Saturday, July 11, 2015

Wasiat Abdurra'uf Bin Ali Al-Jawi Tsummal Fanshuri As-Singkili Yang Dikenal Dengan Gelaran Syiah Kuala

Salah seorang tokoh ulama besar yang termasyhur di tanah Aceh hingga seluruh kepulauan Melayu adalah Syaikh Abdurrauf bin Ali Al-Jawi Al-Fanshuri.

Beliau merupakan salah seorang ulama pengembang utama tarekat Syattariyah di Aceh hingga menyebar di belahan penjuru Asia Tenggara.

Nama lengkapnya ialah Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili. Selain penasihat empat Sultanah di Kerajaan Aceh, ia juga termasuk ulama yang paling aktif menulis kitab sepanjang abad di berbagai bidang ilmu berjumlah kurang lebih 38 judul kitab.

Beliau menulis dalam berbagai bidang ilmu, mulai bidang ubudiyah, muamalah, tauhid, tasawuf, tafsir Quran, etika dan lainnya di bidang sosial dan kearifan masyarakat Aceh khususnya, dan masyarakat Melayu umumnya.

Salah satu kitabnya berjudul Mawa’id al-Badi’ (al-Badi’ah) diartikan Pengajaran yang indah-indah (berguna) yang berisikan 50 wasiat pengajaran (poin) Syekh Abdurrauf kepada manusia.
 “Dan kunamai akan dia Mawa’id al-Badi’ artinya segala pengajaran yang indah-indah. Hai segala anak Adam laki-laki dan peremppuan, percayakan oleh kamu akan segala pengajaran ini, jangan engkau syak (ragu) akan dia, karena segala pengajaran ini setengahnya (sebagiannya) aku ambil dari perkataan Allah, dan dari Rasulullah, para Sahabat, Aulia Allah, hukama, dan ulama..”.
Pesan tersebut dimulai dengan sebuah anjuran supaya dikaji ulang pada setiap hari atau seminggu sekali atau sekurang-kurangnya sebulan sekali. Faidah membaca kitab ini menurut ulama pengarang kitab tafsir  berbahasa Melayu (Indonesia) pertama kali supaya hati manusia menjadi lembut.

Bahkan, barangsiapa yang telah membacanya dan tidak mengamalkan isinya akan termasuk orang yang merugi. Maka, maklum saja jika kitab ini diperoleh banyak sekali variannya.

Kitab ini disalin oleh banyak orang dalam beberapa tahun berikutnya hingga masa kemerdekaan.
Apabila dipersentasekan isi kitab ini, wasiat pengajaran Abdurrauf banyak membahas tentang etika dan karakter seorang muslim. Anjuran-anjuran di dalamnya mengutamakan sikap bersosial terhadap orang lain, sepuluh peringatan pertama seluruhnya menyebutkan tentang sikap manusia.

Pertama yang diungkapkan oleh Abdurrauf adalah kematian (maut) dan proses di hari kiamat. Epistemologi tersebut merupakan langkah utama bagi manusia yang dianggap baligh dan berakal sebagai tujuan akhir hidup ini.

Kemudian, pada peringatan kedua ia menegaskan tentang tauhid. Pada wasiat ketiga disebut pentingnya mensyukuri apa yang ada dan menjauhkan sifat dengki pada orang lain. Dan pengajaran selanjutnya adalah sikap kerja keras dan berusaha mencari rezeki dunia dan beramal untuk akhirat.
Pengajaran kelima yang diwasiatkan oleh ulama asal Fansur itu tentang sifat munafik, seperti menyebut dirinya golongan orang shalih padahal ia tidak berbuat baik dan hanya ikut-ikutan orang lain, berangan-angan surga tanpa berbuat kebaikan, menyeru orang lain pada kebaikan padahal ia sendirinya tidak melakukannya, diam saat orang lain berbuat jahat padahal engkau mengetahuinya.
Abdurrauf mengingatkan akan azab bagi orang munafik sudah disiksa sejak dalam kubur oleh malaikat.

Syaikh Abdurrauf menegaskan pada poin ke 15:
“Sebaik-baik barang yang dikarunia pada hati itu yakin akan Tuhan. Dan sebaik-baik barang yang diri akan kamu itu ‘afiah pada badan, iman dan amal. Sejahat-jahat perkataan kamu itu dusta, dan sejahat-jahat nasehat itu naminah, mengadu-adu yakni lalat mirah..”
Bahkan Abdurrauf mengingatkan pada poin ke 24
“Hai anak Adam, tiada betullah agamamu hingga betullah lidahmu, dan tiada betul lidahmu hingga engkau malu daripada Tuhanmu”.
Tentu, pembentukan karakter dan akhlak lebih mulia daripada simbolitas keagamaan dalam bentuk kelompok, golongan ataupun sikap-sikap yang kurang bijak.

Kitab Abdurrauf memenuhi anjuran pada sikap berbuat baik kepada diri sendiri, orang tua, orang lain dan lingkungan, dan terutama kepada hak-hak Allah.

Kewajiban tersebut bukan hanya terletak pada perilaku semata, akan tetapi juga penting pada hati dan niat, sikap merelakan (ridha), sikap tidak saling menghujat dan menggunjing orang lain.

Sikap tersebutlah yang menumbuhkan kerukunan beragama pada periode Abdurrauf, termasuk ketentraman dalam masyarakat dan kestabilan politik pemerintahan.

Di penutup kitab ini, Abdurrauf mewaspadai
“Hai anak Adam, jikalau engkau lihat akan orang yang alim pada ia sangat kasih (cinta) akan dunia pada zahir dan batin, atau memakai emas, atau perak, atau memakai sutra, atau berulang-ulang masuk pada pintu raja-raja, atau barang sebagianya daripada dosa besar dan kecil, atau segala pekerjaan ulama dunia dan ulama jabbarah seperti memakai kain kelam kiri, atau barang sebagainya daripada segala kain yang bertulisan atau melukiskan rumah, atau bandarasah (madrasah) atau barang sebagainya daripada segala perhiasan dunia yang membawa kepada takabbur (sombong) lagi melalaikan hati daripada berbuat ibadah dan zikir Allah”
Tanda-tanda seperti itu menurut Abdurrauf adalah:
“Maka ketahui olehmu bahwasanya orang alim itu sudah tergelinjir, maka jangan engkau ikuti akan dia, dan jangan engkau ambilkan akan agama (ajaran) daripadanya, dan jauhkan olehmu akan dirimu daripadanya”.
[Disadur dari tulisan Hermansyah, MA.Hum, dosen Bidang Teks Klasik dan Kajian Naskah pada Prodi SKI Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry, dan Peneliti Manuskrip]
loading...

0 komentar:

Post a Comment

Artikel ini belum lengkap tanpa komentar anda!
Silahkan berkomentar yang santun dan cerdas, tidak menghina, tidak memaki dan tidak menyebar kebencian. Terima kasih