, bahwa musibah dunia ini sama sekali tak ada apa-apanya dibanding petaka akhirat, juga bahwa tiap musibah dunia yang datang sebagai ujian akan menjadi pengurang dosa penambah pahala apabila kita bersabar terhadapnya. Adapun musibah yang merupakan peringatan, kuncinya adalah berbenah memperbaiki taat kita kepada Allah Azza wa Jalla.

Tetapi...
Betapa pun kita mengetahui dengan baik dengan memahami secara mendalam betapa pertolongan Allah Ta'ala sangat dekat, juga betapa bersama satu kesulitan ada berbagai kemudahan, tak akan ringan hati kita menghadapinya jika tak meyakini. Sangat berbeda antara tahu, paham dan yakin. Alangkah banyak orang yang memahami dan mampu menjelaskan dengan baik, tapi tak ada keyakinan dalam dirinya sehingga musibah dunia yang kecil saja sudah sanggup mengguncangkan jiwanya.

Jadi, kuatnya keyakinan itu telah memberi manfaat sebelum pertolongan-pertolongan lainnya dari Allah Ta'ala datang kepada kita. Tetapi kita juga harus memahami dan meyakini bahwa tetapnya keyakinan itu sendiri merupakan anugerah. Ia adalah pertolongan yang lebih mendasar. Maka kepada Allah Ta'ala kita memohon dikaruniai keyakinan yang akan menyebabkan ringannya segala musibah dunia ini.

Keempat, memohon anugerah berupa nikmat atas pendengaran dan penglihatan maupun dalam kekuatan yang Allah Ta'ala telah berikan kepada diri kita sehingga semua itu mengantarkan kita pada kebaikan akhirat. Mata ini ada hisabnya, kecuali mata yang basah oleh airmata bersebab takut kepada Allah Azza wa Jalla serta mata yang melakukan ribath (berjaga siaga dalam jihad fii sabilillah) semata-mata untuk memperoleh ridha Allah Azza wa Jalla. Pendengaran ini ada hisabnya. Kita memohon anugerah kepada Allah subhaanahu wa ta'ala agar keduanya, serta kemampuan yang Allah Ta'ala berikan sebagai jalan yang membawa kebaikan dunia dan akhirat. Bukan pembawa petaka dunia hingga akhirat.

Kelima, menyerahkan kepada Allah Ta'ala pembalasan bagi orang-orang yang melakukan kezaliman terhadap kita, baik dari orang-orang dewasa yang kita tak dapat mengelak dari kezalimannya maupun dari para penguasa. Ini merupakan do'a yang umum. Jadi kita tidak mendo'akan orang-orang per orang. Kita hanya memohonkan pembalasan sekaligus menyerahkan kepada Allah subhanahu wa ta'ala sebagai pemberi balasan yang tak dapat dielakkan, sementara kita boleh jadi tak mengetahui siapa saja yang sesungguhnya telah melakukan kezaliman terhadap kita. Kepada Allah Ta'ala kita memasrahkan apakah Ia akan memberi balasan kepada yang menzalimi kita atau memberi kebaikan terhadap kita.

Kita juga memohon pertolongan kepada Allah Ta'ala pertolongan terhadap orang-orang yang memusuhi kita sekaligus meminta sepenuh harap agar tak ada satu pun dari permusuhan dan akibat yang ditimbulkannya menjadi musibah akhirat. Kalaulah itu menjadi kesulitan di dunia, semoga justru menjadi gerbang menuju kebaikan yang lebih tinggi di Yaumil Qiyamah bersebab sabar, ridha, tawakkal dan bahkan kesungguhan dalam jihad fii sabiliLlah liLlah.

Keenam, memohon kepada Allah Ta'ala untuk menghindarkan kita dari menjadikan dunia sebagai himmah (passion, cita-cita terbesar) kita. Sesungguhnya yang menjadi awal keruntuhan imperium Islam bukanlah kurangnya pasukan, bukan pula sedikitnya harta, tetapi justru karena cinta dunia dan takut mati. Kaya menjadi cita-cita yang dibanggakan dan tawakkalnya bergeser dari kepada Allah Ta'ala semata, bergeser kepada perlengkapan, fasilitas dan dunia yang mengiringi.

Berkenaan dengan dunia sebagai cita-cita terbesar dan puncak ilmu sehingga belajar agama pun, ujung-ujungnya hanya berpikir dunia,
mari kita renungi sejenak hadis Nabi shallaLlahu 'alaihi wa sallam:


مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَـمَّهُ ؛ فَـرَّقَ اللّٰـهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَـيْهِ ، وَلَـمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلاَّ مَا كُتِبَ لَـهُ ، وَمَنْ كَـانَتِ الْآخِرَةُ نِـيَّـتَـهُ ، جَـمَعَ اللّٰـهُ لَهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِـيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَـا وَهِيَ رَاغِمَةٌ

"Barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai himmah-nya (passion, hasrat terbesarnya), maka Allah akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia mendapat dunia menurut apa yang telah ditetapkan baginya. Dan barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allah akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.Semoga dengan itu kita senantiasa dalam hidayah; selalu di jalan Allah Ta'ala yang lurus. Semoga tidaklah kita mati kecuali dalam keadaan benar-benar berserah diri kepada Allah 'Azza wa Jalla." (Hadis Shahih Riwayat Ahmad, Ibnu Majah & Ibnu Hibban).

Boleh jadi seseorang memiliki harta yang berlimpah. Tetapi jika dunia yang menjadi passion-nya, maka kemiskinan ada di pelupuk matanya. Ia senantiasa gelisah terhadap dunia yang ada di tangannya, mengkhawatiri berkurangnya, dan menyibukkan diri untuk meraup sebanyak-banyaknya dan menghitung-hitungnya. Tak ada batas yang menghentikannya kecuali kubur. "حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ Sampai kamu masuk ke dalam kubur." Harta berlimpah, tetapi ketenangan jiwa dan keteduhan hati begitu jauhnya.

Ketujuh, memohon kepada Allah Yang Maha Perkasa agar tidak menjadikan orang-orang yang tidak menyayangi kita, terlebih zalim, sebagai penguasa yang mengurusi hajat hidup kita, baik sebagai kepala negara atau di bawah itu. Kekuasaan orang-orang zalim atas dirinya kita akan sangat mungkin terjadi jika dunia telah menjadi cita-cita terbesar dan ilmu tertinggi dari banyak orang dan bahkan menimpa orang-orang yang seharusnya menjadi pemberi peringatan disebabkan memahami agama ini.
loading...

0 komentar:

Post a Comment

Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih