Wednesday, April 24, 2019

[Biografi] Syaikh Ali Al-Banjari, Ulama Banjar Sang Juru Tulis Kitab I'anatut Thalibin Karangan Syaikh Bakri Syatha

Salah satu ulama tanah melayu yang terbilang di Negeri Haramain adalah Syaikh Ali bin Abdullah bin Mahmud bin Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.

Ketokohan beliau di negeri Mekkah diakui para ulama semasanya hingga sekarang, terutama dalam bidang fiqih dan hadits. Dalam kitab Daur 'ulama Makkah fi Khidmah al-Sunnah wa Sirah al-Nabawiyyah Juz. I hlm. 44 disebutkan:

45- الإمام، الفقيه، الشيخ علي بن عبد الله بن محمود البنجري الإندونيسي المكي، ولد بمكة المكرمة سنة 1285هـ وتوفي بها سنة 1370هـ، قرأ القرآن وهو صغير، وحفظه وحفظ بعض المتون أخذ عن علماء عصره منهم السيد بكري شطا، فقد لازمه وأخذ عنه في الفقه والصرف والحديث والتفسير. كما قرأ على الشيخ محمد بن يوسف الخياط، والشيخ محفوظ الترمسي، تصدر للتدريس بالمسجد الحرام فدرس النحو والصرف والفقه الشافعي والحديث، له مؤلف اسمه (الكوكب البري في ثبت البنجري) . تلقى الشيخ محمد ياسين - رحمه الله - عنه بعض الأحاديث المسلسلة وأسند عنه

Syaikh Ali  Al-Banjari lahir di Makkah Al Mukarromah tahun 1285 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1868 Miladiyah (Masehi), dan tumbuh di dalam keluarga shaleh dan shalehah.

Ayahnya, Syaikh Abdullah bin Mahmud Al Banjari merupakan ulama karismatik di Makkah Al Mukarromah. Beliau dijuluki dengan julukan Syekh Abdullah Wujud dikarenakan apabila beliau berdzikir, tubuhnya tidak lagi nampak terlihat, melainkan hanya pakaian dan sorbannya saja.

Di dalam keluarganya yang shaleh dan menjunjung tinggi ilmu agama itulah Syekh Ali tumbuh besar, hingga beliau mewarisi kecintaan pada ilmu agama sebagaimana ayah, kakek, dan datuknya yang lebih dulu menjadi ulama besar di zaman mereka.

Syekh Ali tak mau menjadi pemutus “nasab emas” keilmuan para leluhurnya, beliau pun dengan gigihnya menimba ilmu kepada banyak ulama, di antaranya kepada Sayyid Abu Bakar bin Muhammad Syatha, Syekh Said Yamani, Syekh Yusuf Al Khaiyat, Sayyid Husein bin Muhammad Al Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan As Saqaf (Assegaf), Mufti Abid bin Husein bin Ibrahim Al Makki, Habib Ahmad bin Hasan Al Atthas, Habib Umar bin Salim Al Atthas, Syekh Mahfuz Termas, Syekh Ahmad Fathani, Syekh Zainuddin As Sumbawi dan lainnya.
 
Dalam ilmu nahwu, shorof, dan Fiqih Syekh Ali belajar kepada Syekh Abu Bakar Satha, Syekh Said Yamani, dan Syekh Mahfuz Termas (Ulama dari tanah Jawa). Dalam bidang hadits beliau berguru kepada Syekh Said Yamani, Sayyid Husein bin Muhammad Al Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan As Saqaf (Assegaf), Mufti Abid bin Husein bin Ibrahim Al Makki. Adapun dalam ilmu falaq, Syekh Ali belajar kepada Syekh Yusuf Al Khaiyat. Tafsir, kepada Sayyid Abu Bakar Satha. Dan, mengambil ijazah Thoriqoh Sammaniyah kepada Syekh Zainuddin As Sumbawi.

Menjadi Juru Tulis GurunyaGuru dari Syekh Ali, Sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha adalah salah satu ulama besar bermazhab Syafi’i yang hidup pada akhir abad ke-13 H dan permulaan abad ke-14 H. Kala itu, Sayyid Abu Bakar Satha mengajar kitab syarah Fath al Mu’in karya Al Allamah Zainuddin al-Malibari, di Masjidil Haram.

Selama mengajar Kitab Fathul Mu’in, Sayyid Abu Bakar Satha menulis catatan sebagai penjelasan dari kalimat-kalimat yang terdapat dalam Kitab fathul Mu’in. Catatan-catatan inilah yang kemudian diminta untuk dikumpulkan oleh para sahabat beliau, guna dijadikan sebuah kitab (hasyiyah) untuk memahami Kitab Fathul Mu’in.

Saat itu, Syekh Ali menjadi perhatian di antara sekian banyak murid yang mengaji kepada Sayyid Abu Bakar Satha. Kecakapannya dalam bidang ilmu fiqih membuat Sayyid Abu Bakar menunjuk Syekh Ali sebagai katib (Juru tulis) kepercayaannya ketika mengarang kitab. Salah satu kitab yang diketahui merupakan hasil tulis dari Syekh Ali adalah Kitab ‘Ianah Ath-Thalibin, syarah dari Kitab Fathul Mu’in karya Al Allamah Zainuddin al-Malibari.

“Kitab asli tulisan tangan beliau itu ada di Sumatra,” kata Ustadz Muhammad bin Husin bin Ali Al Banjari.

Kitab ini merupakan tulisan bermodel hasyiyah, yaitu berbentuk perluasan penjelasan dari tulisan terdahulu yang lebih ringkas. Kitab I’anah Ath-Thalibin ini selesai ditulis pada Hari Rabu ba’da Ashar, 27 Jumadil al-Tsani Tahun 1298 H.

Kitab I’anah Ath-Thalibin memiliki kelebihan sebagai fiqh mutakhkhirin yang lebih aktual dan kontekstual karena memuat ragam pendapat yang diusung ulama mutaakhkhirin utamanya Al-Imam An-Nawawi, Ibnu Hajar dan banyak lainnya yang tentunya lebih mampu mengakomodir kebutuhan penelaah akan rujukan yang variatif dan efektif.

Rujukan penyusunan kitab ini adalah kitab-kitab fiqh Syafi’i mutaakhkhirin, yaitu Tuhfah al-Muhtaj, Fath al-Jawad Syarh al-Irsyad, al-Nihayah, Syarh al-Raudh, Syarh al-Manhaj, Hawasyi Ibnu al-Qasim, Hawasyi Syekh ‘Ali Syibran al-Malusi, Hawasyi al-Bujairumy dan lainnya.Mursyid Thoriqoh Sammaniyah

Dalam bidang tasawuf, Syekh Ali Al Banjari diketahui pernah mengambil ijazah Thoriqoh Sammaniyah kepada Syekh Zainuddin As Sumbawi, hingga menjadi mursyid dalam thoriqoh tersebut. Hal ini diketahui dengan adanya catatan silsilah masyaikh (keguruan) pada Thoriqoh Sammaniyah yang terdapat nama beliau di dalamnya.

Thoriqoh Sammaniyah adalah thoriqoh yang didirikan oleh Syekh Muhammad bin Abdul Karim As Samman Al Madani. Di antara murid Syekh Muhammad Samman adalah Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Beliaulah yang membawa thoriqoh ini ke tanah Banjar, dan mengijazahkannya kepada keluarga dan pengikut beliau. Dari keluarga dan pengikut beliau inilah kemudian thoriqoh tersebut terjaga hingga sekarang.

Mursyid Thoriqoh Sammaniyah yang masyhur dari keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari adalah Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani (Sekumpul). Di antara mata rantai sanad keguruan Syekh Muhammad Zaini dalam bidang Thoriqoh Sammaniyah ini, terdapat nama Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari. Berikut perinciannya sanad keguruan dari Syekh Samman hingga Syekh Muhammad Zaini:

Syekh Muhammad bin Abdul Karim As Samman Al Madani, Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al Banjari, Syekh Syihabuddin Al Banjari, Syekh Nawawi bin Umar Al Bantani, Syekh Zainuddin bin Badawi As Sumbawi, Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari, Syekh Muhammad Syarwani bin Haji Abdan Al Banjari, Syekh Muhammad Zaini bin Abdul Ghani Al Banjari.

Mengajar di Mesjidil Haram
Setelah dinilai guru-gurunya mumpuni dalam bidang keilmuan, Syekh Ali pun diizinkan mengajar di Mesjidil Haram dalam mata pelajaran Nahwu, Shorof, dan Fiqih Mazhab Syafi’ie.

Sejak saat itu pula, rumahnya di Daerah Syamiyah, Jabal Hindi, menjadi tempat tujuan para penimba ilmu. Terlebih, ketika umat Islam Seluruh dunia berdatangan untuk menunaikan ibadah haji. Momentum ibadah haji ini biasanya dimanfaatkan para muslimin untuk menimba ilmu dari ulama-ulama besar di tanah haram, tak terkecuali dengan Syekh Ali.Dari sekian banyak murid Syekh Ali Al Banjari yang datang dari tanah Banjar dan kemudian menjadi ulama besar, di antaranya: KH Zainal Ilmi (Dalam Pagar), Syekh Sya’rani bin Haji Arif (Kampung Melayu), Syekh Muhammad Syarwani bin Haji Abdan (Bangil, Surabaya), Syekh Seman bin Haji Mulya (Keraton), Syekh Hasyim Mukhtar, Syekh Nasrun Thohir, Syekh Nawawi Marfu’, Syekh Abdul Karim bin Muhammad Amin Al Banjari (wafat di Makkah).

Berhenti Mengajar di Masjidil Haram
Setelah sekian lama tanah haram hidup tenang, dan Syekh Ali tenang menjalani rutinitasnya sebagai pengajar di Masjidil Haram, Saudi Arabia dilanda perpecahan. Perang antara kubu Syarif Husein (Turki Usmani) dengan kubu Muhammad Su’ud bin Abdul Aziz.

Peperangan tersebut tidak hanya berkisar perebutan daerah, tapi juga keyakinan dalam beragama. Kubu Muhammad Su’ud yang membawa keyakinan yang dikembangkan oleh Muhammad bin Abduil Wahab kemudian menimbulkan kegaduhan di tanah haram. Para ulama Ahlussunnah di zaman itu dipanggil, tak terkecuali dengan Syekh Ali.

Sempat terjadi perdebatan sengit antara Syekh Ali dengan ulama Wahabi (pengikut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) tentang firman Allah Ta’la, “Yadullah fauqa aidihim”(Al Fath ayat 10). Ulama Wahabi berpandangan lafaz “Yad” disana adalah tangan, dan Syekh Ali dengan tegas tidak menerima pandangan Mujassimah (menyerupakan Tuhan dengan makhluk, red) tersebut. Beliau cenderung dengan pandapat tafsir tentang ayat tersebut yang menyatakan: Bermula kekuasaan itu atas segala kekuasaan mereka itu. Lafadz “Yad” dimaknai Qudrat.

Dalam masa kecamuk itu-lah, Syekh Ali Al Banjari menitipkan anaknya Husin Ali kepada Syekh Kasyful Anwar Al Banjari untuk dibawa ke tanah Banjar. Syekh Kasyful Anwar adalah sahabat Syekh Ali ketika mengaji kepada Sayyid Abu Bakar Satha, yang juga keturunan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.Sejak perpecahan itu-lah Syekh Ali Al Banjari tak lagi mengajar di Masjidil Haram. Namun, beliau masih menerima orang-orang yang datang menemuinya. Baik yang menimba ilmu atau yang hanya meminta doa. Karena nama Syekh Ali tidak hanya besar disebabkan kedalaman ilmunya, tapi juga kemustajaban doanya. Sehingga, banyak orang yang datang menemuinya hanya untuk didoakan beliau.

Syekh Ali bin Abdullah Al Banjari wafat di Makkah Al Mukarromah, Kamis malam (Malam Jum’at) 12 Dzulhijjah 1307 Hijriyah dimakamkan di Ma'la, Makkah.

(Dikutip dari: Muhammad Bulkini Ibnu Syaifuddin, sebagaimana dari laman:  - https://steemit.com/islam/@kkkk97/biografi-syekh-ali-al-banjari-d2ede83ef7185?fbclid=iwar1xqhxj5d7wshw_1nu5ece9thslflsfxwi-mueckif0wozjgl_eexh-tey
- dll
loading...

0 komentar:

Post a Comment

Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih