Wednesday, July 19, 2017

[Kisah] Si Husein Yang Mencari Awal Kebijaksanaan

Husein seorang petani yang tinggal di sebuah desa di Turki bagian tengah. Ketika ia menikahi seorang perempuan muda dari desanya, dua cendekiawan pengembara menghadiri pesta pernikahannya.

Keduanya diberi kehormatan untuk duduk di meja pernikahannya, keduanya diberi kehormatan untuk duduk di meja pasangan pengantin baru itu. Mereka berdua mulai berdiskusi tentang tafsir Al-Qur’an, tema-tema teologi yang menarik, dan juga sejarah Islam.

Mereka saling menceritakan kisah guru-guru mereka dan mengutip berbagai karya ulama terkemuka. Husein terpesona mendengarkan perbincangan mereka. Ia sendiri tidak pernah belajar dan mendapat pendidikan formal. Mendadak, hasratnya berkobar-kobar untuk belajar dan menjadi cendekia.

Husein menghabiskan malam pertamanya bersama sang istri. Saat bangun keesokan harinya, ia bilang kepada istrinya bahwa ia ingin pergi ke Istanbul untuk belajar dan menjadi cendekia. Ia meminta istrinya mengurus lahan pertanian mereka sampai ia kembali pulang.

Sejak hari itu ia dikenal warga desanya sebagai Husein si gila, pria yang meninggalkan istrinya yang masih muda dan cantik untuk pergi jauh demi menuntut ilmu.

Tidak ada seorang pun yang tahu apa yang terjadi pada Husein. Selama bertahun-tahun tidak ada kabar apa pun tentang dirinya dan para tetangganya mengira ia sudah dibunuh penjahat atau binatang buas.

Kenyataannya, Husein berhasil sampai di Istanbul, kota tempatnya menuntut ilmu. Lalu, dua puluh tahun kemudian, setelah merasa cukup yang dipelajarinya, Husein memutuskan pulang.

Husein sangat ingin menjumpai istrinya, teman-teman lamanya, dan keluarganya. Setelah perjalanan yang panjang, ia tiba di sebuah desa yang berjarak satu hari perjalanan dari desanya. Seorang petani disana menawarinya bermalam. Setelah makan malam, si petani bertanya kepada Husein tentang pembelajarannya. Ia pun bercerita dengan bangga bahwa ia baru saja menyelesaikan studi selama 20 tahun pada beberapa cendekiawan terkemuka di Istanbul.

Si petani bertanya,

“Kalau begitu, kau bisa beri tahu aku, apa awal kebijaksanaan?”

Husein menjawab,

“Para alim mengatakan, awal kebijaksanaan adalah percaya pada Tuhan.”

Si petani berujar,

“ Bukan, bukan itu jawaban yang benar.”

Untuk mendukung jawabannya, Husein mengutip berbagai pendapat dan pemikiran para cendekiawan tersohor, tetapi si petani selalu menanggapinya dengan ucapan:

“Bukan! Itu pun bukan jawabannya.”

Husein bertanya,

“Bagaimana kau tahu jawabannya tidak benar?”

“Aku tahu.”

“Jika kau memang tahu, apa sesungguhnya awal kebijaksanaan?”

“Aku akan senang memberi tahu jawabannya kepadamu. Lalu, selama dua puluh tahun kemarin, apa saja yang kau pelajari? Mengapa kau masih mempelajari soal ini? Sebenarnya, aku bisa mengajarimu tentang awal kebijaksanaan, tetapi itu akan makan waktu setahun lamanya.”

Husein yakin, si petani benar-benar tahu jawabannya sehingga ia setuju menghabiskan satu tahun belajar dengannya. Keesokan paginya, si petani berkata,

“Sudah waktunya bekerja di ladang.”

“Tapi kukira kita akan belajar.”

“Beginilah cara kita belajar.”

Mereka bekerja sepanjang pagi, menyantap makan siang, dan kembali ke ladang. Malam harinya Husein merasa sangat letih sehingga ia langsung tidur setelah makan malam. Itu berlangsung selama berhari-hari. Husein tidak punya waktu atau energi untuk bicara tentang filsafat, ilmu, atau kebijaksanaan. Akhirnya, ia terbiasa dengan rutinitas itu. Suatu malam, setelah makan, ia bertanya pada si petani tentang awal kebijaksanaan. Si petani menjawab, “Kau habiskan 20 tahun dan masih tidak tahu jawabannya. Kau butuh waktu setahun lagi untuk mempelajarinya.”

Bulan demi bulan, mereka bekerja keras di ladang. Suatu hari, Husein menyadari, satu tahun sudah dilewatinya sejak pertama kali datang di desa itu. Dia pun berkata kepada si petani,

“Aku sudah bekerja siang dan malam untukmu selama setahun penuh. Sekarang, sampaikanlah kepadaku, apa sesungguhnya awal kebijaksanaan?”

Si petani menjawab,

“Besok kau akan pergi. Saat itulah aku akan menyampaikannya.”

Keesokan paginya si petani dan istrinya menyiapkan perbekalan yang banyak dan memberikan berbagai hadiah kepada Husein. Saat ia hendak beranjak pergi, Husein berkata,

“Aku masih menunggu jawaban atas pertanyaan yang kau ajukan kepadaku setahun silam. Apakah awal kebijaksanaan?”

Si petani hanya berujar,

“Awal kebijaksanaan adalah kesabaran.”

Husein berteriak,

“Apa?! Kau membuatku bekerja untukmu seperti budak selama setahun hanya untuk jawaban yang sesederhana itu? Apa yang salah denganmu?”

Si petani mengatakan,

“Nah, kau belum mengerti juga.”

“Kau bisa sampaikan jawaban itu setahun yang lalu.”

“Tidak. Aku bisa saja memberikan jawabannya, tetapi sepanjang tahun ini kau punya banyak kesempatan untuk memahami kesabaran. Jelaslah, kau masih belum mengerti pelajaran ini. Tapi, bisa jadi saat ini kau sudah mulai memasuki awal pemahaman.”

Husein tidak cukup memahami ungkapan si petani itu. Apakah ia sesungguhnya seorang guru ataukah ia hanya memperdaya dirinya agar mau bekerja selama setahun tanpa mendapatkan apa-apa?

Di ujung hari itu, Husein sampai di desanya. Matahari baru saja terbenam ketika ia menapakkan kaki di desanya. Saat tiba di dekat rumahnya, ia melihat di beranda rumahnya duduk istrinya bersama seorang laki-laki. Setelah 21 tahun, inilah pertama kalinya ia melihat istrinya lagi. Namun, ia lihat istrinya sedang duduk di kursi sembari mengelus-elus kepala seorang pria muda berwajah tampan. Amarah Husein naik menyesaki dadanya melihat istrinya yang dianggap tidak setia. Husein punya sebilah belati yang selalu dibawa untuk melindunginya dalam perjalanan. Ia keluarkan belati itu dan siap-siap berlari dan menusukkan belatinya pada kedua orang itu.

Namun, tiba-tiba ia ingat masa setahun yang dilewatinya bersama si petani. Ia berkata pada dirinya,

“Bersabarlah. Aku baru saja menghabiskan waktu setahun untuk belajar kesabaran. Mungkin tidak seharusnya aku bereaksi terlalu cepat.” Maka, ia simpan kembali belatinya itu kedalam tasnya.
Husein pergi menuju masjid untuk mengerjakan shalat Isya. Tidak seorang pun mengenali dirinya. Ia bertanya,

“Di mana si Ahmad?”

“Oh, dia sudah meninggal lima tahun yang lalu.”

“Bagaimana dengan kedua orang tua Husein?”

“Maksudmu orang tua Husein si gila, orang yang menghilang bertahun-tahun silam sehari setelah pernikahannya? Mereka sudah wafat bertahun-tahun yang lampau.”

Kemudian seorang penduduk berkata, “Diamlah. Waktu shalat hampir tiba dan imam kita segera datang.”
Pria muda yang dilihat Husein di rumahnya berjalan mendekati masjid. “siapa pria itu?” tanya Husein.

“Itu Jamal, anak Husein si gila,” seseorang menjawab pertanyaannya.

“Ia lahir sembilan bulan setelah Husein pergi. Karena suaminya tergila-gila menuntut ilmu, istri Husein menabung semua penghasilannya untuk biaya pendidikan Jamal. Ketika seorang alim datang ke desa ini, istri Husein memintanya untuk mengajari anaknya. Jamal pun menjadi orang yang paling terpelajar di antara kami dan sekarang ia menjadi imam kami.

Usai shalat Isya, Husein meninggalkan masjid dan pergi ke desa si petani yang baru saja ditinggalkannya. Ia berlutut dan membungkuk ke arah si petani sambil berseru, “Terima kasih guruku. Kau sudah selamatkan hidupku dan keluargaku.”

Ma'af jika judul tidak sesuai dengan isi cerita.

(Dari buku Obrolan Sufi, Robert Frager, h. 266-270).
loading...

0 komentar:

Post a Comment

Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih