Wednesday, May 10, 2017

Kisah Kiyai Kholil Bangkalan dan Santri 9 Tahun

Alkisah diceritakan, suatu ketika ada seorang anak kecil kira-kira berusia 9 tahun pergi nyantri ke Hadratus Syaikh KH. Kholil Bangkalan Madura.

Melihat keadaan bocah kecil ini Kyai Kholil tidak langsung mengajar ngaji karena khawatir tidak kerasan. Sambil menunggu si bocah merasa betah, Kyai Kholil memberi tugas pada si santri kecil ini untuk membersihkan daun mangga yang jatuh dari pohonnya di depan ndalem Kyai Kholil. Si bocah ini menjalankan perintah gurunya dengan senang hati.

Pada suatu malam turunlah hujan begitu lebat, Kyai Kholil keluar dan duduk di teras rumah. Dilihatnya ada seorang anak yang tetap berhujan-hujanan di bawah pohon mangga menjaga daun mangga yang jatuh ke tanah untuk langsung dibersihkan.

Seketika itu Kyai Kholil memanggil anak tersebut, betapa kagetnya Kyai Kholil ternyata dia adalah anak kecil yang diberi tugas membersihkan daun mangga bila ada yang jatuh dari pohonnya itu.

Melihat kejadian tersebut Kyai Kholil berkata kepada si kecil yang bernama Abbas itu,

"Wahai Abbas sekalipun engkau masih kecil belia tapi engkau memiliki ketaatan sungguh-sungguh kepada guru. Oleh karena itu cukup untuk kamu ngaji di sini sekarang."

Kyai Kholil bertakbir keras,

"Allâhu Akbar... Allâhumma sholli 'alâ Sayyidinâ Muhammad. Pulang...!! Mengajar...!! Ilmunya ditanggung Kholil...!!"

Seketika itu pula Kyai Kholil meminta Abbas kecil menengadah ke langit dengan membuka mulut dan Kyai Kholil meludahi mulut Abbas kecil, maka pulanglah Abbas kecil dengan derai air mata karena tak kuasa meninggalkan guru yang dicintai dengan amanah yang dibanggakannya.

Subhânallah... Jadilah Abbas seorang kyai besar berpengaruh di Banyuwangi dengan santri yang luar biasa hingga sekarang.

'Mencari ridlo Guru' itulah rahasia besar kesuksesan ulama terdahulu, yang makin terlupakan sekarang.
Di samping keikhlasan sang guru itu sendiri tentunya yang juga makin jarang kita temukan sekarang. Contoh kecil, guru pondok tanpa gaji tetap mengajar mencari ridlo Allah dan ridlo kyai.

Kyai setiap sholat malam mendoakan santri, santrinya setiap ngaji kirim fatihah ke Kiyai. Kira-kira guru sekolah pernah nggak mendoakan murid-mnuridnya? Apalagi muridnya, juga gak pernah memfatehahi guru.
Lebih barokah mana ilmunya?.

Sanad keilmuan terjamin silsilahnya. Guru pondok punya kyai, kyainya punya kyai, kyainya kyai punya guru sampai bersambung kepada Kanjeng Rasulullah saw.

Kyai di pondok tidak hanya mengajar kitab, tapi beliau adalah gambaran dari isi kitab itu. Santri bisa meniru akhlaknya kyai, zuhudnya kyai, wira'inya kyai, sabarnya kyai dan akhlak mulia lainnya.

Kebanyakan sekolah dan kuliah itu, gurunya cuma bisa ngajar. Bahan materinya bisa copy paste dari google atau buku.

Nah, tidak ada jaminan yang menulis di internet dan di buku itu orang sholih dan mengamalkan ilmunya.
Belajar di pondok tidak banyak kecampuran maksiat. Santri putra kelasnya dipisah dengan santri putri. Kalaupun jadi satu pasti dipisah tabir.

Di kampus belajar mata kuliah tasawwuf pas bab khouf. Eh, campur aduk laki-laki perempuan. Mengetik makalah bab khouf dan raja' sambil chatingan sama pacar.

Ilmu itu nur (cahaya) sedangkan maksiat itu dhulm (gelap).
Mungkinkah cahaya dicampur dengan kegelapan?

Allâhumma nfa'nâ bimâ 'allamtanâ wa 'allimna lladzî yanfa'unâ —
loading...

0 komentar:

Post a Comment

Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih